Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Arifin Putra dan Agni Pratistha melakukan berbagai upaya untuk memimalisir produksi sampah dari rumah.
Sumber terbanyak sampah berasal dari rumah tangga.
Separuh sampah rumah tangga bersumber dari makanan sisa dan sampah organik lain.
ARIFIN PUTRA terbiasa berkutat dengan sampah. Aktor yang membintangi film Sabtu Bersama Bapak tersebut tak lantas membuang berbagai barang yang sudah tak terpakai lagi. Ia lebih dulu membersihkan lalu memilahnya. Misalnya memisahkan plastik, kaleng, dan karton sebelum disetor ke bank sampah di kompleks tempat tinggalnya di Jakarta Selatan. “Semua dibersihkan dulu. Karena, kalau enggak dibersihkan, enggak laku,” ujarnya pada Selasa, 16 Februari lalu.
Arifin, 33 tahun, melakukan kebiasaan tersebut sejak dua tahun lalu bersama penghuni lain di kompleksnya. Menurut dia, saat ini ada 165 keluarga yang bergabung dalam bank sampah di lingkungannya. Dalam dua tahun itu, mereka mengumpulkan sampah daur ulang sampai 7,5 ton. Satu kilogram sampah dijual seharga Rp 1.000. “Fokus komunitas kami ke pengurangan sampah. Jadi tidak dikomersialisasi. Uang Rp 7,5 juta itu buat donasi semua,” ucapnya.
Menyetor sampah untuk didaur ulang ini adalah cara terakhir yang dilakukan Arifin untuk mengelola sampah. Ia sebelumnya berusaha mengurangi produksi sampah dari rumahnya. Misalnya tak lagi memakai sedotan plastik dan membawa sendok-garpu sendiri saat makan di luar agar tak diberi sendok plastik. Adapun sampah organik yang kebanyakan berasal dari bahan pangan ia olah menjadi kompos. “Untuk pupuk tanaman di rumah,” tuturnya.
Agni Pratistha, 33 tahun, pun mempraktikkan hidup minim sampah. Ia pelan-pelan mulai menghapus barang sekali pakai dari keseharian, sejak anak sulungnya lahir tujuh tahun lalu. Dimulai dari mengganti popok sekali pakai dengan kain yang bisa digunakan ulang selama bertahun-tahun. Dia juga menukar pembalut yang dipakai dengan pembalut kain dan menstrual cup. Kapas untuk membersihkan riasan dan kuteks pun ia ganti dengan perca atau flanel yang sudah tak terpakai.
Agni dan suami menularkan kebiasaan nihil sampah tersebut kepada anak-anak mereka. “Kalau saya ngajarin anak-anak, prinsip 3R pengelolaan sampah itu reduce (kurangi), reduce, reduce,” tutur Puteri Indonesia 2006 tersebut.
Secara bertahap, Agni dan keluarganya pelan-pelan merambah ke pengurangan sampah plastik, fashion, dan organik. Mereka kini terbiasa membawa wadah sendiri saat berbelanja atau meminta penjual membungkus belanjaan mereka dengan kantong selain plastik. Kalaupun ada plastik yang terpaksa mereka pakai dan tak bisa lagi digunakan ulang atau didaur ulang, Agni mengolahnya menjadi ecobrick—botol plastik yang diisi limbah anorganik.
Sementara itu, pakaian yang tak terpakai ia rombak agar bisa dimanfaatkan lagi. Misalnya menyulap baju suaminya yang kekecilan menjadi kemeja untuk anak sulungnya. Adapun sampah organik sebisa mungkin tak dibuang.
Ia teringat tragedi di tempat pemrosesan akhir sampah di Leuwigajah, Kota Cimahi, Jawa Barat, pada 2005. Akumulasi gas metana dari tumpukan sampah itu meledak sehingga membuat gunung sampah setinggi 60 meter longsor dan mengubur 157 penduduk di sana. “Orang biasanya membuang sampah makanan dengan membungkusnya dengan plastik. Gas metana bisa tercipta dari situ,” ujarnya. Daripada membuang, Agni lebih memilih mengolah sampah organik itu menjadi pupuk atau kompos.
Agni membuat sistem pengelolaan sampah di rumah agar semua proses pengurangan sampah itu bisa dilakukan lebih mudah. Misalnya menaruh wadah yang berbeda untuk pakaian yang bisa diperbaiki dengan pakaian yang sudah tak ingin dipakai lagi. “Kalau yang sudah tak dipakai lagi, saya bebas mengkreasikan semau saya,” ujarnya. Ia biasanya melibatkan tiga anaknya untuk berkreasi agar lebih menyenangkan. Misalnya merombak pakaian yang tak terpakai lagi itu menjadi bungkus kado, mainan anak, atau sarung makanan ala bento.
Kini sisa sampah yang mereka hasilkan sangat minim. Tinggal stoples kaca yang menjadi kemasan produk yang mereka beli dan kardus sereal atau susu yang ia serahkan ke lembaga pengelolaan sampah untuk didaur ulang. Semua ini dilakukan Agni untuk mengurangi sampah dari rumah.
Baru sebagian kecil masyarakat yang mengurangi sampah sejak dari rumah, seperti yang dilakukan oleh Agni dan Arifin. Padahal rumah tangga merupakan penyumbang sampah terbanyak. Menurut Direktur Jenderal Pengelolaan Sampah Limbah dan Bahan Beracun Berbahaya Kementerian Lingkungan Hidup Rosa Vivien Ratnawati, hampir separuh volume sampah berasal dari rumah tangga (48 persen). Sisanya berasal dari pasar tradisional (24 persen), kawasan komersial (9 persen), dan fasilitas publik, seperti sekolah, kantor, dan jalan. Sebanyak 67,8 juta ton timbunan sampah dihasilkan tahun lalu dari semua sumber.
Menurut anggota staf Divisi Kampanye Zero Waste Perkumpulan Yaksa Pelestari Bumi Berkelanjutan (YPBB), Anilawati Nurwakhidin, tak cukup mengandalkan tempat pembuangan akhir untuk menampung semua sampah itu. “Untuk wilayah Bandung saja, volumenya selama setahun sebesar Candi Borobudur. Belum dari daerah lain. Di mana kita bisa menyimpan sampah sebanyak itu?” ucapnya.
Sebagian masyarakat punya cara lain untuk melenyapkan sampah tersebut. Misalnya dengan membakar, mengubur, atau melemparkan sampah ke sungai. Namun semuanya berdampak negatif bagi lingkungan, makhluk hidup, dan tubuh manusia. “Misalnya kalau dibakar itu malah menjadi racun, menyebabkan penyakit pada pernapasan,” tutur Anilawati.
Jalan yang paling mudah dan tak merugikan adalah mengurangi sampah sejak dari rumah. Menurut Anilawati, 20 persen sampah rumah tangga merupakan sampah non-organik yang bisa didaur ulang. Sementara itu, 30 persen sisanya adalah sampah yang tak bisa didaur ulang, seperti kemasan makanan yang berwarna-warni, pembalut sekali pakai, popok sekali pakai, dan baterai. Adapun separuh sampah rumah tangga itu adalah makanan sisa dan limbah organik.
Pendiri dan Direktur Utama Garda Pangan, Eva Bachtiar, mengatakan setiap satu orang di Indonesia membuang 300 kilogram makanan setiap tahun. Gas metana yang dihasilkan dari makanan sisa itu tak hanya membuat ledakan, tapi juga menyumbang pemanasan global. “Sebanyak 6-7 persen jejak karbon di dunia berasal dari makanan,” ujar Eva.
Sampah makanan, menurut dia, juga merugikan secara ekonomi. Hitungannya tak cukup dari besaran rupiah yang hilang karena makanan tersebut tak jadi disantap. Namun juga dari sumber daya yang dihabiskan untuk menciptakan bahan pangan tersebut.
Ketika orang menyia-nyiakan makanan dan memilih membuangnya menjadi sampah, di sisi lain, ada 19,4 juta orang lain yang masih kelaparan. “Ada ketidaksetaraan akses terhadap makanan,” ucapnya.
Ketimbang membuang, Eva menambahkan, kita bisa melakukan berbagai upaya mengurangi sampah makanan. Dimulai dari membuat perencanaan menu makanan selama beberapa hari ke depan sehingga tak tergoda membeli bahan yang tak diperlukan. Kalaupun ada sisa makanan, sebaiknya donasikan kepada orang lain sebelum makanan itu basi. Jika sudah basi, bisa jadi makanan ternak. Kalau tak ada ternak, cara lainnya adalah dengan dikomposkan. “Dibuang itu jalan terakhir. Sebisa mungkin jangan sampai dibuang,” katanya.
Sampah lain, menurut Anilawati, juga bisa dikurangi sejak dari rumah. Misalnya dengan membawa minuman untuk menghindari membeli minuman berkemasan plastik sekali pakai dan membawa wadah makanan. Bawa tas belanja ke mana saja. Jadi, jika ingin membeli sesuatu, kita tinggal menyorongkannya. “Usahakan menggunakan barang yang bisa dipakai ulang,” tuturnya. Kalau ada barang yang sudah tak bisa dimanfaatkan lagi, pilah barang tersebut sesuai dengan kategorinya agar bisa didaur ulang.
NUR ALFIYAH, DODY HIDAYAT
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo