SEORANG anak di Yogya diantar ibunya mendaftar ke Taman Indriya
-- taman kanak-kanak dalam perguruan Taman Siswa. Anak itu
melihat anak-anak yang tidak seragam, malahan ada yang hanya
memakai sandal. Sementara ruang kelasnya berdinding gedeg dan
lantai semen sudah banyak yang pecah. Dan siswa-siswa itu
diantar jalan kaki, dibonceng sepeda atau naik beca saja.
Uang pendaftaran memang hanya Rp 600. Tapi anak itu tidak mau
disekolahkan di situ. Ibunya pun setuju. "Sekolah macam ini
tentu tak akan membuat anak saya pintar," katanya. Mereka pun
mencari TK yang lain, TK Tarakanita. Di sini anak-anak diantar
mobil atau sepeda motor, seragam mentereng, ruang kelas megah,
dan uang pendaftaran Rp 50 ribu. Dan jadilah anak itu mendaftar.
Peristiwa itu benar-benar terjadi. Dan agaknya itulah gambaran
hubungan Perguruan Taman Siswa (PTS) dengan masyarakatnya
sekarang ini. Dalam usianya tepat 57 tahun, 3 Juli yang lalu,
peranan PTS rupanya memang tak secemerlang di zaman penjajahan
Belanda dulu. "Memang repot," kata Abdurrachman Surjomihardjo,
50 tahun, alumnus PTS dan ahli sejarah yang kini menjabat Kepala
Pusat Penelitian Perkembangan Masyarakat LEKNAS/LIPI.
"Kesederhanaan yang menjadi ciri Taman Siswa, kini menjadi
contoh yang tidak memikat," lanjutnya.
Jadi, kemundurankah yang dialami perguruan tersebut setelah
dengan gigih tetap bertahan tak mau terikat dengan subsidi
pemerintah?
Didirikan 3 Juli l922 oleh Ki Hadjar Dewantara (waktu itu masih
RM Suwardi Suryaningrat), awal 30-an telah mempunyai 225 cabang
tersebar di seluruh Indonesia. Pesatnya perkembangannya ini
tentu saja amat erat hubungannya dengan gerakan kemerdekaan
nasional waktu itu. Artinya, orang bangga masuk PTS karena
identitas nasionalnya -- walaupun dengan pengorbanan karena
fasilitas sekolah tak cukup memadai. "Tapi masalah kesejahteraan
bukan masalah penting zaman itu. Atas nama perjuangan
kemerdekaan orang mau masuk Taman Siswa dengan kondisi yang
demikian," kata sejarawan Abdurrachman.
Taman Siswa, yang di zaman penjajahan termasuk dianggap "sekolah
liar" memang didirikan sebagai bagian dari penolakan terhadap
pemerintah Belanda. Dasar yang telah diletakkan pendirinya, Ki
Hadjar Dewantara, cukup kukuh.
Asas Taman Siswa yang terdiri dari 7 bab itu, yang disepakati
Kongres Taman Siswa 1930, pada pokoknya bisa diringkas dalam
satu pedoman untuk menjadi manusia yang mampu berkembang
terlebih dahulu harus menjadi manusia merdeka dan untuk
merdeka, harus bisa berdiri sendiri atas kekuatan sendiri.
Asas ini, seperti ditentukan setengah abad yang silam, "tidak
boleh dikurangi," selama Taman Siswa hidup. Tapi rupanya orang
sekarang lain. "Mereka mengira dengan kesederhanaan tidak bisa
mendapat ilmu yang lengkap," kata Ki Moesman Wiryosentono,
Panitera Umum Majelis Luhur.
Kesederhanaan itu pertama-tama memang tampak di luar. Sekolah
Taman Siswa dibandingkan sekolah swasta terkemuka lain kurang
semarak. Ki Soeratman, Ketua Majelis Luhur -- badan eksekutifnya
Taman Siswa -- menyatakan: "Dengan dana yang ada sekolah-sekolah
swasta lain bisa membangun sarana fisik yang mentereng."
Apakah dengan kenyataan itu sekarang Taman Siswa juga menolak
tambahan dana dari pemerintah. Nampaknya tidak lagi, meskipun
dengan syarat. Di dalam memberikan subsidi kepada perguruan
swasta, pemerintah memang mengharuskan syarat-syarat tertentu,
antara lain: guru harus berijasah negeri, sistim pendidikan juga
ditentukan, bahkan lokal pun ditentukan. "Kami tak bisa
menerapkan itu semua," kata Ki Moesman. "Taman Siswa mempunyai
pendidikan guru sendiri," lanjutnya.
Pemerintah nampaknya tak berkeberatan. Sejak lama PTS mendapat
bantuan --terakhir, 1978, sebesar Rp 62 juta. "Tahun ini entah
ada bantuan entah tidak, sebab resminya kami tidak minta," kata
Hariyadi, Ketua Bidang Pendidikan Majelis Luhur.
Tut Wuri Handayani
Sistim pendidikan PTS memang mempunyai cara sendiri. Dasar yang
diletakkan oleh Ki Hadjar, banyak diilhami oleh metode
Montessori dari Italia dan Rabindranath Tagore dengan Perguruan
Santiniketan-nya. Kedua pelopor pendidikan itu bahkan pernah
mengunjungi Taman Siswa di masa sebelum Perang Dunia II. Pada
dasarnya metode ini percaya adanya potensi kreativitas anak-anak
dan hak anak-anak untuk dihargai sebagai dirinya dak tidak harus
hanya mengikut gurunya saja. Anak-anak dibiarkan berkembang
sendiri menurut bakat dan minat masing-masing, sementara guru
hanya berdiri di belakang. Ini tercermin pada semboyan PTS: Tut
Wuri Handayani -- yang sejak Menteri Syarif Thayeb digunakan
juga sebagai semboyan pendidikan nasional.
Selain dari itu, PTS punya semangat untuk menciptakan hubungan
antara guru dan murid yang lebih dekat. Menurut Hariyadi, "Di
Taman Siswa guru wajib siap mengajar 24 jam penuh: ya, dikelas,
di jalan, di mana pun." Inilah yang disebut "sistim pamong".
Menurut Ki Hariyadi, guru PTS bahkan wajib aktif dalam
masyarakat. "Ki Soeprapto misalnya, aktif mengumpulkan anak-anak
putus sekolah untuk dididik keterampilan," katanya kepada Putu
Setia, koresponden TEMPO di Yogya.
Para guru juga harus mengikuti tradisi Taman Siswa: jadi pamong
tidak untuk penghasilan. Sistim gaji di PTS ditentukan demikian
rupa, hingga beda gaji tertinggi dengan terendah tak lebih dari
8:1 (di pemerintah konon sampai 300:1). Di Sumatera Utara
misalnya, guru-guru berladang untuk ganjal hidupnya.
Dengan semangat luhur seperti itu, siapa sajakah yang suka
memasukkan anak-anaknya menjadi siswa PTS? "Sekarang ini semua
orang memerlukan sekolah. Dan peledakan anak-anak sekolah makin
banyak. Maka kami tak pernah kekurangan murid, bahkan tak bisa
menampung semua yang telah mendaftar," kata Urip Supeno, 52
tahun, salah seorang yang penting di PTS Jakarta.
Tapi diakuinya sebagian besar anak-anak meletakkan PTS sebagai
pilihan ketiga atau keempat sesudah sekolah negeri atau sekolah
favorit lainnya. Ini diketahui berdasar sistim rayonisasi yang
diterapkan di DKI Jakarta. "Tapi banyak juga orangtua yang
memasukkan anak-anaknya ke Taman Siswa, terutama untuk tingkat
SD-nya, semata karena orangtuanya alumnus Taman Siswa,"
lanjutnya.
Pemikir
Setelah mengalami dua pukulan, di zaman Jepang dan sewaktu G30S
PKI, kini PTS mempunyai 130 cabang, tersebar di Jawa, Sumatera,
Kalimantan, Sulawesi dan Madura. Di zaman Jepang dipaksa bubar
atau menjadi sekolah pemerintah. Sewaktu G30S PKI banyak yang
terlibat dan sekolah ditutup. "Bahkan di Wates dan Purwokerto
sulit didirikan lagi, karena masyarakat sudah tak percaya," kata
Ki Suprapto. Sekarang PTS mempunyai murid sekitar 70 ribu dengan
guru sekitar 3 ribu. Dan 60% adalah guru hasil Taman Guru Taman
Siswa sendiri. Toh, penilaian bahwa PTS mundur, tak hanya datang
dari orang luar. Abdurrachman Surjomihardjo sendiri, alumnus dan
pernah mengajar di PTS Jakarta, mengatakan begitu. "Dan salah
satu sebabnya, para pendidiknya yang tak semuanya lulusan PTS,"
katanya.
Tetapi secara keseluruhan pun, bila dibanding dengan zaman
Hindia-Belanda dulu, pendidik yang sekarang kalah jauh. Ini juga
dikatakan oleh Ki Sugondo Kartoprodjo, 71 tahun, dari PTS cabang
Sumatera Utara: "Mutu pendidikan kita sepuluh tahun terakhir ini
menurun sekali," kata Sugondo. Dan sebabnya, "pengetahuan guru
menurun banyak dibanding 15 tahun yang lalu."
Apa pun sebabnya, zaman memang melahirkan keruwetan,
kepahitan tapi juga kemungkinan baru. Masalah yang dihadapi PTS
kini ialah karena ia belum lagi melahirkan pemikir dan penggerak
baru, seorang Ki Hadjar Dewantara muda menjelang akhir abad
ke-20. Wafatnya Ki Said pertengahan bulan lalu menambah
kekosongan itu. Itu tak berarti Ki Hadjar yang dulu tak lagi
patut dan relevan bagi masa kini. Namun Indonesia agaknya perlu
digetarkan lagi oleh suara segar dari taman tempat Suwardi
Suryoningrat menanam benih.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini