Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Danau yang pelit

Airnya tetap biru, tapi kini tidak menghasilkan ikan lagi, tiap bulan sejak 1978, 50 ribu bibit ikan mas dilepas di danau tersebut. (ling)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

TOBA, danau terbesar di Indonesia, berair biru dan obyek pelancongan yang menarik. Ia dikeliingi oleh 4 gunung. Kalau berperahu menuju Pulau Samosir yang ada di tengahnya, orang baaikan berada di laut saja. Sejak dulu, nerayan di seputarnya mempunyai perlom aan menangkap ikan yang disebut telong. Mereka yang berhasil menangkap ikan terbanyak disebut jagoan. Tetapi kini "mencari ikan sekilo saja sulit," kata Manalisi Sirait. Sejak kecil, kakek itu menjadi nelayan di Danau Toba. Dia tinggal di Ajibata, Kecamatan Lumbanjulu, Tapanuli Utara. Kini usianya sudah 68 tahun, dan Danau Toba baginya menjadi pelit, tidak lagi memberi rezeki yang melimpah. Dari 49 rumah tangga di Ajibata, kini tinggal 5 saia yang jadi nelayan. Halasan Sirait, 65 tahun, saudara sekampung Manalisi, sejak 1963 telah putar kayun. Danau telah dibelakanginya, karena kini dia ber- martoba - membuka warung. Setiap bulan sejak 1978, 50 ribu bibit ikan mas dilepas di danau tersebut. Sebanyak itu pula awal pekan ini diupacarai penlepasan bayi ikan mas di Tongging (Kabupaten Tanah Karo) dan Paropo (Kabupaten Dairi). Sederetan pejabat Dinas Perikanan Darat Sumatera Utara tampak hadir kali ini. Tapi para nelayan yang berjumlah sekitar 100 tampak jemu dan masa bodoh. Menurut Manalisi Sirait, dia bisa menjaring sekitar 300 ekor ikan mas seharinya di tahun 1940-an. Kini, kalau dalam "sebulan saja dapat seekor ikan mas, itu sudah untung," ujarnya. Danau yang indah ini kini memang miskin hayati. Menurut Kepala Dinas Perikanan Sumatera Utara, Ir. Bambang Suboko, sudah dua penelitian - Ekspedisi Sunda (1926) dan Ekspedisi Ondora (1968) - berkesimpulan bahwa Danau Toba bersifat oligotroph, kurus. Ekspedisi Sunda mencatat jumlah flora yang ada di danau tersebut tak sampai 50 jenis. Termasuk jenis ganggang (potamogeton, myriophyllum, ceratophyllum, chara, nitella), dan tumbuhan air terapung seperti eceng gondok dan kiambang (echornia grassipes dan melambium). Demikian pula miskin fauna dasarnya seperti cacing-cacingan (tubificidae) dan mikro-organisme (chiroreomidae). Miskinnya jasad renik (plankton) di air ini mengakibatkan danau tidak baik (produktif) untuk perikanan. Dalam perikanan darat, fitoplankton (termasuk alga-hijau, chlorophyta) merupakan produsen primer bagi kesuburantanah dan air. Sebab banya sedikitnya fitoplankton mempengaruhi sifat kimiawi air dan fluktuasinya Sedang fitoplankton akan menjadi subur kalau banyak mendapat sinar matahari. Menurut Bambang Suboko, daya tembus cahaya hanya sampai 10 m saja. Sehingga sifat phisik kimiawinya juga miskin. PH-nya (keasaman) termasuk tinggi (6-8), DMA (daya mengikat asam) sampai 1,7, CO2, 76 dan O2 sampai 7,34, sehingga untuk enis perairan macam ini cuma tumbuh plankton desmidiacae saja. Itu pun cuma dalam jumlah yang kecil. Akibatnya, Danau Toba bisa digolongkan steril. Karena sedikitnya fitoplankton inilah air danau menjadi bening biru, dan miskin ikannya. Sebagian besar ikan hidup di cekungan yang subur dan sedalam 87-95 meter (Porsea dan Pangururan). Di dua cekungan lainnya (utara dan selatan), punya kedalaman sampai 433 meter, umumnya ikan "mati-matian mempertahankan hidupnya," kata Suboko. Biasanya ikan yang hidup di danau oligotroph ini tidak mempunyai sifat migrasi tinggi. Danau ini mempunyai ikan yang bernilai ekonomis tingg. Terutama ikan batak (jurung/ihan/Lissocrilus) dan ikan mas (cyprinus carpio) mempunyai nili adat tertinggi dalam perjamuan tradisional. Kalau ada, harga sekilogramnya sampai Rp 2.500. Ikan mas kini diperkirakan tinggal 0,2% saja dari seluruh jenis ikan di Danau Toba. Jenis yang merajai danau itu ialah ikan mujair (Tilapia mossambica), sampai 65,7%. Harganya cuma Rp 400 per kg. Sisanya ada kelomlok kecil dari ikan gabus (4,7%), keprah, lele, gurami, sepat, bunting, kepala timah, dan lain-lain yang jumlahnya lebih banyak ketimbang ikan mas. Mujair masuk ke Danau Toba di zaman Jepang. Bibitnya waktu itu disebarkan demi mempercepat sumber makanan bagi perbekalan tentara Jeang. Seekor ikan muJair bisa menghasi kan telur sampai 60.000 tiap bulan. Sedangkan ikan mas cuma 20-30 ribu telur setiap 3-4 bulan. Di tahun 1960 produksi mujair mencapai 1.170 ton. Tapi tahun 1980, turun jadi 1.007 ton. "Kini sulit untuk dapat 2 kilo saja," sambung Manalisi Sirait. Kalaupun ada, bentuk mujair itu kurus dan pipih panjang. Mujair bukanlah ikan kanibal. "Mereka pun harus bersaing mencari makan dalam sumber yang terbatas itu," kata Suboko lagi. Lantas apa daya? Bisa saja danau diberi "pupuk" dengan jasad renik asalkan orang bersedia melihat cacing, ganggang, eceng gondok bermunculan di sana. Dengan "pupuk", airnya tidak akan biru lagi karena eruh. Pilihan pun akan jatuh pada ikan dan air keruh, atau air biru tanpa ikan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus