Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Surabaya - Deputi Bidang Sistem dan Strategi Badan Nasional Penanggulangan Bencana atau BNPB Raditya Jati menuturkan tragedi tsunami di Provinsi Aceh 20 tahun lalu yang sampai menelan korban jiwa begitu banyak disebabkan karena belum ada upaya mitigasi. Peristiwa itu, kata dia, menggugah semua masyarakat, khususnya ahli kebencanaan, untuk memikirkan pentingnya mitigasi sebagai upaya meminimalisir jatuhnya korban.
Raditya berujar ribuan korban tersebut boleh dikatakan meninggal sia-sia. Ia membandingkan dengan korban peperangan yang meskipun jumlahnya barang kali sama banyaknya, namun di dalamnya ada misi luhur yang hendak dicapai. Tsunami Aceh berlangsung sekitar 30 menit. Tapi butuh waktu empat tahun untuk memulihkan kondisi yang porak poranda.
“Banyak yang tiba-tiba meninggal karena tsunami. Sehingga ke depan timbulnya korban sia-sia itu enggak boleh lagi,” kata Raditya saat menjadi pembicara kunci dalam webinar bertema ‘Refleksi dan Resolusi Pengurangan Risiko Bencana’ yang diselenggarakan Departemen Teknik Geofisika Institut Teknologi Sepuluh Nopember, Selasa sore, 31 Desember 2024.
Sehingga bila merefleksikan apa yang terjadi sampai 2024, kata Raditya, cukup sampai di sini sajalah jumlah korban bencana yang begitu banyak itu. Namun dia tak memungkiri bahwa seluruh wilayah Indonesia punya risiko tinggi bencana. Risiko tinggi itu antara lain dikarenakan padatnya populasi penduduk di wilayah-wilayah rawan tersebut. “Pertumbuhan ekonomi banyak terjadi di wilayah-wilayah rawan bencana itu,” kata Raditya.
BNPB, ujar Raditya, mempunyai data bencana dari tahun ke tahun, termasuk kerugian materi yang ditimbulkan. Ditilik dari lima tahun terakhir ini saja, kata dia, dari sekitar 17 ribu kejadian bencana yang didominasi hidrometeorologi, terdapat 6 ribu orang meninggal akibat faktor geological.
Ke depan ancaman bencana dinilai makin besar karena muncul dampak perubahan iklim. Raditya berujar diperlukan forum-forum diskusi intensif dari para ahli dan pakar untuk membahas dampak perubahan iklim itu terhadap timbulnya bencana alam. “Termasuk pembahasan bagaimana hasil pembangunan berkelanjutan kita selama ini kalau ada bencana,” katanya.
Ia menjelaskan, kerugian ekonomi akibat bencana sesuai data Kementerian Keuangan bisa mencapai Rp 22,8 triliun per tahun. Angka itu termasuk luar biasa besar. Sehingga perlu didorong sejauh mana mitigasi dapat menyelamatkan sekian triliun uang negara itu.
Mengingat tujuan pemerintah mencapai Indonesia Emas pada 2024, Raditya bertanya apakah kita sebaai warga negara akan membiarkan capaian-capaian infrastruktur itu rusak tergerus bencana, ataukah mengintensifkan mitigasi untuk mengurangi risiko kerusakan dan kematian.
“Nilai rupiahnya cukup tinggi bila akibat bencana mencapai 30 persen ke atas. Apakah kita (pemerintah) baru mengeluarkan uang setelah terjadi bencana? Tentunya tidak, jangan lagi seperti itu,” kata dia.
Sementara itu Kepala Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Hadi Wijaya mengatakan dalam setahun terakhir lembaganya aktif memantau tanda-tanda timbulnya bencana geologi dan sesegera mungkin menginformasikan kepada masyarakat.
Hadi mencontohkan erupsi Gunung Lewotobi Laki-Laki di Nusa Tenggara Timur yang informasinya segera disampaikan PVMBG pada publik sejak dini, serta melakukan tanggap bencana setelah kejadian. Selain itu, PVMBG juga aktif mengirimkan informasi pada saat kejadian bencana pergerakan tanah di Sukabumi dan Cianjur Jawa Barat.
Ke depan PVMBG terus melakukan sejumlah upaya mitigasi yang berkaitan dengan bencana geologi. Upaya yang ditempuh adalah, pertama, memodernisasi dan menginovasi teknologi di pos-pos pemantauan gunung api. Diharapkan di tiap pos tersebut informasi yang dikeluarkan makin akurat. Namun Hadi mengakui bahwa masih banyak gunung yang belum memiliki pos pemantauan. “Khususnya gunung tipe B,” kata dia.
Upaya kedua ialah mengembangkan pos pengamatan gunung api, khususnya merenovasi gedung dan fasilitas yang ada. Adapun upaya ketiga yakni rutin meng-update peta kawasan rawan bencana geologi.
Berikutnya, PVMBG mengklaim rajin memberikan rekomendasi teknis ihwal kebencanaan, baik rekomendasi gunung api, gempa bumi, patahan aktif, tsunami, gerakan tanah, lukuifaksi dan penurunan tanah. “Ini sebagai bagian dari Badan Geologi dalam memberikan informasi yang sangat dibutuhkan oleh para stakeholder,” kata Hadi.
Hari-hari ini, kata Hadi, tidak ada gunung api yang statusnya level 4 (awas). Gunung Lewotobi Laki-Laki sendiri yang sejak awal November 2024 berstatus awas, kata Hadi, telah diturunkan statusnya per 25 Desember 2024 dari level 4.
Badan Geologi, kata dia, juga sedang melakukan survei potensi bencana. Semua itu dilakukan sebagai upaya memitigasi bencana. Ihwal pergerakan tanah, Hadi mengakui sumber daya di PVMBG terbatas untuk melakukan pemantauan secara intens. Karena itu ia berniat menambah sumber daya yang diambil dari kalangan kampus.
Adapun dosen Departemen Fisika Universitas Diponegoro Rahmat Gernowo berpendapat, berdasarkan hasil penelitian tentang perubahan iklim yang dia lakukan, akan banyak terjadi cuaca ekstrem pada hari-hari mendatang. Dampaknya bisa berupa kemiskinan, kelangkaan sumber daya air, kelangkaan sumber pangan, tenggelamnya pantai karena kenaikan muka air laut, kelangkaan sumber daya listrik dan lain-lain.
Di Indonesia, kata dia, banyak terjadi bencana alam yang disebabkan hidrometeorologi. Antara lain banjir, cuaca ekstrem, tanah longsor, kebakaran hutan dan lain sebagainya. “Dari penelitian kami ini gempa bumi dan tsunami tak terlalu signifikan, tapi lebih ke cuaca ekstrem,” kata dia.
Rahmat secara khusus memperhatikan fenomena siklon yang kian meningkat terutama di Nusa Tenggara Barat. Dari data Badan Meteorologi Klimatologi dan Geofisika (BMKG) diperlihatkan bahwa bibit siklon makin sering terjadi. Untuk daerah tropis siklon terjadi pada lintang tinggi menjauhi subtropis.”Secara tidak langsung munculnya siklon ini mengakibatkan pertumbuhan awan yang cukup tinggi,” ujarnya.
Dosen Magister Manajemen Bencana Universitas Pembangunan Nasional Yogyakarta Eko Teguh Paripurno menambahkan bahwa penyebutan bencana ekologis tak lazim di Undang-Undang No. 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, sehingga, menurutnya, masalah lingkungan kurang terperhatikan. Padahal jelas ada degradasi lingkungan yang lebih cepat daripada laju pemulihan.
Cerita Indonesia hari-hari ini, kata dia, merupakan kegiatan eksploitasi yang tidak mampu diperbaiki lagi. Acap kali peninggalan dari eskploitasi sumber alam itu, baik hutan, air bersih, sumber daya mineral, menyisakan risiko. Ia memisalkan orang-orang yang mengeksploitasi sumber alam itu dengan kata-kata: ‘tidak datang tanam, tapi datang memanen.’ “Panen yang dimaksud di sini ya eksploitasi itu,” kata Eko.
Di sisi lain jumlah populasi penduduk makin banyak sehingga akhirnya risiko bencana ekologis juga kian meningkat. Pertanyaanya, bisa apa tidak hal itu dicegah?
Dalam konteks pembangunan, kata Eko, harapanya dapat mengurangi dan mencegah bahaya serta kerentanan. Pembangunan berkelanjutan memperpanjang usia pembangunan. Pengurangan risiko bencana memang mengurangi risiko buruk pada pembangunan. “Tapi kadang-kadang hal-hal yang manis secara konseptual, di prakteknya ada bagian (pembangunan) yang justru memunculkan bahaya dan meningkatkan kerentanan,” tutur Eko.
Ia merefleksikan proses hilirasi nikel di Morowali yang menurut cerita warga setempat hanya menguntungkan pebisnis namun memiskinkan warga lokal. Artinya, kerusakan dan kerugian yang ditimbulkan belum dihitung. Di sana, kata Eko, ada nelayan yang beralih pekerjaan menjadi pemungut botol bekas.
“Kita bisa browsing betapa ancaman bencana ekologis itu menghilangkan aset penghidupan warga,” kata Eko.
Pilihan Editor: Ancaman Penurunan Tanah dan Rob Jakarta di Tengah Perubahan Iklim
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini