Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
BUTUH waktu penerbangan lebih dari sehari-semalam untuk Syahrul Fitra tiba di Cali, kota wisata sejarah yang berada 457 kilometer sebelah barat daya Bogotá, ibu kota Kolombia. Bukan untuk berpelesir, Juru Kampanye Hutan Senior Greenpeace Indonesia itu hendak menghadiri Konferensi Para Pihak Ke-16 Konvensi Keanekaragaman Hayati atau populer disebut COP16 CBD, yang berlangsung pada 21 Oktober-1 November 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“COP16 ini penting karena menjadi forum pertemuan pertama para pihak untuk membicarakan implementasi Kerangka Kerja Keanekaragaman Hayati Global Kunming-Montreal (KM-GBF),” kata Syahrul melalui Zoom sebelum keberangkatannya ke Cali, Selasa, 15 Oktober 2024. “KM-GBF yang telah diadopsi pada COP15 di Montreal dua tahun lalu itu memuat 23 target yang mesti dicapai pada 2030,” tuturnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Ia menekankan, ada target-target KM-GBF yang krusial berkenaan dengan pendanaan keanekaragaman hayati. Misalnya Target 19, ihwal kewajiban negara maju memberikan dukungan US$ 20 miliar per tahun kepada negara kurang berkembang, negara pulau kecil, dan negara megabiodiversitas seperti Indonesia, Brasil, dan Kongo. “Sudah disepakati akan dimulai pada 2025, tapi kapan dan bagaimana (implementasi) serta apa instrumennya belum dibicarakan.”
Syahrul menyayangkan ketidakhadiran para menteri yang menjadi Titik Fokus Nasional (NFP) untuk Konvensi Keanekaragaman Hayati dalam agenda pembahasan yang penting itu. “Seorang delegasi yang akan terlibat dalam negosiasi teks kesepakatan mengatakan Indonesia akan menjadi tukang blok (blocker) kesepakatan,” ujar Syahrul. “Alasannya, tak bisa membuat keputusan karena belum ada menteri atau pengambil keputusan yang duduk di pemerintahan baru.”
Medrilzam, pelaksana tugas Direktur Kehutanan dan Konservasi Sumber Daya Air Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas) membenarkan mengenai tak ikutnya pejabat senior di COP16. “Waktunya tidak pas. Jadi yang berangkat sangat terbatas pada tim teknis,” ucap Medrilzam, yang memimpin penyusunan Strategi dan Rencana Aksi Keanekaragaman Hayati Indonesia (IBSAP) 2025-2045.
Anggota delegasi COP15 di Montreal, Kanada, pada Desember 2022 ini mengaku tidak tahu agenda detail tim delegasi sekarang. Yang pasti, menurut dia, delegasi akan mempromosikan IBSAP 2025-2045. “IBSAP ini obligasi kita kepada Konvensi Keanekaragaman Hayati,” ujar Medrilzam. “Kami menjelaskan kondisi biodiversitas Indonesia. Kita juga punya aksi untuk konservasi, penggunaan berkelanjutan, rencana pendanaan, kelembagaan, pemantauan, dan sebagainya.”
Medrilzam menjelaskan, penyusunan IBSAP 2025-2045 dimulai pada Agustus 2020. Namun proses itu sempat terhenti karena pandemi Covid-19. “Mulai kencang lagi sejak Januari 2023. Jadi hampir dua tahun penyusunannya sampai diluncurkan pada 8 Agustus 2024,” kata Medrilzam, yang sebelumnya menjabat Direktur Lingkungan Hidup Bappenas.
“Boleh saya katakan kita telah menorehkan sejarah yang belum pernah ada sebelumnya karena berhasil memasukkan IBSAP ke arus pembangunan. Selama ini kan biodiversitas tidak pernah diperhitungkan dalam pembangunan kita,” tuturnya. “Tapi sekarang di Undang-Undang Nomor 59 Tahun 2024 tentang Rencana Pembangunan Jangka Panjang Nasional (RPJPN) 2025-2045, biodiversitas menjadi satu dari 45 indikator pembangunan.”
Dengan masuknya biodiversitas ke RPJPN, Medrilzam menambahkan, turunannya pun—Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN)—akan mengikuti struktur IBSAP. “Makanya saya menyebutnya tonggak sejarah. Sebab, IBSAP sekarang ini yang mengarahkan betul pembangunan ke depan harus mempertimbangkan aspek biodiversitas,” ujarnya. “Karena ada di undang-undang, mau tidak mau harus dikerjakan, karena ada target kuantitatifnya.”
Dari sisi substansi, Medrilzam menambahkan, IBSAP 2025-2045 mengikuti KM-GBF yang telah disepakati untuk diadopsi pada COP15. “Tentunya kami sesuaikan dengan konteks Indonesia. Kemungkinan besar semua (target KM-GBF) masuk,” tuturnya. Dia tak memungkiri Target Aichi pun yang seharusnya dicapai pada 2020 masih ada yang belum terpenuhi. “Target Aichi menjadi baseline untuk KM-GBF, yang belum berhasil dilanjutkan tapi targetnya ditambah.”
Seekor hiu paus di Taman Nasional Teluk Cenderawasih, Katisore, Nabire, Papua, 14 Oktober 2013. [Dok.Tempo/Rully Kesuma]
Salah satu Target Aichi yang belum dicapai Indonesia adalah penyediaan kawasan konservasi perairan sebesar 30 persen dari luas wilayah laut. Hal ini menjadi sorotan Rayhan Dudayev, Juru Kampanye Strategi Legal dan Politik Regional Greenpeace Asia Tenggara. Menurut Rayhan, Target 3 KM-GBF bukan hanya soal luas 30 persen, tapi juga menekankan adanya pengakuan hak-hak masyarakat adat dan komunitas lokal, termasuk hak-hak tradisional wilayahnya.
“Nah, yang harus menjadi target itu bukan hanya kawasan konservasi konvensional seperti taman nasional, melainkan juga kearifan lokal. Misalnya sasi dari teman-teman di Indonesia timur bisa berkontribusi terhadap capaian 30 persen itu,” ucap Rayhan, yang juga menghadiri COP16, melalui Zoom pada Selasa, 15 Oktober 2024. “Sebenarnya target KM-GBF mendorong negara-negara pihak punya tata kelola yang inklusif, bukan membikin kawasan konservasi model zaman dulu yang dari atas ke bawah.”
Direktur Konservasi Ekosistem dan Biota Laut Kementerian Kelautan dan Perikanan (KKP) Muhammad Firdaus Agung Kunto Kurniawan membenarkan ihwal target perluasan kawasan konservasi perairan laut pada 2025 seluas 30 juta hektare (9,21 persen dari luas wilayah laut Indonesia). Indonesia, Firdaus memaparkan, dalam usulan target rancangan RPJMN 2025-2029, menargetkan penyediaan 10 persen kawasan konservasi laut atau seluas 32,5 juta hektare pada 2029.
“KKP membagi target tersebut secara bertahap selama lima tahun. Penentuan target itu mengacu pada rancangan perluasan 30 persen (97,5 juta hektare) kawasan konservasi sampai 2045 yang telah disusun KKP bersama tenaga ahli dan mitra,” kata Firdaus melalui jawaban tertulis yang Tempo terima, Jumat, 18 Oktober 2024. “Perancangan itu memadukan pemetaan dan pemodelan peta dengan konsultasi kepada perwakilan para pakar perguruan tinggi dan lembaga riset, pemerintah provinsi, dan lembaga swadaya masyarakat.”
Firdaus hakulyakin target tersebut dapat tercapai secara bertahap dalam lima tahun di beberapa lokasi tertentu. “Potensi perluasan kawasan konservasi terdapat di delapan Wilayah Pengelolaan Perikanan (WPP),” tutur Firdaus. Potensi lokasi itu adalah WPP 572 (perairan Samudra Hindia sebelah barat Sumatera dan Selat Sunda), WPP 573 (perairan Samudra Hindia selatan Jawa hingga selatan Nusa Tenggara, Laut Sawu, dan Laut Timor bagian barat), serta WPP 712 (perairan Laut Jawa).
Kemudian di WPP 713 (perairan Selat Makassar, Teluk Bone, Laut Flores, dan Laut Bali), WPP 714 (perairan Teluk Tolo dan Laut Banda), WPP 715 (perairan Teluk Tomini, Laut Maluku, Laut Halmahera, Laut Seram, dan Teluk Berau), WPP 716 (perairan Laut Sulawesi dan sebelah utara Pulau Halmahera), serta WPP 717 (perairan Teluk Cendrawasih dan Samudra Pasifik).
Dari situs Sistem Database Konservasi (Sidako) milik KKP, terungkap bahwa sampai 2022 capaian kawasan konservasi adalah 29.276.540,76 hektare (8,96 persen) dengan jumlah 425 kawasan konservasi. Dari jumlah itu, ada 289 kawasan konservasi dengan total luas 6,83 juta hektare yang statusnya belum diusulkan. Menurut Firdaus, proses penetapan diawali dengan pengusulan oleh gubernur kepada menteri sesuai dengan kesiapan dokumen rencana zonasi dan pengelolaan target konservasi.
“Hal ini membutuhkan waktu dan kesiapan anggaran yang memadai untuk menyusun rancangan zonasi dan mengetahui kondisi target konservasi, dari status ekologi ancaman, sosial, ekonomi, hingga budaya masyarakat,” ujar Firdaus. “Untuk mengatasi hal tersebut, KKP menetapkan secara bertahap target penetapan kawasan konservasi dalam jangka waktu lima tahun ke depan.”
Menanggapi ihwal kawasan konservasi laut yang ditargetkan oleh KKP seluas 97,5 juta hektare pada 2045, Medrilzam mengaku khawatir. “Kawasan konservasi segede itu emangnya enggak ada patroli? Di laut itu cost-nya lebih besar. Siapa yang bayarin?” kata Medrilzam. Ia mengaku melayangkan protes di KM-GBF yang seenaknya menetapkan 30 x 30 kawasan konservasi. Padahal kontribusi pendanaan dari negara maju (hibah dari Global Environment Facility) kurang dari 1 persen.
Firdaus menjelaskan, berdasarkan analisis biaya-manfaat yang dilakukan KKP, pencapaian target 30 persen kawasan konservasi itu memerlukan Rp 39,21 triliun dari dana publik (Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara serta anggaran pendapatan dan belanja daerah). “Pencarian pendanaan tidak secara spesifik dilakukan di COP16. Namun akan dilakukan penjajakan potensi kerja sama bilateral dan multilateral untuk mendukung pencapaian target konservasi laut di Indonesia,” ucap Firdaus.
Cara berpikir dalam hal pembebanan pendanaan biodiversitas kepada negara ini, menurut Medrilzam, mesti diubah. “Bagaimana caranya biodiversitas ini tidak lagi menjadi cost center, tapi juga bisa kita manfaatkan sebagai penggunaan berkelanjutan,” kata Medrilzam. “Makanya di COP16 sekarang, selain menyampaikan kondisi konservasi, kami membicarakan pemanfaatan berkelanjutan biodiversitas dan tata kelolanya. Makanya kami membicarakan bioekonomi (ekonomi hijau dan biru),” ujarnya.
Syahrul Fitra menyambut baik strategi pendanaan IBSAP untuk menutup celah pembiayaan pengelolaan keanekaragaman hayati dengan memperbesar sumber pendanaan biodiversitas melalui pendanaan swasta sebagai sumber utama. Namun Syahrul mewanti-wanti pendekatan solusi berbasis pasar yang ia anggap mengkhawatirkan. “Pendekatan market mechanism seperti biodiversity credit itu justru tidak transparan, ada di pihak swasta, sehingga akan merugikan masyarakat adat,” tuturnya.
Dia memaparkan, masyarakat adat harus menjadi garda terdepan dalam pelindungan keanekaragaman hayati. “Makanya kami mendorong pendanaan dari negara maju langsung diberikan kepada masyarakat adat,” ucapnya. Itu sebabnya Syahrul menyayangkan tiadanya pejabat senior yang akan memimpin delegasi Indonesia dalam bernegosiasi di COP16. “Karena perdebatannya masih di level apakah diberikan langsung atau tidak serta bentuknya seperti apa.”
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Di edisi cetak, artikel ini terbit di bawah judul "Konferensi Biodiversitas tanpa Menteri"