Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Kesederhanaan Itu 57 Tahun

Perguruan Taman Siswa yang penting peranannya dalam sejarah Indonesia, ternyata kini tidak menarik bagi para siswa baru. Perguruan taman siswa didirikan 3 juli 1922 oleh K.H. Dewantara. (pdk)

7 Juli 1979 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

SEORANG anak di Yogya diantar ibunya mendaftar ke Taman Indriya -- taman kanak-kanak dalam perguruan Taman Siswa. Anak itu melihat anak-anak yang tidak seragam, malahan ada yang hanya memakai sandal. Sementara ruang kelasnya berdinding gedeg dan lantai semen sudah banyak yang pecah. Dan siswa-siswa itu diantar jalan kaki, dibonceng sepeda atau naik beca saja. Uang pendaftaran memang hanya Rp 600. Tapi anak itu tidak mau disekolahkan di situ. Ibunya pun setuju. "Sekolah macam ini tentu tak akan membuat anak saya pintar," katanya. Mereka pun mencari TK yang lain, TK Tarakanita. Di sini anak-anak diantar mobil atau sepeda motor, seragam mentereng, ruang kelas megah, dan uang pendaftaran Rp 50 ribu. Dan jadilah anak itu mendaftar. Peristiwa itu benar-benar terjadi. Dan agaknya itulah gambaran hubungan Perguruan Taman Siswa (PTS) dengan masyarakatnya sekarang ini. Dalam usianya tepat 57 tahun, 3 Juli yang lalu, peranan PTS rupanya memang tak secemerlang di zaman penjajahan Belanda dulu. "Memang repot," kata Abdurrachman Surjomihardjo, 50 tahun, alumnus PTS dan ahli sejarah yang kini menjabat Kepala Pusat Penelitian Perkembangan Masyarakat LEKNAS/LIPI. "Kesederhanaan yang menjadi ciri Taman Siswa, kini menjadi contoh yang tidak memikat," lanjutnya. Jadi, kemundurankah yang dialami perguruan tersebut setelah dengan gigih tetap bertahan tak mau terikat dengan subsidi pemerintah? Didirikan 3 Juli l922 oleh Ki Hadjar Dewantara (waktu itu masih RM Suwardi Suryaningrat), awal 30-an telah mempunyai 225 cabang tersebar di seluruh Indonesia. Pesatnya perkembangannya ini tentu saja amat erat hubungannya dengan gerakan kemerdekaan nasional waktu itu. Artinya, orang bangga masuk PTS karena identitas nasionalnya -- walaupun dengan pengorbanan karena fasilitas sekolah tak cukup memadai. "Tapi masalah kesejahteraan bukan masalah penting zaman itu. Atas nama perjuangan kemerdekaan orang mau masuk Taman Siswa dengan kondisi yang demikian," kata sejarawan Abdurrachman. Taman Siswa, yang di zaman penjajahan termasuk dianggap "sekolah liar" memang didirikan sebagai bagian dari penolakan terhadap pemerintah Belanda. Dasar yang telah diletakkan pendirinya, Ki Hadjar Dewantara, cukup kukuh. Asas Taman Siswa yang terdiri dari 7 bab itu, yang disepakati Kongres Taman Siswa 1930, pada pokoknya bisa diringkas dalam satu pedoman untuk menjadi manusia yang mampu berkembang terlebih dahulu harus menjadi manusia merdeka dan untuk merdeka, harus bisa berdiri sendiri atas kekuatan sendiri. Asas ini, seperti ditentukan setengah abad yang silam, "tidak boleh dikurangi," selama Taman Siswa hidup. Tapi rupanya orang sekarang lain. "Mereka mengira dengan kesederhanaan tidak bisa mendapat ilmu yang lengkap," kata Ki Moesman Wiryosentono, Panitera Umum Majelis Luhur. Kesederhanaan itu pertama-tama memang tampak di luar. Sekolah Taman Siswa dibandingkan sekolah swasta terkemuka lain kurang semarak. Ki Soeratman, Ketua Majelis Luhur -- badan eksekutifnya Taman Siswa -- menyatakan: "Dengan dana yang ada sekolah-sekolah swasta lain bisa membangun sarana fisik yang mentereng." Apakah dengan kenyataan itu sekarang Taman Siswa juga menolak tambahan dana dari pemerintah. Nampaknya tidak lagi, meskipun dengan syarat. Di dalam memberikan subsidi kepada perguruan swasta, pemerintah memang mengharuskan syarat-syarat tertentu, antara lain: guru harus berijasah negeri, sistim pendidikan juga ditentukan, bahkan lokal pun ditentukan. "Kami tak bisa menerapkan itu semua," kata Ki Moesman. "Taman Siswa mempunyai pendidikan guru sendiri," lanjutnya. Pemerintah nampaknya tak berkeberatan. Sejak lama PTS mendapat bantuan --terakhir, 1978, sebesar Rp 62 juta. "Tahun ini entah ada bantuan entah tidak, sebab resminya kami tidak minta," kata Hariyadi, Ketua Bidang Pendidikan Majelis Luhur. Tut Wuri Handayani Sistim pendidikan PTS memang mempunyai cara sendiri. Dasar yang diletakkan oleh Ki Hadjar, banyak diilhami oleh metode Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dengan Perguruan Santiniketan-nya. Kedua pelopor pendidikan itu bahkan pernah mengunjungi Taman Siswa di masa sebelum Perang Dunia II. Pada dasarnya metode ini percaya adanya potensi kreativitas anak-anak dan hak anak-anak untuk dihargai sebagai dirinya dak tidak harus hanya mengikut gurunya saja. Anak-anak dibiarkan berkembang sendiri menurut bakat dan minat masing-masing, sementara guru hanya berdiri di belakang. Ini tercermin pada semboyan PTS: Tut Wuri Handayani -- yang sejak Menteri Syarif Thayeb digunakan juga sebagai semboyan pendidikan nasional. Selain dari itu, PTS punya semangat untuk menciptakan hubungan antara guru dan murid yang lebih dekat. Menurut Hariyadi, "Di Taman Siswa guru wajib siap mengajar 24 jam penuh: ya, dikelas, di jalan, di mana pun." Inilah yang disebut "sistim pamong". Menurut Ki Hariyadi, guru PTS bahkan wajib aktif dalam masyarakat. "Ki Soeprapto misalnya, aktif mengumpulkan anak-anak putus sekolah untuk dididik keterampilan," katanya kepada Putu Setia, koresponden TEMPO di Yogya. Para guru juga harus mengikuti tradisi Taman Siswa: jadi pamong tidak untuk penghasilan. Sistim gaji di PTS ditentukan demikian rupa, hingga beda gaji tertinggi dengan terendah tak lebih dari 8:1 (di pemerintah konon sampai 300:1). Di Sumatera Utara misalnya, guru-guru berladang untuk ganjal hidupnya. Dengan semangat luhur seperti itu, siapa sajakah yang suka memasukkan anak-anaknya menjadi siswa PTS? "Sekarang ini semua orang memerlukan sekolah. Dan peledakan anak-anak sekolah makin banyak. Maka kami tak pernah kekurangan murid, bahkan tak bisa menampung semua yang telah mendaftar," kata Urip Supeno, 52 tahun, salah seorang yang penting di PTS Jakarta. Tapi diakuinya sebagian besar anak-anak meletakkan PTS sebagai pilihan ketiga atau keempat sesudah sekolah negeri atau sekolah favorit lainnya. Ini diketahui berdasar sistim rayonisasi yang diterapkan di DKI Jakarta. "Tapi banyak juga orangtua yang memasukkan anak-anaknya ke Taman Siswa, terutama untuk tingkat SD-nya, semata karena orangtuanya alumnus Taman Siswa," lanjutnya. Pemikir Setelah mengalami dua pukulan, di zaman Jepang dan sewaktu G30S PKI, kini PTS mempunyai 130 cabang, tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Madura. Di zaman Jepang dipaksa bubar atau menjadi sekolah pemerintah. Sewaktu G30S PKI banyak yang terlibat dan sekolah ditutup. "Bahkan di Wates dan Purwokerto sulit didirikan lagi, karena masyarakat sudah tak percaya," kata Ki Suprapto. Sekarang PTS mempunyai murid sekitar 70 ribu dengan guru sekitar 3 ribu. Dan 60% adalah guru hasil Taman Guru Taman Siswa sendiri. Toh, penilaian bahwa PTS mundur, tak hanya datang dari orang luar. Abdurrachman Surjomihardjo sendiri, alumnus dan pernah mengajar di PTS Jakarta, mengatakan begitu. "Dan salah satu sebabnya, para pendidiknya yang tak semuanya lulusan PTS," katanya. Tetapi secara keseluruhan pun, bila dibanding dengan zaman Hindia-Belanda dulu, pendidik yang sekarang kalah jauh. Ini juga dikatakan oleh Ki Sugondo Kartoprodjo, 71 tahun, dari PTS cabang Sumatera Utara: "Mutu pendidikan kita sepuluh tahun terakhir ini menurun sekali," kata Sugondo. Dan sebabnya, "pengetahuan guru menurun banyak dibanding 15 tahun yang lalu." Apa pun sebabnya, zaman memang melahirkan keruwetan, kepahitan tapi juga kemungkinan baru. Masalah yang dihadapi PTS kini ialah karena ia belum lagi melahirkan pemikir dan penggerak baru, seorang Ki Hadjar Dewantara muda menjelang akhir abad ke-20. Wafatnya Ki Said pertengahan bulan lalu menambah kekosongan itu. Itu tak berarti Ki Hadjar yang dulu tak lagi patut dan relevan bagi masa kini. Namun Indonesia agaknya perlu digetarkan lagi oleh suara segar dari taman tempat Suwardi Suryoningrat menanam benih.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus