Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Pameran bekas gubernur

Lukisan & sketsa karya henk ngantung dipamerkan di pasar seni ancol. henk bekas gubernur jakarta 1964-1965. ia bukan anggota lekra yang dibawah naungan pki. politik dan seni menyatu dalam diri henk.

25 Maret 1989 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

JIKA tak keliru menghitung, inilah pameran tunggal seni lukis terakbar dalam jumlah selama 15 tahun terakhir. Di Galeri Pasar Seni Ancol, Jakarta, Henk Ngantung, 68 tahun, pekan ini memajang sekitar 300 karya lukis cat minyak, pastel, cat air, dan sketsa. Karya-karya di kertas itu dibuat dalam ukuran serba besar. Memang, Henk, bekas Gubernur Jakarta, punya niat tertentu. "Siapa tahu, ini pameran saya yang terakhir, jika saya tak mampu lagi pameran pada usia 70 tahun nanti," katanya. Kemunculan kembali Henk Ngantung nampak mengejutkan banyak orang. Antara lain karena pada usia senjanya kini mata Henk dirongrong rabun. Jadi, bagaimana ia bisa melukis? Kemudian pertanyaan lama muncul pula kini: benarkah ia dulu anggota Lekra, organisasi kebudayaan yang berada di bawah PKI? "Saya melukis tak hanya dengan mata, tapi juga dengan hati. Dan saya bukan PKI," itulah jawaban Henk buat dua masalah tersebut. Memang ada anggapan, ketika Henk diangkat menjadi Gubernur Jakarta, Agustus 1964, PKI-lah yang mencalonkannya. Padahal, sesungguhnya tak persis begitu, tutur Henk. Sejak belasan tahun sebelum itu, Henk telah dekat dengan Bung Karno. Ini karena kesamaan sifat: Henk pelukis yang senang politik, Bung Karno politikus yang gemar melukis. Tahun 1957 Henk mulai duduk di lembaga-lembaga pemerintahan, seperti Dewan Nasional (kemudian menjadi Dewan Pertimbangan Agung), anggota MPRS, dan berbagai panitia negara yang menyangkut tata rias kota. Tahun 1959, Bung Karno menulis kattebeletje kepada Henk, yang isinya tentang "Lima P". Yakni: Perut, Pakaian, Perumahan, Pergaulan, Pengetahuan. Ini kebutuhan absolut bagi rakyat, tulis Bung Karno. Dalam Pergaulan dan Pengetahuan itu, termasuklah "pembudayaan". Kattebeletje itulah kunci pengangkatan Henk jadi gubernur. "Bung Karno ingin Jakarta indah," cerita Henk. Syahdan, keinginan Bung Karno ini dicium PKI. Maka, dengan penuh semangat, PKI mendukung pencalonan Henk jadi gubernur. Inilah rupanya yang menyebakan ia dihubung-hubungkan dengan PKI. Tapi apa yang diperoleh PKI? Pada masa pemerintahan Henk, PKI tak mendapat prioritas dalam politik pengelolaan kota. Henk tetap menempatkan diri sebagai "pejabat tak berpartai". Alhasil, di zaman PKI menguasai panggung itu, Henk memetik demonstrasi-demonstrasi, yang mengakibatkan ia turun takhta setahun kemudian, Juli 1965. Masa pemerintahan Henk memang singkat, tapi meninggalkan bekas. Monumen seperti patung Pembebasan Irian Barat di Lapangan Banteng, patung Selamat Datang, yang aslinya bernama patung Bangsa Indonesia Menyambut Hari Depannya, di depan Hotel Indonesia adalah rancangannya. Begitu pula berbagai air mancur yang menyejuki Jakarta. Yang paling mengesankan adalah ide penghijauan Jakarta, dengan kuali-kuali besar sebagai jambangan tanaman, yang dijajar rapi di tengah kota. Lain dari itu, lambang DKI Jakarta yang sekarang adalah juga bikinannya. Juga lambang Kostrad. Tapi ke mana terbang bangau bila tak ke pelimbahan juga? "Setelah perjalanan yang begitu panjang dan menempati pelbagai kedudukan, saya tiba kembali di pangkal asal, yaitu hanya sebagai pelukis biasa." Henk Ngantung, yang aslinya bernama Joel Hermanus Ngantung, lahir di Bogor. Masa kecilnya ia lakoni di Minahasa. Dan di Minahasa itulah minatnya terhadap seni lukis berkembang. Tahun 1937 ia menetap di Bandung, bergabung dengan Wolf Schoemaker, Luigi Nobili, C.L. Dake, dan sejumlah pelukis Eropa kenamaan lainnya. Di kota ini pula ia bertemu dengan Affandi. Cita-cita menjadi pelukis besar pun makin kuat. Sementara itu, ada sisi lain dari Henk. Kepandaiannya bergaul dan minatnya pada masalah-masalah sosial membawanya ke forum-forum politik. Minatnya yang lain ini pun bertemu dengan bakat seninya. Ia sempat mengabadikan Perundingan Renville, Kaliurang, Linggarjati, Negara Indonesia Timur, dan sebagainya. Ia hadir dalam peristiwa sejarah itu sebagai "wartawan" yang bekerja dengan coretan. Peluang ini melahirkan ratusan sketsa (hitam putih dan berwarna) Henk yang sekarang dipamerkan. Sketsa historik, dengan garis-garis yang lincah dan impresif. Dengan ketepatan tebal tipis yang sanggup mengutuhkan citra keruangan. Politik dan seni agaknya bersatu dalam diri Henk. Lukisannya yang legendaris, Belajar Memanah, yang jadi koleksi Istana Negara, adalah simbol keberadaban bangsa Indonesia yang baru bangkit. Karyanya yang lain, Bangkit Tersentuh Fajar, mengisahkan anak bangsa yang terdobrak jiwa pembangunannya, untuk menyempurnakan eksistensi dirinya. Sementara itu, tema-tema filosofis tampak pada lukisan Henk remaja. Sebuah karyanya menyenandungkan dunia hewan yang terbantai manusia. Lukisan ini bergambar potongan daging sapi. Ada kesan mengerikan. Satu hal lagi, Henk tak menjual karya bersejarahnya satu demi satu, tapi satu serial. "Hanya agar tak tercerai-berai saja," katanya. Agus Dermawan T.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus