AKHIRNYA, tak perlu ada duga-menduga lagi bulan Puasa 1979 ini
sekolah tidak diliburkan sepenuhnya, tetap seperti keputusan
semula. Ketegasan ini dinyatakan Presiden Soeharto pada malam
peringatan Isra Mi'raj, di Mesjid Istiqlal, Jum'at malam dua
minggu lalu.
Beberapa hari sebelumnya masih terdengar suara keras dari Amir
Hamzah, anggota DPR Komisi IX fraksi PPP, dalam suatu rapat
kerja antara Komisi tersebut dengan Menteri P&K. "Seolah-olah
dengan dihapuskannya libur puasa negara atau pendidikan akan
maju," kata Amir bersemangat. Jawaban Menteri P&K, yang sayang
sekali tak sempat disampaikan dalam rapat kerja itu, cukup
jelas. Dengan menyebutkan SK Menteri P&K 1970, dibuktikan
sekolah negeri belum pernah libur penuh dalam bulan puasa. Baru
pada 1977 ada libur penuh, itu pun karena puasa berlanjut dengan
liburan akhir tahun ajaran.
Tentu saja masih ada yang berpendapat lain. Organisasi
Muhammadiyah yang memiliki sekitar 12 ribu lembaga pendidikan --
dari SD sampai perguruan tinggi -- tetap memutuskan untuk
meliburkan penuh sekolah-sekolahnya selama puasa. "Bukan
penafsiran terhadap agamanya, tapi rasa ibadahnya yang berbeda."
Suara yang lebih diplomatis datang dari Ketua Pimpinan Pusat
Muhammadiyah, AR Fachrudin "Kami akan tetap meliburkan sekolah
sepenuhnya seperti rencana semula. Ini bukan prinsipiil tapi
psikologis akan berakibat tak baik kalau puasa nggak libur." Dia
yakin "Presiden akan mempunyai tenggang rasa" dalam soal ini.
Ibadah
Pertanyaannya kemudian, apakah Muhammadiyah tak takut dicabut
subsidinya? "Pasti pemerintah tak akan ambil tindakan seperti
itu," kata Fachrudin. Dan dari Kasman terlontar tanggapan yang
menarik: "Itu bukan urusan kita. Saya lebih takut kepada Allah
dan liburan Puasa itu sebagai ibadah kepada Allah."
Ketua Majelis Ulama Propinsi Aceh H. Abdullah Ujung Rimba, 77
tahun, sebagal orang tua nampaknya ia memang sabar. Katanya
"Jangan desak saya mengeluarkan pendapat. Saya serahkan
persoalannya kepada MUI Pusat." Tapi diakuinya, dengan tidak
meliburkan anak-anak sekolah sewaktu mereka menjalankan puasa,
dikawatirkannya "anak-anak tak lagi mampu menyerap pelajaran."
Yang tegas justru wakil Abdullah, H. Sofjan Hamzah: "Saya
setuju, sekolah tetap jalan di bulan puasa." Toh, ada buntut
ucapannya: "Tapi anak-anak SD dari kelas I sampai VI sebaiknya
libur. Apakah daya tahan mereka cukup untuk belajar sambil
puasa?" Lalu diceritakannya, ada anak-anak SD yang harus
berjalan kaki satu-dua kilometer ke sekolahnya.
Karena itu untuk mengganti hari-hari puasa yang dilibur
sekolah-sekolah Muhammadiyah pada libur panjang akhir tahun
ajaran Juni ini tidak sepenuhnya libur "Untuk tidak merugikan
pendidikan anak-anak," kata salah seorang pimpinan Muhammadiyah
Sumatera Barat. Ini sejalan dengan Perguruan As-Safiyah yang
mulai membuka sekolah-sekolahnya lagi 18 Juni yang lalu, K.H.
Abdullah Syafei, pimpinan Perguruan As-Safiyah, menolak diminta
komentarnya terhadap sambutan Presiden pada peringatan Isra
Mi'raj. "Untuk menjaga jangan sampai terjadi simpang-siur
pendapat," katanya. Hanya dijanjikannya, 15 Juli nanti dia akan
menyampaikan pendapatnya di depan Majelis Ta'lim, yang
diperkirakan akan dihadiri ribuan umat Islam.
Terhadap bagaimana pelaksanaan sekolah di bulan puasa memang tak
terdengar suara menentang. Petunjuk Pelaksanaan Kegiatan
Belajar-Mengajar selama puasa yang dikeluarkan Ditjen Pendidikan
Dasar dan Menengah, 28 Mei yang lalu kiranya cukup bisa
diterima. Antara lain jam pelajaran dikurangi, jam masuk sekolah
diundur dan warung di dekat sekolah dilarang buka. Sementara
pelajaran yang menyangkut nilai-nilai keagamaan ditekankan.
Tentu saja, pelajaran praktek berat diharuskan diganti dengan
yang ringan atau teori saja.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini