TANKER LNG sudah ratusan kali bolak-balik ke Jepang mengangkut
gas alam cair dari ladang Badak, Kalimantan Timur. Tapi,
pencemaran lingkungan yang diakibatkan oleh sumur-sumur gas dan
minyak bumi maskapai Huffco di sana, masih tak tertanggulangi.
Penduduk, 8 tahun sesudah pengeboran pertama dilakukan, sudah
tak tahan lagi terus-menerus jadi korban polusi Huffco, dan
mulai angkat bicara. Mereka, 20 Juni lalu mengadukan nasib ke
DPRD Kal-Tim di Samarinda.
Ke-65 warga RT IV Kampung Muara Badak Ilir, Kecamatan Muara
Badak Kabupaten Kutai, diwakili tujuh pemuka masyarakat. Yakni
M. Suyuti (46), Ambo Umar (60), Bora (50), Burhan (38), M. Sail
(36), A. Patta M (20), dan Ref Ardjus (39) yang bertindak
sebagai jurubicara. Mereka mengadukan soal pemindahan, ganti
rugi tanah dan bangunan yang belum ada realisasinya. Masalah
pemindahan ini seharusnya sudah dilaksanakan 1« tahun lalu.
Pengungsi Vietnam
Tapi tak hanya itu yang menggelisahkan penduduk. Pemindahan
penduduk RT IV Kp. Muara Badak Ilir tersebut dibatalkan.
Alasannya, tak jelas. "Akan janggal sekali kalau nasib pengungsi
Vietnam lebih baik dari pada nasib kami di Badak," keluh mereka
kepada DPRD. Mereka minta DPRD Kal-Tim agar segera menyelesaikan
masalah itu. "Kalau tidak, persoalan akan dibawa ke DPR-RI."
Masalah ini sebenarnya bukan cerita baru. Pemindahan penduduk
dan pembayaran ganti rugi misalnya sudah dibicarakan tahun 1973.
Tapi kini soalnya rupanya semakin gawat. Kecamatan Muara Badak,
praktis sudah dikepung sumur-sumur bor Huffco dari segala
penjuru. Sehingga baik kebun, sungai, maupun udara Muara Badak
sudah tercemar oleh polusi yang ditimbulkan oleh pengeboran dan
pembakaran gas sumur (associate gas).
Akhir Pebruari lalu, menurut laporan pembantu TEMPO di Kal-Tim,
hujan deras mencurahi bumi Muara Badak. Penduduk yang sudah tak
mampu memperoleh air bersih dari sungai, telah menyiapkan
drum-drum penampung air hujan. Tapi sialnya, beberaa kali
rahmat dari langit yang tertampung di drum terpaksa dibuang
kembali ke tanah. Sebab air hujan pun sudah berwarna coklat,
kotor dan berbau tanah. Akibat debu yang sudah terlalu tebal
melapisi atap dan talang rumah.
Hidup Di "Neraka"
Huffco memang pernah menyediakan air bersih beberapa drum untuk
penduduk. Tapi itu tak lama. Sehingga mereka kembali tergantung
pada air sungai. Repotnya di hulu sungai, apalagi di hilir, kali
Muara Badak itu sudah berbahaya pula akibat air limbah dari
tambang Huffco. Ikan dan udang pada mati mengambang, begitu pula
itik yang berani turun ke air.
Penduduk juga belum lupa peristlwa meninggalnya Ambo Gunung. Ia
mati dengan badan hitam kaku, sekejap sesudah mandi di benrang
(parit) yang kemasukan limbah air sumur bor Huffco. Orang tua
ini mungkin agak ceroboh, mengingat banyak ternak yang telah
lebih dulu mati kaku dengan badan hitam hangus, ketika mencoba
turun ke sungai tanpa menjamah air sungai pun, bermukim di Muara
Badak rasanya sudah seperti di neraka. Ini terutama akibat
pembakaran gas pengiring di sumur atau kolam gas bumi yang
terpencar-pencar, tanpa batas yang jelas antara daerah
pemukiman/pertanian, dan daerah pertambangan. Asap yang mengepul
dari kolam minyak yang sedang diare siang-malam, ada yang
cahayanya bisa tampak dari hotel Lamin Indah di kota Samarinda.
Padahal Muara Badak letaknya kira-kira 6 jam perjalanan lewat
sungai dari ibukota Kal-Tim itu. Jadi dapat dibayangkan, mereka
yang tinggal dekat api itu tentulah rasanya seperti terpanggang.
Belum lagi polusi suara kobaran gas yang meraung seperti pesawat
pancargas.
Menanggapi laporan penderitaan rakyat Muara Badak itu, DPRD
Kal-Tim maupun Gubernur Ery Soepardjan belum dapat menjanjikan
pemecahan yang segera. Bupati Kutai juga belum melaporkan
rencana ke mana ibukota kecamatan Muara Badak itu bakal
dipindahkan nantinya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini