Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Bisnis

Yang Megah, Yang Miskin, Yang Berdebu

Gedung monumen pers nasional sala diresmikan ali moertopo, tapi masih harus disempurnakan lagi. didalam gedung induk terdapat patung 10 tokoh perintis pers indonesia.

10 Mei 1980 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

GEDUNG Monumen Pers Nasional, Sala, semakin gagah. Gedung bekas Sasana Suka (dulu milik Mangkunegoro VII) itu kini memperoleh tambahan bangunan 4 lantai di belakang, dan 2 lantai lagi masing-masing di sayap kiri dan kanan. Di pintu masuk terdapat 4 patung naga (Catur Mandala Pura) - lambang 4 peranan pers sebagai media penerangan, pendidikan, sosial kontrol dan hiburan. Di belakang sang naga ada sebuah kentongan Kiai Suro Gugah namanya suatu alat komunikasi rakyat pedesaan di Jawa. Mengambil gaya arsitektur yang mirip bentuk candi stupa, gedung tersebut akhir April diresmikan Menteri Penerangan Ali Moertopo. Tapi ia masih harus disempurnakan lagi dan baru dianggap rampung Juni mendatang. Sesungguhnya 2 tahun lalu Presiden Soeharto pernah meresmikannya. Tapi kemudian nangunan itu sering dibongkar di sana-sini, dan dipugar dengan biaya yang tinggi. Apa isinya? Di dalam gedung induk diletakkan patung 10 tokoh perintis pers Indonesia yang dikerjakan pematung Saptoto dari Yogya. Kesepuluh itu Adinegoro, Dr. Sam Ratulangi, R.M. Tirto Hadisuryo, RM. Bintarti, R. Darmosugito, R.M. Sudaryo Cokrosworo, R. Bakri Suriatmojo, Dr. Setiabudi, Sutopo Wonoboyo dan Dr. Abdul Rivai. Baru koleksi itu yang terpajang. Sementara koran dan majalah masa lalu, karena belum lengkap agaknya, masih disimpan. Wakil Presiden Adam Malik, menurut Hs. Soemarjono, wakil ketua PWI Sala, sudah berjanji akan menyumbangkan sebagian koleksinya. Juga benda-benda milik RRI Sala yang mempunyai kaitan dan nilai sejarah akan disumbangkan. Misalnya mikropon dan radio umum zaman Jepang. Kabarnya Jerman Barat akan menyumbang sebuah komputer untuk membantu dokumentasi koran dan majalah. Apa komentar pengunjung? Tamu yang sldah menjenguk isi monumen itu rata-rata kecewa. "Gedungnya megah tapi isinya belum memuaskan," tulis Suroso Wahyo, pelajar, di buku kesan. "Sayang dokumen pers antara 1945-48 terbitan Yogya kurang lengkap, " tulis, disumarto, wartawan. Menurut D.H. Assegaff, sekjen PWI Pusat, di gedung Monumen Pers Nasional ini juga akan dikembangkan penataran wartawan Indonesia. Fasilitas untuk itu memang sudah ada, termasuk ruangan penginapan. Pengelolaannya akan diserahkan kepada suatu pengurus berbentuk yayasan. Berdebu Di Jakarta ada juga Museum Pers Nasional. Terletak dalam kompleks Gedung Kebangkitan Nasional, museum itu dikelola Pemerintah DKI Jakarta, tapi hanya memiliki 3 ruang, masing-masing berukuran 3 m x 6 m. Di situ disajikan perkembangan koran dan majalah dari masa ke masa. Kartu Pers mode1 tahun 1928, lambang Kantor Berita Antara lama, PWI Pusat dan SPS ada juga di situ. Semuanya berdebu, tak terawat. Sejarah Pers Indonesia hanya disajikan di papan ukuran 4 m persegi. Suasana di sana setiap harinya, kata seorang petugas, senantiasa lengang. "Kalau toh ada yang datang, paling-paling rombongan sekolah atau instansi resmi pemerintah," kata Mulyanto, asisten Kurator. Sekalipun museum pers di Jakarta tersebut sudah berdiri 6 tahun, koleksinya masih tipis. Hanya 600 judul buku berikut 40 foto yang dipamerkan. Sebagian koleksi diperolehnya dari PWI dan beberapa keluarga tokoh pers seperti Adinegoro dan Tjindarbumi. Kenapa tidak dipindahkan saJa isinya ke Sala Koleksi museum pers di Jakarta sebagian besar milik Departemen Penerangan. Jika dipindahkan, dikhawatirkan keduanya tidak berkembang. "Yang ada di Jakarta itu biarkan saja, jangan dimatikan," kata Aisegaff. "Yang ada (di Sala) itu koran di zaman revolusi, belum lengkap. Kelak akan ditambah berangsur-angsur."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus