Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Papan Demokrasi Di Rumah Saya

Umar kayam baru mengerti kenapa deng hsiao-ping menutup tembok kebebasan di beijing, setelah ia memasang papan demokrasi di rumahnya. dengan adanya papan tersebut tidak ada protes/bicara langsung.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

WAKTU Gendut, anak saya yang bungsu, mulai dapat menulis dan membaca habislah seluruh rumah kena bekas cakarannya. Juga semua koran dan majalah habis diganyangnya dengan membacanya keras-keras. Lantai pun tidak pernah sempat bersih karena bekas coretan kapur selalu saja melekat di mana-mana. Begitu juga tembok dan pintu, penuh dengan coretan pensil dan bolpoin. Mula-mula coretan itu hanya coretan namanya sendiri dalam berbagai versi. Seperti Gendut, gendut, gendut, gendut, gendut, GENDUT dan entah versi yang bagaimana lagi. Lama kelamaan, mungkin karena jenuh dengan namanya sendiri, ia pun mulai ekspansif dengan nama-nama lain. Maka seisi rumah pun tidak bebas dari bekas cakarannya. Mamah, bapak, Mbak, Yanem, Suti semua dapat giliran juga dalam berbagai versi. Ibunya anak-anak dan Mbak, kakak perempuan Gendut memutuskan untuk membelikan Gendut sebuah papan-tulis besar. Maksudnya supaya Gendut dapat berkiprah menulis dan menggambar di papan itu dan tidak di sembarang tempat. -- Bapak setuju, 'kan? Biar Gendut bisa mengkespresikan dirinya dengan bebas! Apa yang bisa saya katakan selain "setuju" kepada usul yang begitu brilyan dan penuh pengertian terhadap perkembangan anak. Hari berganti hari, minggu berganti minggu, bulan pun berganti bulan. Papan itu terpancang dengan megahnya di gang antara garasi dan kamar-mandi. Papan itu betul-betul menjadi papan Gendut. Apa yang dipelajarinya di sekolah diulanginya di situ. Pelajaran bahasa, berhitung dan menggambar. Kemudian juga nyanyian dan sajak-sajak. Kemudian juga surat-surat pendek buat Mbak dan kadang-kadang juga buat Ibunya. Akan saya, ayah yang paling banyak cuma sekali seminggu pulang dari Yogya, agaknya susah mendapatkan coverage di papan itu. Sampai pada satu saat, bertahun sesudah papan itu ngendon di tembok gang itu, saya melihat nama saya tertulis dengan nyata di situ. Waktu itu saya sedang terpakai, diikutkan dalam satu produksi film memainkan satu peranan kecil yang tidak begitu berarti. Tulisan Gendut di papan itu: UK main film dengan perempuan lain .... Wah! Ini hebat, pikirku. Ini daya pikir kritis. Ini kreatif. Ini keberanian. Ini.... Saya segera memerintahkan kepada ibunya anak-anak agar bakat ini dipupuk. Agar seisi rumah didorong untuk mengekspresikan diri secara kritis. Pendeknya? papan-tulis itu mesti menjadi papan-demokrasi di rumah ini . . . Tahun pun berlalu dengan cepatnya. Gendut sudah kelas lima, Mbak sudah mahasiswi dan saya masih mengglandang dan mengglinding antara Yogya dan Jakarta. Papan itu pun masih terpancang. Tapi berkembang dan melebar fungsinya. Ia bukan lagi monopoli Gendut. Mbak dan Ibu mereka sudah ikut-ikutan memanfaatkannya. Buat pesan-pesan, instruksi-instruksi dan sekali tempo juga protes kecil-kecilan. Pesan dan instruksi itu tentu saja lewat jenjang birokrasi yang berlaku di rumah. Dari ibu ke anak, dari ibu ke anak ke pembantu, dari kakak ke adik, dari kakak ke adik ke pembatu, dari adik ke pembantu. Akan protes-protes kecil itu? Mula-mula cuma dari Gendut buat Mbak. Kalau Mbak tidak mau membantu menggarap pekrum-nya Gendut akan menulis: Mbak sok! Kalau Mbak tidak mau membagi sedikit dari uang jajannya tulisan itu akan berbunyi- Mbak pelit! Tapi kemudian Mbak pun jadi gatal membalas protes adiknya. Biarin Emangnya kenapa Ini uang jajan kila sendiri dan sebagainya lagi. Eh, kemudian ibunya pun ikut-ikut latah memakai papan itu buat berpolemik dengan anak-anaknya. Tentu saja anaknya yang memulai. Kongkritnya Gendut dulu yang mulai. Mamah kalau pulang kerja terlalu sore! Nggak bawa oleh-oleh lagi! Agaknya lama-kelamaan ibunya jadi jengkel. Maka dibalasnya protes anak-anaknya. Kalau nggak mau mamah pulang sore-sore harus mau kurang makan! Mau nggak kurang makan dan kurang uang jajan ? Tentu saja itu kurang adil. Tentu saja ibunya yang bakalan menang dengan polemik yang berbau intimidasi begitu. Tapi toh saya masih bisa menganggapnya lucu. Setidaknya papan itu jadi "papan demokrasi" yang riuh. Ini kehidupan demokrasi yang sehat, pikirku, biarpun kemudian saya akhirnya kena giliran kesrempet juga. Pak seafood, pak! Sudah lama nggak makan di luar! Uang jajan naikin dong, pak! UK, masih sayangkah U sama G. dan Mb.? Ke Ancol yuk! Mula-mula saya merasa senang diseret ke dalam klub polemik itu. Tapi kemudian saya jadi melihat sesuatu yang aneh dengan tulis-menulis di papan-demokrasi ini. Eh, anak-anakku kok tidak atau kurang bicara langsung lagi sama orang tuanya. Minta dan protes yang rutin saja kok mesti tertulis. Minta dan ngomel langsung kenapa, sih? Wah, ini ekses "revolusi Gutenberg", revolusi mesin cetak yang sudah mengubah wajah keluarga. Anak-anakku sudah masuk "tata-surya Gutenberg", The Gutenberg galaxy, yang dengan kejamnya telah membuyarkan ikatan primordial puak karena semua anggota keluarga asyik membaca dan menulis. Hingga mereka tidak mau mengobrol lagi. Setidaknya begitulah menurut Marshall McLuhan. Wah, ini mesti diakhiri. Obrol-mengobrol mesti dikembalikan. Makna kata-kata secara verbal mesti dikukuhkan kembali dalarn keluarga. Bayangkan kalau-keluarga cuma terdiri dari anggota yang tulis-menulis dengan sadisnya! Kesempatan itu datang pada suatu hari di papan-demokrasi itu juga! Waktu itu hari Minggu pagi. Seperti biasa seisi rumah pada bangun siang. Waktu saya jalan keluar dari kamar mandi begitu saja terlihat tulisan itu. Ndoro, karena kenop dan gaji 14 sudah lama lewat muhun janji kenaikan gaji kami dilaksanakan. Yanem dan Suti. Mata saya terbeliak tidak percaya. Dari mana mereka bisa berbahasa Indonesia gaya koran begitu. Pasti ada yang menggerakkan dari luar. Saya tersinggung. Saya merasa diejek, dienyek bahkan dihina. Protes itu sudah cukup menyakitkan hati. Tapi lebih dari itu, bagairnana mereka berani memakai papan-demokrasi majikan mereka? Itu sudah keterlaluan! Maka seluruh isi rumah segera saya kumpulkan Minggu siang itu. Dekrit pun saya turunkan! Papan-demokrasi harus segera diturunkan hari itu juga. Protes, polemik, sindir-menyindir, surat-menyurat tidak diperkenankan lagi lewat papan-demokrasi. Kalau ada ketidakpuasan salurkan itu lewat usul yang sopan kepada ibu --lembaga kita yang sah. Selesai. Papan demokrasi selesai. Waktu kemudian saya mencukur kumis di depan kaca saya melihat dan mendengar saya sendiri menggumam: Deng Hsiao-Ping, saya mengerti sekarang kenapa kau tutup tembok kebebasanmu di Beijing ....

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus