Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
A. Suryana Sudrajat
ITU salah satu judul tulisan Bung Karno tahun 1940 di majalah Pandji Islam terbitan Medan. Waktu itu dia di Bengkulu, tanah pembuangannya setelah Endeh. Sejak di ”tanah misi” itu, BK memang punya minat yang serius- pada Islam. Sementara dulu ditumpahkan dalam surat-suratnya kepada Ustad A. Hassan, pemimpin Persis di Ban-dung, sekarang dicurahkan ke dalam pelbagai karangan.
Arkian, BK, yang juga mengajar di SD Muhammadiyah setempat, membaca satu ”parchabaran yang gandjil” di koran Pemandangan (6 April 1940). Yakni tentang guru agama yang dijebloskan ke bui karena mencabuli muridnya. BK sendiri merasa tidak terlalu aneh kalau ada guru yang tega memperkosa anak didiknya sendiri. ”Yang saya katakan ganjil ialah caranya si guru itu ’menghalalkan’ ia punya perbuatan,” tulis BK. Agar guru itu bisa memberi pelajaran kepada murid-muridnya yang perempuan, yang mesti dilangsungkan secara tatap muka, maka mereka ”di-mahram” alias dinikahi dulu. ”Sungguh, kalau reportase….itu benar, maka benar-benarlah di sini kita melihat Islam sontoloyo!”
Islam sontoloyo?
Dalam surat-suratnya dari Endeh yang terkenal itu, BK berbicara tentang bagaimana ”mengoperasi Islam dari bisul-bisulnya”, bagaimana memerdekakan alam pikiran dari ”kejumudan”, ”taklidisme”, ”hadramautisme”, dari sikap dan praktek ”mengambing”, ”kolot bin kolot”, ”mesum mbahnya mesum”, dan dari lingkungan ”dupa dan korma dan jubah dan celak mata”.
Bagi Bung Karno, ”Islam is progress”. Suatu keyakinan yang harus terus-menerus diterjemahkan dan diperbarui tiap zaman. Ini karena masyarakat ”adalah barang yang tidak bisa diam, tidak tetap, tidak mati, tetapi....bergerak senantiasa, maju, berevolusi dan dinamis”. BK, dalam kata-katanya sendiri, ingin menangkap Islam sebagai ”api”, bukan Islam sebagai ”abu”, apalagi Islam sebagai ”sontoloyo”.
Islam sebagai sontoloyo?
Menurut Kamus Umum Bahasa Indonesia, ”sontoloyo” ber-arti konyol, tidak beres, bodoh, yang dipakai sebagai kata makian. BK dengan ungkapan-ungkapannya yang sarkastis memang terkesan royal membombardir paham dan praktek keberagamaan yang dianggapnya jumud (beku) dan tidak rasional.
Salah satu sumber kesontoloyoan itu, menurut BK, karena kaum muslimin menganggap fikih sebagai satu-satunya tiang keagamaan. ”Kita lupa, atau tidak mau tahu, bahwa tiang keagamaan ialah terutama sekali terletak di dalam ketundukan kita punya jiwa kepada Allah SWT. Kita lupa bahwa fikih itu, walaupun sudah kita saring semurni-murni-nya, belum mencukupi semua kehendak agama,” tulisnya.
Meski begitu, BK mengingatkan pembacanya bahwa diri-nya tidaklah membenci fikih. ”Saya bukan pembenci fikih. Saya malahan berkata bahwa tiada masyarakat Islam dapat berdiri zonder hukum-hukumnya fikih.” Jadi? ’’...saya hanya-lah pembenci orang atau perikehidupan agama yang terlalu mendasarkan diri kepada fikih itu sahaja, kepada hukum-hukumnya syariat itu sahaja.” Di akhir tulisannya, BK menyatakan, ”Jika pemuka-pemuka kita hanya mau bersifat ulama-ulama fikih sahaja dan bukan pemimpin kejiwaan sejati, maka janganlah ada harapan umat Islam Indonesia akan dapat mempunyai kekuatan jiwa atau kekuatan jiwa yang haibat untuk menjunjung dirinya dari keadaan aib yang sekarang ini…. Janganlah kita kira diri kita sudah mukmin, tetapi hendaklah kita insaf bahwa banyak di kalangan kita yang Islam-nya masih Islam sontoloyo!”
Untuk membebaskan umat dari Islam yang sontoloyo, BK, dalam artikelnya ”Memudakan Pengertian Islam”, bicara soal perlunya pemikiran baru. Panta rei, segala hal berubah, ia mengutip Heraclitos. Pokok tidak berubah, agama tidak- berubah, tetapi pengertian-pengertian manusia tentang ini selalu berubah. Koreksi pemahaman selalu ada. Islam mandek berabad-abad, kata dia, karena ditutup-nya bab el ijtihad. Dan bisa berkembang kembali, katanya-, dengan mengutip Farid Wajdi, hanya jika penganut-nya menghormati- kemerdekaan roh, kemerdekaan akal, dan kemerdekaan pengetahuan.
Mungkin karena karangan-karangannya itu, di kemudian hari A. Dahlan Ranuwiharjo memberi predikat tambahan kepada BK: pemikir Islam, sebagaimana Moh. Natsir, Prof H.M. Rasjidi, atau Haji Agus Salim. Dahlan, yang mantan Ketua Pengurus B Himpunan Mahasiswa Islam dan disebut-sebut Megawati sebagai ”Islam nasionalis” itu, menyebut BK seorang teknolog, pejuang, politisi, pemikir, ideolog, filosof, budayawan, seniman, internasionalis, humanis, dan huisvader (bapak rumah tangga) yang baik. Mana yang pa-ling tepat dari beberapa julukan yang diberikan ayah mantan peragawati Dhani Dahlan itu, silakan saja.
DI antara kita mungkin ada yang mendehem mendengar penilaian Dahlan Ranuwiharjo, yang memang pencinta berat BK. Tapi itu tidak seberapa dahsyat dibanding Wajiz Anwar punya penilaian. Bagi dosen filsafat IAIN Yogyakarta ini, seperti dikatakan Djohan Effendi dalam pengantarnya untuk buku catatan harian Ahmad Wahib, BK adalah mujaddid (pembaru) Islam terbesar abad ke-20. Wahib sendiri, yang sampai akhir hayatnya adalah calon reporter Tempo, adalah salah satu aktor pembaruan pemikiran Islam se-angkatan Nurcholish Madjid.
Menurut almarhum Wajiz, alumni Gontor yang melanjutkan pelajarannya ke Mesir dan kemudian ”minggat” ke Jerman lantaran tidak puas, apa yang dilakukan BK tidak kalah dari upaya para pemikir muslim terdahulu. Sementara dulu mereka berhasil mengawinkan filsafat Yunani dan ajaran-ajaran Islam, Bung Karno berhasil mengawinkan Marxisme dan Islam.
Tapi angkatan yang lebih kemudian pun, termasuk mere-ka yang paling kritis, juga menempatkan BK sebagai pemikir Islam yang serius. Ulil Abshar-Abdalla, misalnya. Intelektual NU dan penggiat Jaringan Islam Liberal ini pernah berkata bahwa kritik Bung Karno terhadap pemahaman -Islam kaum muslimin sama dengan kritik kaum pembaru sekarang seperti Nurcholish Madjid, meskipun aksentuasi dan tema-tema yang diambil agak beda.
Allahu a’lam. Yang pasti, selagi berijtihad melalui karang-an-karangannya di Bengkulu, tempat dia beroleh istri yang baru, Perang Dunia II pecah. Dan keadaan ini tidak memberi BK kesempatan melanjutkan gagasan pembaruannya. BK sudah beralih perhatian. Juga ketika ia memimpin Republik. Bahkan pada bulan-bulan menjelang kejatuhannya, ketika BK, dalam puncak ketenarannya setelah sukses merebut Irian Barat, banyak menerima gelar sarjana kehormatan, termasuk dari berbagai perguruan tinggi Islam. Pada pidato-pidato doktor honoris causa-nya itu, agak sulit kita menemukan perkembangan pemikirannya yang terdahulu, meski pemaparannya tetap memukau. Ini bisa dilihat dari pidatonya, Tjilaka Negara yang Tidak Ber-Tuhan, di IAIN Jakarta. Pada kesempatan itu BK antara lain menyatakan:
”Jika kalian ingin mengerti mengapa dulunya Islam pernah mengalami pasang naik….dan juga pasang surut….bebaskan pikiranmu dari berpikir biasa, berpikir konvensionil.…kamu mahasiswa IAIN, kamu jangan mempelajari Islam dan mencoba memasukkan Islam dengan, apa itu, maaf, jiwa pesantren….”
Hidup dengan ”jiwa pesantren”, bagi Bung Karno, ibarat tinggal dalam ruang tertutup. ”Bukalah! Bukalah pintu, bukalah jendela! Ya, bahkan lebih dari itu: sekali kamu keluar dari ruangan pengap itu, bangkitlah, bangkitlah, naik ke langit....”
Ini adalah Juni, bulan yang mengingatkan kita kepada Bung Karno. Di bulan ke-6 tahun Masehi, proklamator itu la-hir (1901), menyampaikan pidatonya yang terkenal tentang Pan-casila (1945), dan wafat (1970). Dan di antara bentangan usianya yang 69 tahun itu, BK mengisi hari-harinya dengan u-paya memerdekakan alam pikiran dari ”kejumudan-, takli-dis-me, hadramautisme, dari sikap dan praktek me-ngambing, kolot bin kolot, mesum mbahnya mesum, dari ling-kungan dupa dan korma dan jubah dan celak mata dan dari ji-wa pesantren”, yang dengan sarkastis ia sebut Islam sonto-loyo.
Anda mungkin bertanya: sudah enam dasawarsa lebih sekarang sejak BK mewacanakan Islam sontoloyo. Bolehlah dipastikan sebagian dari aspek-aspek kesontoloyoan yang diungkap BK itu sudah menguap dari alam pikiran dan jiwa kaum muslimin. Anak-anak muda banyak yang berpikiran maju, pesantren sudah memodernisasi diri, para santri tidak melulu sibuk dengan ibadah ritual, melainkan menyebar ke segala lapang kehidupan, bahkan sempat ada yang jadi pre-siden, seperti BK, meskipun sebentar. Jadi, adakah kini yang disebut Islam sontoloyo itu?
Kalaulah kita berpegang pada kamus bahwa sontoloyo berarti bodoh, konyol, atawa tidak beres, terus terang saja ja-wabnya ada dan banyak. Lihatlah bagaimana kaum birokrat, para elite militer, para pemimpin partai, atau para pedagang besar, yang berlindung di balik kedamaian agama, dan mencari penyelamatan diri melalui ritual, sementara tidak peduli, atau tidak mau tahu, bahwa mereka korup, suka merampas, atau mengompas kawan sendiri, atau tutup mata terhadap berbagai kejahatan dan keculasan di sekitar me-reka.
Mereka mengira sudah menjadi mukmin hanya dengan berzikir, salat, naik haji, sedekah, menangis-nangis di layar TV, atau merusak papan reklame bir dan tempat hiburan. Lalu, ada juga yang ingin mengembalikan tata pemerintahan ke zaman lampau, menerapkan syariat dengan hukum-hukum pada abad ke-7 Masehi, tanpa bersedia memahami keadaan sekeliling. Ada lagi yang memanipulasi simbol-simbol keagamaan untuk kepentingan politik, sementara antidemokrasi, tidak menghormati hak asasi manusia, berjihad secara ngawur. Ada yang memperdagangkan kegiatan keagamaan, ada yang dengan bangga main bom dan membunuhi orang-orang. Jadi, seperti kata BK dulu, insaflah bahwa ”Islamnya kita masih Islam sontoloyo”.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo