Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Durga di Museum Benaki

Bajra Sandhi tampil di Museum Benaki dan Museum Etnomusikologi, dua museum prestisius di Athena.

27 September 2004 | 00.00 WIB

Durga di Museum Benaki
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

"… Nah! Hari inilah hari yang kutunggu-tunggu. Sekian lama aku giat berlatih wayang, menari untuk pertunjukan Olimpiade Kebudayaan. Saya tidak lupa sembahyang agar kami sekeluarga selamat dan saya minta doa restunya kepada Ida Sanghyang Widi…."

Itulah catatan harian yang ditulis Tugus alias Ida Made Bagus Adnya Gentorang. Pagi menjelang berangkat ke Yunani, anak bungsu Granoka berumur 12 tahun itu masih sempat memainkan bolpoin di lembar-lembar buku tulisnya. Di samping tulisan tangan, di kertas itu ia menggambar rangda. Garisnya ekspresif. Sketsa raksasa itu, meski seder-hana, kelihatan angker. Anak ini memang semenjak balita doyan corat-coret sosok rangda.

Tak seperti anak-anak seusianya yang menjadi fans berat Dragon Ball, Spider-Man, atau Harry Potter, tokoh fantasi Tugus adalah barong. Barong bertempur dengan rangda. Sebuah pertempuran di Bali yang tak ada habis-habisnya—tak ada yang kalah dan menang, dan itulah sebabnya mengapa orang Bali tak bosan-bosannya menonton. Barong memang istimewa. Salah satu sudut rumah Granoka di Batu Kandik, Denpasar, sampai sesak lantaran keluarga itu tak memiliki lagi ruang untuk menyimpan koleksi barongnya. Barong besar, kecil, ditumpuk sampai gunungannya menyentuh langit-langit. "Itu barong Tugus. Ia membuat barong sendiri, ada lebih dari lima buah," kata sang ibu, Ida Ayu Wayan Supraba.

Dan hari yang dinanti-nanti Tugus itu tiba. Museum Benaki letaknya di Pireus St Axene. Sebuah daerah industri yang dalam perencanaan tata kota masa depan Athena bakal menjadi kawasan pertunjukan seni. Desain museum itu minimalis. Begitu masuk, kita dihadapkan pada sebuah ruang kosong luas—dengan kiri-kanan-depan bangunan berkaca. Kita seperti masuk dalam sebuah boks terbuka. Sebuah ruang yang memang dipersiapkan untuk pementasan.

Musim panas di Athena, matahari bersinar cerah sampai malam. Keluarga itu menunggu sampai hari benar-benar gelap karena pertunjukan dipersiapkan memakai obor. Namun sejak pukul 7 malam Tugus dan kakak-kakak perempuannya sudah berias lengkap. Mereka di balik panggung, melingkar melakukan konsentrasi.

Penonton dihadapkan pada peralatan gamelan yang cukup lengkap, meski sesungguhnya itu hanya sebagian kecil peralatan Bajra Sandhi. "Ini saja sudah satu ton. Kalau lengkap lima ton," kata Granoka. Dua patung naga dan patung anak bajang menunggang macan—sebuah patung yang khusus dibuat Granoka sebelum keberangkatan diletakkan di depan instrumen. "Ini lambang pandita yang mampu menundukkan hawa nafsunya," kata Granoka. Lalu terhampar kain putih bergambar mandala.

Sri bajrajnana sunyatmaka paramaka….Cahaya yang mutlak, hakikat kehampaan…. Tepat pukul 9 malam Ida Ayu Nyoman Diana Pani, dengan pakaian putih seolah pandita, rambut digelung ke atas, menggebrak, dengan melantunkan manggala kakawin Sutasoma. Lalu Tugus melakukan yoga asana. Kepala di bawah, kaki lurus ke atas. Dengan posisi itu, kakinya kemudian melipat sampai melengkung. Keluarga itu selanjutnya memainkan tabuh Macan Anggareng, sebuah tabuhan yang diadopsi dari tabuh Macan Angelur (macan mengerang) dari Desa Saren, Lombok.

Tugus lalu menampilkan wayang beber Sliksajati dengan lakon Sutasoma. Sebuah wayang tanpa kelir. Di Bali tradisi ini disebut wayang lemah. Selain wajang, di samping Gus tampak tertancap lukisan rajah-rajah yang menggambarkan Sutasoma. Alat yang mengiringi hanya tabuhan gender yang di-mainkan oleh dua kakaknya dan ayah serta ibunya. Tangan Tugus terampil. Mulutnya seperti mendecas-decas. Gender itu ritmis. Hanya dengan gender, pertunjukan itu memikat. (Sesuatu yang diulang keesokan harinya ketika Tugus mendalang di Museum Etnomusikologi.) Dimulai pukul 5 sore, waktu siesta, kursi-kursi yang kosong penonton di sana menjadi penuh.

Selesai mendalang, Tugus turun lalu menarikan Baris Sankalpa. Penonton kemudian melihat dengan cekatan ia memakai topeng besar barong Sandi Reka. Adegan yang paling terasa bermuatan filosofis adalah tatkala kakak-kakak Tugus yang memainkan Legong Lelana Duta mendekati barong itu dan memaparkan sehelai kain kuning penuh lukisan rajah-rajah. Lantas mereka menampilkan petualangan cinta mistik antara Rudra dan Durga.

Granoka memiliki tafsir sendiri tentang Rudra dan Durga. Rudra, menurut dia, sebuah nama yang memiliki sifat ambivalen. Mengasosiasikan pada kekejaman sekaligus kelembutan. Begitu juga Durga. Pencariannya panjang. Salah satu tarian Durga yang pernah dilihatnya dan membuatnya tergetar adalah di Desa Abang, Karang Asem. "Durga versi desa itu begitu mengekspresikan sesuatu yang cantik tapi angker," katanya. Di desa itu untuk mengiringi tarian Durga harus memakai gending khusus yang disakralkan, yaitu Tunjang. Untuk itu Granoka memohon ke satu pura dalem, meminta restu ketika hendak belajar.

Pementasan keluarga ini boleh dibilang sebuah Bali kecil. Menggabungkan berbagai macam unsur. Antara satu petilan dan petilan lain mungkin tak berhubungan. Namun, lantaran yang menarikan dan menggamel adalah anak-anak yang bergantian peran, pementasan itu terasa mengalir. Pertunjukan yang eklektis itu boleh dibilang cukup organis.

Dan puncaknya adalah saat kakak perempuan Tugus, Ida Ayu Wayan Prihandari, 18 tahun, mengenakan topeng Durga. Dayu Han yang halus, ringkih itu, begitu mengenakan topeng, tiba-tiba seperti kalap. Ia berdiri lalu menabuh terompong yang komposisi bilahnya dibuat panjang. Ia menabuh dari satu pojok ke pojok lain. Sangat ekspresif. Tak pernah saya melihat Durga dengan taring, mata angker, dan helai rambut putih panjang menabuh. Biasanya ia hanya menari. Kelembutan dan kengerian itu seolah mengaduk di sana. Tepuk tangan pun riuh. Sebuah klimaks yang meninggalkan jejak pada ingatan….

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600
Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus