Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Industri melakukan sejumlah inovasi untuk mengurangi sampah plastik.
Industri berharap pemerintah mendukung industri daur ulang dengan insentif.
Peta Jalan Pengurangan Sampai Kementerian Lingkungan diniliai kurang ambisius.
LIMA hari dalam sepekan, Juleha beraktivitas dalam usaha pengumpulan dan pengolahan sampah botol plastik Koperasi Pemulung Berdaya di Tangerang Selatan, Banten. Pada awal masa pandemi Covid-19, koperasi ini sempat sepi dan diprotes warga yang khawatir terkena dampak sampah dari zona merah—daerah yang banyak kasus infeksi virus corona. Padahal semua sampah plastik itu disemprot disinfektan. “Sekarang sudah normal,” kata Juleha, Rabu, 17 Februari lalu.
Koperasi ini berdiri pada 2012. Jumlah anggotanya kini 58 orang, yang sebagian besar dulu pemulung. Sejak 2020, sampah yang dikumpulkan mencapai 5-8 ton per hari dari target 3-4 ton per hari. Saat ini sampah plastik botol 90 persen berasal dari pengepul, sisanya dari pemulung. Dulu, sebaliknya, persentase langsung dari pemulung 80 persen. Sampah plastik itu kemudian dijual ke pabrik daur ulang PT Namasindo Plas di Bandung.
Menurut Juleha, semua anggota terlibat dalam koperasi ini. Ada yang bertugas mengumpulkan sampah plastik botol dari pengepul. Ada pula yang memilah dan memprosesnya menjadi butir plastik. Setiap hari mereka tetap menerima pemulung yang menjual langsung. Harga belinya Rp 5.000 per kilogram. “Tak ada batas minimal pembelian,” ujar bendahara koperasi ini. Jika dikalkulasi, pemulung yang terlibat dalam rantai mereka kurang-lebih 5.000 orang, baik yang menjual langsung maupun di bawah pengepul.
Koperasi Pemulung Berdaya merupakan binaan Danone Indonesia. Adapun PT Namasindo Plas adalah pemasok bahan plastik daur ulang untuk perusahaan yang memproduksi air kemasan Aqua ini. Pengumpulan, pengelolaan, pengurangan, dan daur ulang sampah adalah salah satu kewajiban produsen yang diamanatkan dalam Peraturan Menteri Lingkungan Hidup dan Kehutanan Nomor P.75 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Pengurangan Sampah oleh Produsen. Peta jalan itu menargetkan pengurangan sampah sebesar 30 persen dibanding jumlah timbulan sampah pada 2029.
Menurut Director Sustainability Development Danone Karyanto Wibowo, pemanfaatan bahan daur ulang adalah salah satu upaya untuk mengurangi sampah plastik, selain membantu tempat pengolahan sampah terpadu dan kampanye pemilihan sampah. “Kami masih belum 100 persen memakai bahan daur ulang. Tapi kami sudah memproduksi kemasan yang 100 persen bahan daur ulang,” ucapnya, Selasa, 16 Februari lalu.
Menurut Karyanto, PT Namasindo Plas memproduksi bahan daur ulang 12 ribu ton per tahun. Untuk pengumpulan bahannya, perusahaan di Bandung itu bekerja sama dengan enam pengusaha atau komunitas lokal. Salah satunya adalah Koperasi Pemulung Berdaya. Lima lainnya adalah pengusaha di Bandung, Bali, dan Lombok.
Jumlah pasokan bahan daur ulang dari Namasindo Plas itu jauh dari mencukupi. Karena itu, menurut Karyanto, sejak 2017 Danone berpartner dengan Feolia, sebuah perusahaan Eropa yang bergerak di bidang industri daur ulang. Setelah melalui negosiasi, disetujui ada investasi pembangunan pabrik daur ulang di Pasuruan, Jawa Timur. Mulai dibangun 2018 lalu, pabrik dengan kapasitas 25 ribu ton per tahun itu akan mulai menyuplai Danone mulai tahun ini. “Target kami pada 2025 paling tidak agregat secara keseluruhan pemakaian bahan dari daur ulang 50 persen. Sekarang baru 10 persen,” ucapnya.
Jika Danone mengurangi sampah dengan pemanfaatan daur ulang, PT Coca Cola Indonesia membantu melalui pengelolaan sampah. Menurut Director of Public Affairs Communication and Sustainability PT Coca-Cola Triyono Prijosoesilo, visi CEO perusahaannya, James Quincey, adalah dunia tanpa sampah. “Ada aspirasi pada 2030 kami turut bantu mengumpulkan dan mendaur ulang sampah kemasan plastik botol sebanyak yang kami jual,” tuturnya, Kamis, 18 Februari lalu.
Ada sejumlah cara yang akan dilakukan PT Coca Cola. Hal itu antara lain mengubah kemasan, mengurangi pemakaian virgin plastic dari minyak bumi, menggunakan kemasan yang bisa didaur ulang, menggunakan bahan dari daur ulang, dan bekerja dengan komunitas untuk mendorong pengumpulan sampah. Selain membantu bank sampah dan kampanye, salah satu yang dilakukan adalah penerapan program Plastic Reborn.
Program ini, menurut Triyono, berupa dukungan terhadap tiga startup teknologi yang membantu pengelolaan sampah di Denpasar, Makassar, dan Kabupaten Gowa di Makassar. Di Denpasar, aplikasi yang didukungnya adalah Gringgo, aplikasi yang menghubungkan pengumpul dengan pengepul sampah di Denpasar.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Proses pembelian bahan rumah tangga secara curah dan pengepakan menggunakan barang ramah lingkungan, di toko Saruga, Bintaro, Jakarta Selatan, 19 Februari 2021./Tempo/Jati Mahatmaji
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Kerja sama ini bermula pada 2019. Menurut Febri Adi Pratama—pendiri dan kini CEO Gringgo—perusahaan rintisan teknologi ini berdiri pada akhir 2014. Melalui program Plastic Reborn, mereka berkolaborasi dengan dua inisiatif lainnya, yaitu Clean Up di Gowa dan Mall Sampah di Makassar. Jika Clean Up seperti perusahaan jasa angkut sampah, Mall Sampah berfokus kepada pengepul barang bekas yang bisa daur ulang.
Menurut Febri, Gringgo di Denpasar memiliki 100 lebih jaringan pengepul. Fungsi aplikasi ini adalah menjembatani pengumpul dengan pengepul sampah. “Seperti menjalankan fungsi mediasi,” katanya. Manfaat kerja sama dengan Coca Cola, kata dia, memberi dampak ke luas jangkauan yang sebelumnya hanya di Bali.
Langkah terbaru PT Coca Cola adalah mengubah warna botol Sprite dari hijau menjadi bening, sejak 18 Februari lalu. Perubahan ini dilakukan setelah mereka menemukan fakta bahwa harga botol bekas bening lebih tinggi dari botol hijau. Botol bening nilainya Rp 5.000-6.000 per kilogram di tingkat pengepul. Botol warna hijau Rp 4.000 per kilogram. “Karena kegunaan botol plastik bening PET lebih fleksibel,” ucapnya.
Inisiatif untuk pengurangan plastik juga dilakukan PT Unilever. Menurut Maya Tamimi, Head of Environment and Sustainibility PT Unilever, perusahaan ini pada 2019 mencanangkan komitmen global sebelum 2025 untuk memangkas setengah penggunaan plastik baru dengan memperbanyak daur ulang plastik, menggunakan kemasan yang 100 persen bisa didaur ulang, serta membantu pengumpulan dan pemrosesan kemasan plastik dari jumlah yang mereka jual.
Salah satu inovasi barunya adalah pendekatan sedikit plastik yang diwujudkan melalui kerja sama dengan toko Saruga di Tangerang Selatan. “Inovasinya adalah menjual produk tanpa kemasan, semacam curah,” ujar Maya, Rabu, 17 Februari lalu. Dengan konsep ini, konsumen bisa membeli barang tanpa plastik dan membayar sesuai dengan berat bersihnya.
Kerja sama ini diluncurkan pada 2020. Menurut Desiree Irawati, pemilik Saruga, tokonya berdiri pada September 2018. Konsepnya adalah menjual barang kebutuhan rumah tangga, khususnya bumbu dapur, secara curah. Untuk berbelanja di sini, konsumen harus membawa kotak sendiri. Setelah ada kerja sama itu, Unilever menjual produknya secara curah, yang saat ini masih berupa sabun, sampo, dan kecap.
Menurut Maya, tantangan dengan model Saruga ini adalah bagaimana memastikan kualitas produknya sama dengan yang ada dalam kemasan. Karena itu, Unilever memastikan wadahnya bersih agar tak mempengaruhi kualitas barang. “Karena model bisnis baru, ini tak bisa terlalu cepat diadopsi ke tempat lain,” ujarnya.
Desiree mengatakan pada awalnya memang terasa ribet berbelanja dengan cara seperti ini. Namun, dari hasil obrolan dengan para pembelinya, mereka senang karena seperti “berbuat sesuatu untuk lingkungan”. Meski pandemi merebak, usahanya bisa bertahan. Selain bisa menghidupi lima karyawan, usaha ini membantu usaha mikro, kecil, dan menengah karena mereka bisa menjual barangnya di sini.
Aktivis lingkungan dari Nexus3, Yuyun Ismawati Drwiega, menilai upaya produsen mengurangi sampah plastik sudah cukup bagus. “Cuma masih perlu didorong lebih banyak lagi,” ucapnya, Kamis, 18 Februari lalu. Dia menilai Peta Jalan Kementerian Lingkungan masih kurang ambisius dan berharap pemerintah juga menyasar industri pembuat plastiknya. Misalnya dengan memberlakukan moratorium dan tidak ada investasi baru. “Jika perlu kenakan cukai karena dampak lingkungannya, seperti halnya terhadap rokok.”
ABDUL MANAN
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo