Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
David & Goliath: Underdogs, Misfits and the Art of Battling Giants
Penulis: Malcolm Gladwell
Penerbit: Allen Lane, Oktober 2013
Tebal buku: 305 halaman
Bagaimana mungkin Daud mampu mengalahkan Goliat yang bertubuh jauh lebih besar, berbaju zirah, serta menanti pertarungan jarak dekat berbekal sebilah pedang, lembing, dan tombak? Bagi Daud, tubuh Goliat yang sangat besar dibalut baju zirah berat bukanlah kekuatan, karena raksasa itu akan lamban bergerak. Ia melawan Goliat sebagai prajurit pelontar—dari jarak jauh bersenjata katapel dan tiga butir batu dengan sasaran yang tidak terlindung: kepala.
Cara berpikirnya yang tipikal counter-intuitive dan penuturannya yang bak pendongeng menjadikan Malcolm Gladwell "pengamat sosial" yang berbeda. Sejak buku pertamanya, The Tipping Point, orang menunggu apa yang akan dikatakan penulis di The New Yorker ini. "Seandainya saya terlampau menyederhanakan, orang tidak perlu membaca buku saya," kata Gladwell menjawab kritik.
Baiklah, kita tinggalkan dulu soal itu. Melihat judulnya, buku David & Goliath ini seperti hendak berbicara perihal apa yang terjadi apabila orang biasa kala menghadapi raksasa. Raksasa adalah lawan yang sangat kuat, apa pun itu—Gladwell memperluas pengertiannya jadi tentara itu berupa jumlah besar, tekanan psikologis yang amat sangat, atau disabilitas yang tak terhindari.
Seperti yang sudah-sudah, ÂGladwell berbekal kata favoritnya, "kita"—tentu dengan mengecualikan dirinya—yang keliru dalam melihat suatu fenomena. Ketika sebuah tim bola basket dengan rata-rata pemain bertubuh pendek, jarang memegang bola, dan berhadapan dengan tim berpengalaman, apakah sudah tidak ada harapan? "Kita", secara intuitif, menjawabnya "ya". Tapi, bak Daud, Vivek Ranadivé—lelaki asal Mumbai yang terbiasa bermain kriket dan menjadi pelatih dadakan tim ini—menerapkan strategi "full court press" agar lawan yang lebih berpengalaman sukar bergerak maju. Di setiap pertandingan dan sepanjang waktu. Hasilnya: selalu menang.
Harus ada cara tak biasa untuk mengalahkan Goliat. Kualitas yang mungkin terlihat sebagai keunggulan (advantage) si raksasa sesungguhnya adalah kelemahan (disadvantage). Bagaimana cara "kita" memandang dua perkara itu akan memengaruhi bagaimana cara "kita" bertindak dan menentukan hasilnya. Cara bermain harus diubah—ini prinsip pertama.
Gladwell menawarkan sudut pandang berbeda, dan untuk itu ia mengandalkan hasil-hasil studi akademikus yang prestisius untuk menopangnya. Studi Arreguin-Toft untuk mendukung argumen "pihak lemah yang bertarung seperti Daud biasanya menang" cukup mengesankan.
Kisah David Boeis yang inspiratif, tapi juga mengundang perdebatan, mengarahkan kita pada prinsip lain yang disebut ÂGladwell sebagai "kesukaran yang diperlukan". Super-lawyer ini hidup bersama disleksia. Ia mengompensasi kesukarannya dalam membaca dengan memperkuat kemampuan mengobservasi, mendengar, dan mengingat, yang ia eksploitasi di ruang pengadilan.
Boeis adalah Daud figuratif karena disleksianya, walau secara literal ia Goliat (memimpin firma hukum dengan 200 pengacara).
Kemenangan si lemah kadang-kadang juga dipicu oleh dilanggarnya batas-batas kekuasaan oleh si kuat. Dalam pengisahannya yang detail mengenai pergolakan di Irlandia Utara pada 1969, Gladwell meminjam prinsip huruf U terbalik: ada titik ketika penerapan kekuasaan dan otoritas yang berniat paling baik pun mulai berefek di luar harapan. Si lemah mengambil keuntungan dari situasi ini.
Kurva U terbalik sukar dimengerti dan sering membuat kita kaget. Salah satu alasan mengapa kita kerap bingung, menurut Gladwell, ialah karena kita lupa bahwa kita berada di dunia berbentuk U terbalik. Semua hal penting mengikuti huruf U terbalik, kata psikolog Adam Grant. Peminjaman teori ataupun hasil studi akademikus tak mendorong tulisan Gladwell sampai pada penciptaan teori—dan agaknya ia memang tidak bermaksud demikian.
Kalaupun kita tetap membaca Gladwell, kita tidak perlu mesti bersetuju dengan pikirannya. Dengan kekuatan mendongengnya, Gladwell berjasa dalam mengusung dunia psikologi-sosiologi yang penuh pesona kepada khalayak lebih luas. Dengan menulis sejenis "intellectual adventure stories", Gladwell mengajak kita menatap dunia dengan cara berbeda dan mendapati pemahaman yang tak terduga.
Dian R. Basuki
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo