Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Bisakah Minyak Jelantah Menjadi Bahan Bakar Pesawat Terbang yang Ramah Lingkungan

Pemerintah menyiapkan peta jalan untuk mengubah minyak jelantah menjadi bioavtur. Mengejar target penurunan emisi karbon.

17 Agustus 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja menyaring kotoran dari minyak jelantah di instalasi pengelolahan minyak jelantah menjadi bio diesel di Denpasar, Bali. TEMPO/STR/Johannes P. Christo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

PEMERINTAH tengah menyiapkan peraturan untuk penggunaan minyak jelantah atau used cooking oil (UCO) sebagai campuran pembuatan bahan bakar minyak. Skema ini disiapkan sebagai upaya untuk mengurangi emisi gas rumah kaca. Khususnya pencampuran minyak jelantah untuk memproduksi bioavtur dalam upaya mengejar target pengurangan emisi karbon yang mencapai 80 persen pada 2025.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Deputi Bidang Koordinasi Kedaulatan Maritim dan Energi Kementerian Koordinator Kemaritiman dan Investasi Jodi Mahardi menceritakan skenario penggunaan minyak jelantah akan masuk dalam peta jalan industri bahan bakar penerbangan berkelanjutan (SAF). “Nantinya memakai UCO atau minyak jelantah sebagai upaya mengurangi emisi,” kata Jodi kepada Tempo pada Jumat, 16 Agustus 2024.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pengurangan emisi yang dimaksudkan Jodi itu dilakukan lantaran bioavtur lebih banyak menggunakan bahan bakar fosil dicampur bahan nabati minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO). Meski mengandung nabati, sawit diklaim menghasilkan emisi lantaran proses produksinya memicu deforestasi atas hutan alam. Dengan demikian, pemerintah menyiasati konsumsi CPO dengan substitusi ke minyak jelantah karena dinilai rendah emisi.

“Pada peta jalan yang kami rancang, UCO merupakan salah satu bahan baku yang akan diprioritaskan dalam produksi SAF di Indonesia,” ucap Jodi. Hal ini dilakukan setelah melihat potensi minyak jelantah sangat besar dan selama ini belum dioptimalkan. Nantinya pemerintah menjamin ketersediaan pasokan melalui intervensi pasar dan pembuatan tata kelola pengepulan UCO secara nasional.

Jodi menyebutkan kebijakan pemerintah ini akan membuka peluang munculnya penghiliran industri minyak jelantah di dalam negeri. Utamanya untuk menjadi produk dengan nilai tambah, seperti SAF untuk bioavtur, pengolahan biodiesel, dan beberapa produk bahan bakar lainnya.

Pegawai menunjukkan bahan bakar biodiesel di Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Penggunaan jelantah sebagai bahan bakar ini bermula dari kesuksesan mengubah CPO menjadi biodiesel. Pemerintah lantas memperluas penggunaan bahan bakar nabati untuk transportasi udara, seperti SAF. Bahan bakar SAF merupakan jenis biofuel yang dapat mengurangi emisi hingga 80 persen dibanding avtur dan kompatibel dengan teknologi pesawat pada masa kini.

Jodi mengatakan peta jalan pengembangan SAF ini rencananya diluncurkan saat perhelatan Bali International Air Show 2024 pada September mendatang. Menurut dia, peta jalan ini telah disusun melalui proses diskusi formal dan informal, konsultasi nasional, serta harmonisasi bersama semua pihak.

“Melalui peta jalan ini, kami harapkan ekosistem industri SAF di Indonesia dapat segera dikembangkan, baik dari segi penggunaannya oleh maskapai, kapasitas produksi dari perusahaan energi, maupun kerangka sertifikasinya yang menyeluruh,” tuturnya.

Direktur Eksekutif Traction Energy Asia Tommy Pratama menceritakan ihwal potensi produksi minyak jelantah yang mencapai 1,2 juta kiloliter per tahun. Jumlah tersebut hanya disumbang dari sektor rumah tangga; usaha mikro, kecil, dan menengah; serta industri perhotelan dan restoran. “Potensinya bisa melebihi 2 juta kiloliter per tahun bila ditambah UCO dari industri makanan,” ucapnya.

Pasokan UCO selama ini bergantung pada konsumsi penduduk terhadap minyak goreng. Saban tahun, konsumsi masyarakat mencapai 13 juta ton minyak goreng atau setara 11,5 liter per kapita per tahun. Setelah berubah menjadi jelantah, pasokan minyak nabati ini berpotensi menghasilkan 3 juta ton bahan bakar biodiesel. Dengan demikian, dapat mengurangi ketergantungan pada kebutuhan CPO yang mencapai 8,84 juta ton per tahun untuk biodiesel.

Namun realisasi penggunaan jelantah mendapat batu ganjalan untuk pengepulan limbah secara nasional. Alasannya, selama ini UCO dikumpulkan oleh perusahaan dengan cara membeli dari masyarakat dengan harga Rp 3.000-3.500 per liter. Minyak jelantah lantas diekspor sesuai dengan harga pasar internasional yang mencapai Rp 13-20 ribu per liter.

Tommy mengatakan saat ini belum ada regulasi yang mengatur pemanfaatan dan tata kelola perdagangan minyak jelantah. Padahal, kata dia, permintaan akan minyak jelantah di Indonesia cukup tinggi, terutama yang diekspor ke sejumlah negara di Eropa. "Minyak jelantah menjadi komoditas yang dicari di pasar internasional. Negara-negara seperti Indonesia, Cina, dan India merupakan penyuplai ke Eropa," ucapnya sembari menyebutkan sebagian besar jelantah digunakan untuk campuran bioavtur.

Perkebunan kelapa sawit yang terindikasi masuk ke dalam kawasan hutan di Desa Paduran Sebangau, Kecamatan Sebangau Kuala, Kabupaten Pulang Pisau, Kalimantan Tengah, 21 Desember 2023. TEMPO/Riani Sanusi Putri

Traction sebelumnya telah menghitung pengurangan emisi melalui penggunaan UCO. Menurut catatan mereka, penggunaan 10 persen kandungan UCO dalam biodiesel dapat menyumbang penurunan emisi 2,4-24 persen dari total target sektor energi. Penghitungan ini juga menggunakan 90 persen kandungan CPO dan minyak dari fosil. Tak mengherankan banyak negara mengejar penggunaan UCO untuk mendorong capaian pengurangan emisi.

Tommy mengusulkan pemerintah melakukan intervensi melalui kebijakan untuk mendorong masyarakat menyetorkan minyak jelantah sebagai bahan baku biodiesel atau bioavtur. Salah satunya melalui regulasi dengan memasukkan UCO ke dalam kategori limbah. Dengan demikian, pemerintah nanti membeli dari masyarakat dengan kompensasi Rp 3.000 per liter. Setelah itu minyak jelantah dikepul dan didistribusikan dengan ongkos angkut sekitar Rp 500 per liter untuk kemudian dikirim ke kilang pengolahan.

Business Development Manager PT Pertamina Patra Niaga Lumiel Fritz sebelumnya menjelaskan bahwa pihaknya memang sedang menyiapkan industri kilang atau green refinery melalui PT Kilang Pertamina Internasional. “Kami mencoba mengelola yang tadinya limbah menjadi alternatif bahan baku biofuel yang jelas lebih ramah lingkungan sekaligus mengurangi polusi tanah dan air yang berasal dari limbah minyak jelantah yang dibuang begitu saja,” ucapnya.

Fritz mengatakan pemanfaatan minyak jelantah sangat potensial sebagai bisnis berkelanjutan. Sebab, UCO bisa menjadi bahan baku yang dapat diperbarui bahkan digunakan untuk energi SAF dan bahan baku minyak sayur terhidrogenasi (HVO). Karena alasan ini, Pertamina membangun kerja sama dengan industri perhotelan dan menghasilkan 350 liter per bulan.

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya
Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus