KECEMASAN itu dimulai pada 1983, ketika sejumlah ilmuwan menemukan bahwa di atas Antartika, Kutub Selatan, lapisan ozon sudah bolong. Padahal, si ozon itulah yang selama ini melindungi bumi secara alami. Jelasnya gas yang membungkus lapisan atmosfer bumi pada ketinggian sekitar 30 km di atas permukaan laut itulah yang menjaring sinar ultraviolet yang dipancarkan matahari. Si ultra lembayung memang perlu ditahan karena cahaya ini menjadi penyebab berjangkitnya kanker kulit, juga katarak mata. Lalu mengapa lapisan ozon bolong? Pada 1920 sudah diketahui bahwa karbondioksida (CO2) dan Chloroflourocarbons (CFCs), dua zat yang sulit bereaksi dengan molekul lain, yang bisa lama bertahan di angkasa, justru mudah sekali bersenyawa dengan ozon. Bila waktu itu belum ada kecemasan, bahayanya memang belum tercium benar. Bila enam tahun yang lalu bahaya itu nyata sudah, para ahli pun menengok pada penyebab berlipatnya produksi CO2 dan CFCs. CO2 merupakan sisa pembakaran yang menggunakan minyak, gas alam, dan batu bara. Sedangkan CFCs adalah zat kimia buatan yang digunakan dalam mesin pendingin (lemari es maupun AC), dalam alat kosmetik yang disimpan dalam kaleng penyemprot, juga digunakan dalam perangkat pembersih komputer. Maka, seorang awam pun akan dengan mudah memahami peningkatan bahaya bolongnya ozon dari 1920-an ke 1980-an -- kegiatan yang memerlukan dan menghasilkan dua zat yang membolong lapisan ozon memang meningkat. Selain CFCs dan CO2 dengan ganas membolong lapisan ozon, kedua zat ini pun merepotkan bumi dari sudut yang lain. Sulitnya zat itu bereaksi dengan molekul lain menyebabkan zat ini berumur panjang di angkasa, dan lalu menutupi bumi. Maka, terjadilah yang disebut efek rumah kaca. Yakni, bumi menjadi semakin panas dan sumpek akibat sinar matahari yang jatuh tak terpantulkan bebas ke angkasa lagi, melainkan kembali ke bumi karena menabrak CFCs dan CO2 tadi. Hasil penelitian belum lama ini menyimpulkan bahwa di atas atmosfer Eropa Timur juga ditemukan penggerusan lapisan ozon yang hebat. Lalu di Kutub Utara, ternyata terkikisnya ozon pun amat parah. Dalam dua bulan, Oktober dan November tahun lalu, CFCs mengebor lubang bak sebesar benua Amerika dan setebal tinggi Mount Everest. Dunia pun lalu berunding tentang yang harus dilakukan guna melindungi bumi. Dua puluh satu negara pada 1987, di Montreal, Kanada, menandatangani perjanjian untuk menghentikan produksi CO2 dan CFCs sebelum tahun 200. Tapi, sebelum keputusan dijatuhkan, tentulah mesti ditemukan dulu alternatif penggantinya yang tak berbahaya bagi kelestarian alam dan lingkungan hidup. Sebab, sudah begitu banyak industri yang menghasilkan zat pembolong lapisan ozon itu. Apalagi bagi negeri berkembang, pengurangan atau lebih lagi penghentian penggunaan CFCs akan memacetkan perkembangan industralisasinya. Itulah yang dibicarakan di London pekan lalu, ketika para ahli lingkungan hidup dari 123 negara berkumpul di kota itu pekan lalu. Dan meningkatnya suhu bumi, yang salah satu penyebabnya adalah bolongnya lapisan ozon, dibicarakan di Den Haag awal pekan ini. Menteri Negara Kependudukan dan Lingkungan Hidup Emil Salim hadir. Di negeri-negeri maju, yang memproduksi 85% dari produksi 1,2 juta ton CFCs per tahun, penghentian penggunaan zat itu tampaknya tak begitu menimbulkan masalah. Sebab, negeri maju itu mampu menemukan teknologi alternatifnya. Tak demikian halnya dengan negara-negara berkembang. Bila mereka diminta iuea menghentikan total produksi CFCs-nya, artinya mesti ada uluran tangan teknologi dari negeri maju. Bila tidak, laju indutrialisasinya akan macet, dan muncullah masalah besar dalam bidang lain lagi: pengangguran besar-besaran, misalnya. Dari konferensi di London, beberapa negara mengusulkan dibentuknya satu badan dana dunia guna membantu negeri berkembang dalam mencarikan teknoloi alternatif. Sementara itu, akibat bolongnya lapisan ozon sudah nyata. Sekitar Juli tahun lalu, suhu udara di Washington mencapai 38 C. Panas dan kekeringan selama tiga bulan telah mengkisutkan hasil produksi pertanian di sana. Hal itu juga terjadi di Amerika bagian barat, tengah, maupun selatan. Pada 1987 pun Indonesia sempat mengalami kekeringan panjang. Panen raya mundur. Namun, tampaknya pembicaraan tentang kondisi dunia, dalam acara-acara konperensi internasional, masih sulit menghasilkan kesepakatan untuk bertindak kompak, terutama soal menentukan waktu pelarangan produksi CFCs itu. Kelompok Greenpeace, organisasi pencinta lingkungan hidup di AS yang anggotanya tersebar di berbagai negara ini, berpendapat bahwa pembreidelan CFCs tak baik ditunda-tunda. Karena kerusakan lapisan ozon berarti ancaman global bagi seluruh kehidupan di bumi. Bayangkan saja kalau setahun setidaknya 1 juta ton CFCs menghantam ozon. Padahal, tiap satu molekul CFCs mampu merangkul 100.000 molekul ozon. Berapa besar lubang di lapisan ozon, misalnya, di akhir abad ini? Dan seandainya penggunaan CFCs itu dihentikan sekarang juga, itu belum jaminan bahwa ozon sudah aman. Sebab, menuru Sherry Rowland, profesor kimia di Universitas California, CFCs yang kini telah mengudara baru akan habis bereaksi dengan ozon kira-kira tahun 2000. Setelah itu, untuk memulihkan kondisi ozon secara alami seperti keadaan pada 1960-an saja, membutuhkan waktu sekitar 2 abad.Suhardjo Hs.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini