SECARA diam-diam usaha Indonesia membangun proyek PLTN (Pusat Listrik Tenaga Nuklir) berjalan terus. Bahkan studi kelayakan pembangunannya sudah disiapkan oleh NIRA (Nucleare Italiana Reattori Avanzati), suatu badan tenaga atom Italia. Hasil studi itu sudah diserahkannya secara resmi pada Menteri Pertambangan dan Energi Prof. Dr. Subroto. Upacara itu berlangsung di suatu ruangan mewah Horel Borobudur, Jakara (22 April), ketika kaum wanita Indonesia masih dalam suasana memperingati jasa R.A. Kartini. Kebetulan dua calon lokasi PLTN itu -- Sluke, suatu desa pantai di Kabupaten Rembang, dan Ujungwatu, suatu desa pantai di Kabupaten Jepara -- memang ada kaitan dengan riwayat Kartini. Apakah cukup serius ini? Duta besar Italia, Elio Pascarelli, menyatakan harapannya supaya hasil studi itu tidak sekedar untuk disimpan saja. Menteri Subroto menyambut bahwa memang hasil studi itu akan dimanfaatkan, namun dia tidak memastikan bila akan dilaksanakan. Dia hanya menyebut "ancer-ancer tahun 1990-an Indonesia sudah akan mengoperasikan PLTN pertama." Masih Tergantung Studi NIRA sendiri mengajurkan agar PLTN itu sudah bisa beroperasi mulai 1989. Juga Profesor Baiquni, Dirjen BATAN dalam sebuah konperensi pers pernah mengatakan. "Tahun 1988 atau paling lambat 1989, PLTN sudah harus mulai beroperasi." Di negara maju pembangunan PLTN makan waktu 6-7 tahun, maka di Indonesia, diperkirakan sekitar 8 rahun. Karena ini paling lambat pembangunannya harus dimulai tahun 1981. Persoalannya menurut Menteri Subroto, "bukan menerima atau menolak" proyek PLTN itu sebagai pembangkit listrik di Indonesia, "melainkan bila akan diterapkan." Mungkin ini masih tergantung pada sumber dana atau, katakanlah situasi dan kondisi nanti. BATAN sudah merintis kemungkinan pemakaian tenaga nuklir bagi pembangkitan listrik di Indonesia sejak tahun 1968. Kedua lokasi di Jepara dan Rembang merupakan hasil pilihan antara sekian alternatif di tahun 1975. Titik berat penelitian selama ini ialah pada dua aspek. Yang pertama memperhitungkan perkembangan penduduk kebutuhan serta perkembangan industri dan ekonomi kelak. Yang ke memperhitungkan-kemungkinan kegiatan vulkanis, tektonis, pengaruh iklim serta keadaan perairan sekitar lokasi itu. Dan seluruhnya mempertimbangkan rencana pengembangan PLN dalam membangun berbagai pusat pembangkit listrik. Untuk menghindari ketergantungan pada impor bahan bakar nuklir kelak, studi itu menganjurkan agar digunakan tipe reaktor nuklir air berat (Heav Water Reactor). Tipe ini dapat menggunakan uranium alam, berbeda dengan tipe lain yang harus mempergunakan uranium yang diperkaya, hasil proses yang melibatkan teknologi tinggi dan mahal. Uranium alam terdiri dari gabungan dua isotop uranium, U 238 dan U 235. Hanya yang terakhir bisa digunakan dalam proses fisi nuklir, namun isotop ini hanya berjumlah 0,7% dalam gabungan itu. Untuk digunakan dalam reaktor bukan HWR, unsur ini perlu diperkaya dengan cara menyaring hingga kadarnya meningkat sampai 4%. Indonesia diduga memiliki uranium yang dapat mensuplai kebutuhan PLTN itu: Saat ini sedang diselidiki berapa besar kandungan uranium yang ada di Kalimantan dan Sumatera. Inilah yang dapat dimanfaatkan PLTN Indonesia kelak tanpa tergantung pada impor bahan bakar uranium yang diperkaya. Tipe HWR yang dianjurkan dalam studi itu ialah reaktor air berat CANDU, buatan Kanada, dengan daya terpasang sebesar 638 MW. CANDU ialah singkatan dari Canadian Deuterium Uranium sedang Deuterium ialah nama resmi bagi air berat (air yang atom hidrogennya mengandung sebuah neutron hingga lebih berat dari hidrogen biasa). Deuterium digunakan dalam reaktor nuklir itu sebagai penghambat (moderator) neutron cepat dari bahan uranium 235 serta sebagai pendingin, dengan memindahkan panasnya kepada air biasa yang karenanya berubah menjadi uap untuk memutar turbine dan generator. Kanada memiliki 11 buah tipe reaktor ini, di antaranya yang terbesar di Pickering 32 km dari Toronto. Reakror CANDU di sana terdiri dari 4 unit, masing-masingberkapasitas 514 MW, yang sudah menghasilkan 100 milyar KWJ seharga $ 0.008 per KWJ. Tapi Oktober lalu Jepang membatalkan rencana pembelian sebuah reaktor CANDU, karena prosesnya tidak sesuai dengan kebijaksanaan ketenagaan Jepang. "Kita tak membutuhkan teknologi pemurnian kembali," ujar salah seorang pejabat AEC (Komisi Tenaga Arom Jepang). Dikatakannya lagi harga tinggi reaktor CANDU itu membuatnya tidak efektif dan tidak efisien. Keputusan Jepang ini mungkin mempengaruhi penjualan Kanada di negeri lain. Seperti terbukti Argentina membatalkan baru-baru ini pembelian reaktor CANDU kedua. Akhirnya order Argentina itu jatuh kepada Kraftwerk Union dari Jerman Barat, sekalipun penawaran Kanada $ 400 juta lebih rendah. Harga reaktor serta fasilitas pembuatan air berat bisa mencapai $ 2 milyar dan Argentina merencanakan untuk membuat 3 buah HWR lagi menjelang 1990. Kanada bersemangat sekali untuk menjual reaktornya kepada Jepang. Waktu itu ia menawarkan jaminan suplai bahan uranium selama 30 tahun asalkan Jepang mau membeli reaktornya. Dalam penjualannya kepada Korea Selatan, Kanada memberi jaminan suplai uranium hanya selama 10 tahun. Juga Rumania, calon pembeli lainnya, yang belum mengambil keputusannya. Tidak Mencukupi Salah satu persoalan yang belum terpecahkan ialah "sampah" nuklir itu akan dibuang ke mana. Sampah itu mengandung berbagai komponen radioaktif. Ada yang lenyap dalam beberapa detik, tapi ada juga yang setelah 24.000 tahun baru mencapai separuh kekuatan radio aktivitasnya semula -- suatu ancaman bagi lingkungan. Saat ini sampah itu umumnya ditempatkan sementara dalam bak air agar panasnya dapat dikendalikan. Itu dapat memuat sampah sampai beberapa tahun. Di Kanada sampah CANDU itu menjelang tahun 2000 ditaksir akan berjumlah 16.000 m3. Rencana jangka panjang untuk membuang sampah ini ialah dengan membungkusnya dalam bahan padat dan menguburnya dalam tambang bekas yang batuannya stabil. Tempat ini masih akan dipilih menjelang tahun 1983, sedang tambang percobaan diduga baru akan selesai sekitar tahun 1990-an. Teknologi penyimpanan dan pcmbuangan sampah ini tidak disinggung dalam studi untuk Indonesia. Namun Prof. Baiquni pernah mengatakan bahwa pengolahan sampah ini bukan masalah karena teknologi pengamannya sudah tersedia. Persoalan sampah radioaktif di Amerika ternyata cukup mendesak. Tempat penyimpanannya sementara dalam bak air di masing-masing pembangkit listrik tidak lagi mencukupi di sana. Bahkan diperkirakan beberapa baknya dalam 3 tahun mendatang sudah penuh. Mungkin Indonesia kelak bisa membuat luban pembuangan tersendiri. Tapi di mana dan biayanya berapa? Teknologi pembuangan memang sudah ada, tapi masih di atas kertas. Dan justru inilah yang masih merupakan salah satu persoalan penting, walau di negara maju sekalipun.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini