GEDUNG Monumen Pers Nasional, Sala, semakin gagah. Gedung bekas
Sasana Suka (dulu milik Mangkunegoro VII) itu kini memperoleh
tambahan bangunan 4 lantai di belakang, dan 2 lantai lagi
masing-masing di sayap kiri dan kanan. Di pintu masuk terdapat 4
patung naga (Catur Mandala Pura) - lambang 4 peranan pers
sebagai media penerangan, pendidikan, sosial kontrol dan
hiburan. Di belakang sang naga ada sebuah kentongan Kiai Suro
Gugah namanya suatu alat komunikasi rakyat pedesaan di Jawa.
Mengambil gaya arsitektur yang mirip bentuk candi stupa, gedung
tersebut akhir April diresmikan Menteri Penerangan Ali Moertopo.
Tapi ia masih harus disempurnakan lagi dan baru dianggap rampung
Juni mendatang. Sesungguhnya 2 tahun lalu Presiden Soeharto
pernah meresmikannya. Tapi kemudian nangunan itu sering
dibongkar di sana-sini, dan dipugar dengan biaya yang tinggi.
Apa isinya? Di dalam gedung induk diletakkan patung 10 tokoh
perintis pers Indonesia yang dikerjakan pematung Saptoto dari
Yogya. Kesepuluh itu Adinegoro, Dr. Sam Ratulangi, R.M. Tirto
Hadisuryo, RM. Bintarti, R. Darmosugito, R.M. Sudaryo
Cokrosworo, R. Bakri Suriatmojo, Dr. Setiabudi, Sutopo Wonoboyo
dan Dr. Abdul Rivai.
Baru koleksi itu yang terpajang. Sementara koran dan majalah
masa lalu, karena belum lengkap agaknya, masih disimpan. Wakil
Presiden Adam Malik, menurut Hs. Soemarjono, wakil ketua PWI
Sala, sudah berjanji akan menyumbangkan sebagian koleksinya.
Juga benda-benda milik RRI Sala yang mempunyai kaitan dan nilai
sejarah akan disumbangkan. Misalnya mikropon dan radio umum
zaman Jepang. Kabarnya Jerman Barat akan menyumbang sebuah
komputer untuk membantu dokumentasi koran dan majalah.
Apa komentar pengunjung? Tamu yang sldah menjenguk isi monumen
itu rata-rata kecewa. "Gedungnya megah tapi isinya belum
memuaskan," tulis Suroso Wahyo, pelajar, di buku kesan. "Sayang
dokumen pers antara 1945-48 terbitan Yogya kurang lengkap, "
tulis, disumarto, wartawan.
Menurut D.H. Assegaff, sekjen PWI Pusat, di gedung Monumen Pers
Nasional ini juga akan dikembangkan penataran wartawan
Indonesia. Fasilitas untuk itu memang sudah ada, termasuk
ruangan penginapan. Pengelolaannya akan diserahkan kepada suatu
pengurus berbentuk yayasan.
Berdebu
Di Jakarta ada juga Museum Pers Nasional. Terletak dalam
kompleks Gedung Kebangkitan Nasional, museum itu dikelola
Pemerintah DKI Jakarta, tapi hanya memiliki 3 ruang,
masing-masing berukuran 3 m x 6 m. Di situ disajikan
perkembangan koran dan majalah dari masa ke masa. Kartu Pers
mode1 tahun 1928, lambang Kantor Berita Antara lama, PWI Pusat
dan SPS ada juga di situ. Semuanya berdebu, tak terawat. Sejarah
Pers Indonesia hanya disajikan di papan ukuran 4 m persegi.
Suasana di sana setiap harinya, kata seorang petugas, senantiasa
lengang. "Kalau toh ada yang datang, paling-paling rombongan
sekolah atau instansi resmi pemerintah," kata Mulyanto, asisten
Kurator.
Sekalipun museum pers di Jakarta tersebut sudah berdiri 6 tahun,
koleksinya masih tipis. Hanya 600 judul buku berikut 40 foto
yang dipamerkan. Sebagian koleksi diperolehnya dari PWI dan
beberapa keluarga tokoh pers seperti Adinegoro dan Tjindarbumi.
Kenapa tidak dipindahkan saJa isinya ke Sala Koleksi museum
pers di Jakarta sebagian besar milik Departemen Penerangan. Jika
dipindahkan, dikhawatirkan keduanya tidak berkembang. "Yang ada
di Jakarta itu biarkan saja, jangan dimatikan," kata Aisegaff.
"Yang ada (di Sala) itu koran di zaman revolusi, belum lengkap.
Kelak akan ditambah berangsur-angsur."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini