Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Malapetaka Tambang Batu Bara

Muhammadiyah disebut mengabaikan dampak buruk pertambangan. Tambang batu bara menyebabkan kerusakan dari hulu hingga hilir.

30 Juli 2024 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar
Pekerja melakukan bongkar muat batu bara ke atas truk menggunakan alat berat di Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta. TEMPO/Tony Hartawan

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

DALAM pandangan Busyro Muqoddas, jajaran Pengurus Pusat Muhammadiyah jangan hanya larut dalam euforia kisah sukses pertambangan. Ketua Bidang Hukum, Hak Asasi Manusia, dan Hikmah Pimpinan Pusat Muhammadiyah itu juga mewanti-wanti koleganya agar mengkaji dampak kerusakan lingkungan di banyak tempat akibat tambang batu bara.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

“Saya mengingatkan agar Muhammadiyah berhati-hati ketika mengelola tambang,” kata Busyro ketika ditemui Tempo di kantor Pimpinan Pusat Muhammadiyah pada Senin, 29 Juli 2024. Ia mengaku menyampaikan kritik tersebut dalam Konsolidasi Nasional Muhammadiyah di Convention Hall Universitas ‘Aisyiyah, Sleman, Yogyakarta, pada 27-28 Juli 2024.

Busyro selama ini kritis terhadap tawaran konsesi tambang batu bara dari pemerintah kepada Muhammadiyah. Sejak beberapa bulan lalu, dia bekerja mengumpulkan beragam riset tentang kemudaratan pertambangan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Dalam rapat tertutup Konsolidasi Nasional Muhammadiyah itu, Busyro menyampaikan contoh daerah yang menghadapi kerusakan lingkungan akibat masifnya pertambangan, khususnya tambang berlabel proyek strategis nasional (PSN) yang memicu konflik agraria. Di antaranya tambang andesit di Kampung Wadas, Kabupaten Purworejo, Jawa Tengah; dan konflik sosial yang dipicu rencana pembangunan Rempang Eco-City di Pulau Rempang, Kepulauan Riau.

Pekerja memantau aktivitas Pembangkit Listrik Tenaga Uap (PLTU) Lontar, Tangerang, Banten. TEMPO/Tony Hartawan

Suara Busyro senada dengan sikap 11 dari 35 pemimpin wilayah Muhammadiyah yang ikut menyampaikan kritik. Forum para ulama pada akhirnya menjadi ajang perdebatan, meski ujung-ujungnya kalah dalam pemungutan suara. Terlebih, bila merujuk pada rapat pleno pada 13 Juli lalu, hanya ada 3 dari 18 pemimpin pusat yang menolak tawaran konsesi tambang. Sebagian besar berada di ruang abu-abu tanpa pendapat atau justru menerima konsesi sebagai bagian dari bisnis organisasi.

Kemelut pengelolaan izin tambang untuk organisasi keagamaan ini dimulai dari kebijakan Presiden Joko Widodo menerbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 25 Tahun 2024. Peraturan pemerintah ini mengatur pelaksanaan kegiatan usaha pertambangan mineral dan batu bara yang mengakomodasi ormas keagamaan untuk mengajukan izin pengelolaan tambang. Nahdlatul Ulama menjadi yang pertama menerima tawaran ini, disusul Muhammadiyah pada Ahad, 28 Juli 2024.

Busyro menunjukkan kepada Tempo percakapan dalam beberapa grup WhatsApp yang berisi kekecewaan para pengurus wilayah atas sikap Muhammadiyah. Beberapa pengurus di daerah ataupun pusat bahkan menyatakan mundur dari organisasi. Salah satunya adalah Pimpinan Daerah Muhammadiyah di Berau, Kalimantan Timur, yang sedang berhadapan dengan lubang tambang.

Sebelum keputusan menerima tambang diumumkan Ketua Umum Pengurus Pusat Muhammadiyah Haedar Nashir, tak kurang badan-badan di dalam organisasi menyampaikan mudarat pertambangan. Salah satunya Lembaga Hikmah dan Kebijakan Publik Muhammadiyah. Mereka membuat lima rekomendasi agar pengurus pusat berhati-hati dalam mengambil keputusan atas tawaran pemerintah. Pasalnya pertambangan batu bara berisiko merusak lingkungan, memicu konflik agraria, dan bahkan berpotensi melanggar hak asasi manusia.

Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan juga turut membuat pengkajian daya rusak pertambangan di Bumi Lambung Mangkurat itu. Mereka memotret kerusakan lingkungan di area pengelolaan PT Arutmin Indonesia, perusahaan pemegang izin usaha pertambangan khusus lebih dari 34.207 hektare. Wilayah operasi perusahaan tersebut berada di Senakin, Satui, Batulicin, Kintap, dan Asam-asam. “Masalah lingkungan sering menjadi sumber konflik antara PT Arutmin Indonesia dan masyarakat sekitar,” demikian pernyataan dalam sebuah dokumen yang diperoleh Tempo.

Masalah lingkungan ini meliputi bencana tanah longsor, degradasi lahan dan hutan, pencemaran air, pencemaran udara, kerusakan ekosistem laut, serta dampak pada keanekaragaman hayati. Dalam dokumen tersebut juga diperlihatkan penampakan citra satelit yang menggambarkan lubang-lubang tambang hanya berjarak 42 meter dari permukiman. Bahkan terjadi bencana tanah longsor pada Maret 2024 di jalan nasional KM 171, Desa Satui Barat, Kabupaten Tanah Bumbu.

Ketua Pimpinan Wilayah Muhammadiyah Kalimantan Selatan Ridhahani Fidzi membenarkan organisasinya mengirim rekomendasi untuk dibawa dalam rapat Konsolidasi Nasional Muhammadiyah. Namun dia memastikan lembaganya bukan berada pada posisi mendukung atau menolak konsesi tambang. “Ketika PP Muhammadiyah sudah menentukan sikap menerima, kami samina wa athona,” ucap Ridhahani yang menjelaskan bahwa ia patuh pada keputusan Muhammadiyah.

Pengajar di Universitas Islam Kalimantan Muhammad Arsyad Al Banjari, Muhammad Uhaib As’ad, menyebutkan kasus tanah longsor di lokasi tambang di KM 171 Desa Satui sampai kini tak tertangani. Padahal hanya berjarak sepelemparan batu dari rumah warga. “Itu longsornya memiliki kedalaman 30-50 meter dan sangat membahayakan. Selama ini reklamasi lubang tambang tak berjalan, dibiarkan begitu saja.”

Tempo berupaya meminta penjelasan dari Ketua PP Muhammadiyah Haedar Nashir dan Sekretaris Umum Abdul Mu’ti. Namun keduanya tidak menjawab permintaan konfirmasi yang dikirim ke telepon selulernya. Sebelumnya, Haedar memastikan menerima tawaran konsesi tambang bukan karena tekanan sosial. “Semua dikaji berdasarkan informasi, termasuk dari kelompok yang kontra,” ucap Haedar dalam konferensi pers, Ahad, 28 Juli 2024.

Adapun permintaan konfirmasi juga dikirim kepada PT Bumi Resources Tbk selaku induk bisnis PT Arutmin Indonesia, melalui nomor WhatsApp Sekretaris Perusahaan Dileep Srivastava. Namun dia tidak memberi balasan. Dalam laman resmi perusahaan, PT Arutmin mengklaim memiliki program berkelanjutan untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat di lingkar tambang. Fokus utamanya adalah bidang pendidikan, kesehatan, pengelolaan lingkungan, hingga kemandirian ekonomi masyarakat.

Dampak di Hulu hingga Hilir Industri

Sengkarut tata kelola dan dampak tambang batu bara sebetulnya telah dipotret dalam penelitian kolaborasi Greenpeace Indonesia bersama Center of Economics and Law Studies (Celios). Mereka mendapat temuan bahwa pertambangan justru memicu kemudaratan di sektor pendidikan, kesehatan, dan ekonomi masyarakat, bahkan memperbesar potensi bencana. “Kami tidak tahu kenapa Nahdlatul Ulama dan Muhammadiyah menerima konsesi. Saya ragu mereka bisa menambang tanpa mengorbankan lingkungan,” ucap Direktur Ekonomi Digital Celios Nailul Huda.

Keraguan Huda ini berbekal temuan risetnya bertajuk “Kesejahteraan Semu di Sektor Ekstraktifyang dipublikasikan pada 24 Juni 2024. Mereka mendapati desa-desa yang bergantung pada sektor pertambangan cenderung memiliki akses yang lebih rendah terhadap pendidikan. Terlihat dari jumlah sekolah formal yang lebih sedikit ketimbang desa di luar sektor tambang. Huda mengatakan banyak ditemukan sekolah yang tergusur tambang.

Desa tambang juga meninggalkan pencemaran air, tanah, serta degradasi lingkungan. Tak terkecuali ancaman deforestasi terhadap hutan alam dan limbah tailing yang merusak lahan pertanian warga desa. Selain itu, terjadi kekurangan fasilitas kesehatan di kampung di dekat pertambangan. Jumlah puskesmas dilaporkan lebih sedikit ketimbang desa yang tidak bergantung pada sektor tambang. “Padahal ada peningkatan risiko penyakit terkait dengan lingkungan, seperti hepatitis A, di desa-desa pertambangan.”

Akses terhadap teknologi komunikasi dan Internet juga lebih rendah karena keterbatasan pembangunan stasiun pemancar sinyal (BTS). Dua organisasi nirlaba ini turut memotret lemahnya usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) di desa tambang yang cenderung terhambat dalam mengakses kredit usaha serta dukungan finansial. Hal itu diperparah adanya ketidakadilan distribusi manfaat ekonomi yang ujung-ujungnya memicu konflik sosial.

Menurut Huda, penelitiannya itu menggunakan data Survei Potensi Desa pada 2018 dan 2021 yang mencakup 1.027 desa yang tersebar di 14 provinsi di Kalimantan, Sumatera, Sulawesi, Papua, Kepulauan Bangka Belitung, serta Jawa. Riset ini menggunakan 14 variabel dalam bidang pendidikan, kesehatan, tenaga kesehatan, keterampilan, dan lain sebagainya. Lebih khusus menyoroti 200 desa yang menggantungkan hidup pada sektor pertambangan.

Ummah for Earth Project Lead Greenpeace Indonesia Rahma Shofiana mengatakan industri pertambangan memang memiliki daya rusak tinggi. “Termasuk pencemaran air dan tanah, konflik lahan, hingga lubang tambang yang menganga tak pernah direklamasi sampai menelan korban,” ucap Rahma.

Perusakan-perusakan tersebut dilakukan oleh bisnis pada industri pertambangan yang bertujuan mencari keuntungan. Rahma tak bisa membayangkan bila organisasi keagamaan—tak memiliki pengalaman mengelola tambang—diberi izin untuk menggangsir lahan. Dia mengatakan sama sekali tak ada jaminan bahwa Nahdlatul Ulama ataupun Muhammadiyah akan menambang tanpa merusak lingkungan.

Pembangkit Listrik Tenaga Uap Babelan di Bekasi, Jawa Barat, Januari 2023. Tempo/Tony Hartawan

Bagi dia, keputusan memberikan izin tambang untuk organisasi sipil tak ubahnya gerakan kooptasi untuk meredam suara kritik publik. Dalam jangka panjang, Rahma melihat kebijakan ini justru menghambat upaya transisi energi. Sebuah gerakan untuk meninggalkan penggunaan energi fosil dan beralih ke energi terbarukan.

Greenpeace ikut memotret desa-desa pertambangan yang berpotensi lebih tinggi mengalami bencana banjir serta kebakaran hutan dan lahan. Besaran potensinya mencapai 50,25 persen pada 2018 dan 29,79 persen pada 2021. Angka ini jauh lebih besar ketimbang potensi bencana desa di luar tambang yang hanya 29,47 persen pada 2018 dan 27,27 pada 2021. “Salah satunya terjadi di Kalimantan Timur. Sebab, 75 persen dari 12,7 juta hektare sudah dikonversi menjadi izin-izin pertambangan batu bara,” demikian Rahma menulis.

Peneliti dari Pusat Riset Kebencanaan Geologi Badan Riset dan Inovasi Nasional (BRIN), Nuraini Rahma Hanifa, tak memungkiri wilayah pertambangan dapat memperbesar peluang terjadinya bencana, terutama bila tambang telah merusak daya dukung wilayah. “Misalnya ketika terjadi gempa, bisa lebih membahayakan manusia,” ucap dia.

Rusaknya daya dukung yang dimaksudkan Nuraini sebetulnya adalah tingkat kerentanan suatu daerah yang makin parah bila ada tambang. Apalagi jika terjadi pembabatan hutan alam, rusaknya wilayah tangkapan air, atau kerusakan daerah aliran sungai. Semestinya ini dapat dimitigasi melalui restorasi dan reklamasi daya dukung lingkungan. Namun hal itu acap diabaikan sehingga memicu kerusakan lingkungan yang berujung pada potensi bencana.

Jaringan Advokasi Tambang (Jatam) sebelumnya sempat mendata terdapat sedikitnya 104 konsesi pertambangan yang berada di area rawan gempa. Luasan totalnya mencapai 1,6 juta hektare yang tersebar di banyak pulau. Tak hanya pada lokasi tambang, mereka ikut menemukan 10 pembangkit listrik tenaga uap (PLTU) batu bara yang dibangun di area rawan bencana. Parahnya, PLTU batu bara kini menciptakan bencana baru bagi kesehatan manusia, yakni pencemaran udara berupa partikel halus yang berukuran 2,5 mikrometer ke bawah (PM2.5).

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Shinta Maharani, wartawan Tempo di Yogyakarta, berkontribusi dalam laporan ini.

Avit Hidayat

Avit Hidayat

Alumnus Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Universitas PGRI Ronggolawe, Tuban, Jawa Timur. Bergabung dengan Tempo sejak 2015 dan sehari-hari bekerja di Desk Nasional Koran Tempo. Ia banyak terlibat dalam penelitian dan peliputan yang berkaitan dengan ekonomi-politik di bidang sumber daya alam serta isu-isu kemanusiaan.

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus