TOBA, danau terbesar di Indonesia, berair biru dan obyek
pelancongan yang menarik. Ia dikeliingi oleh 4 gunung. Kalau
berperahu menuju Pulau Samosir yang ada di tengahnya, orang
baaikan berada di laut saja. Sejak dulu, nerayan di seputarnya
mempunyai perlom aan menangkap ikan yang disebut telong. Mereka
yang berhasil menangkap ikan terbanyak disebut jagoan. Tetapi
kini "mencari ikan sekilo saja sulit," kata Manalisi Sirait.
Sejak kecil, kakek itu menjadi nelayan di Danau Toba. Dia
tinggal di Ajibata, Kecamatan Lumbanjulu, Tapanuli Utara. Kini
usianya sudah 68 tahun, dan Danau Toba baginya menjadi pelit,
tidak lagi memberi rezeki yang melimpah. Dari 49 rumah tangga di
Ajibata, kini tinggal 5 saia yang jadi nelayan. Halasan Sirait,
65 tahun, saudara sekampung Manalisi, sejak 1963 telah putar
kayun. Danau telah dibelakanginya, karena kini dia ber- martoba
- membuka warung.
Setiap bulan sejak 1978, 50 ribu bibit ikan mas dilepas di danau
tersebut. Sebanyak itu pula awal pekan ini diupacarai
penlepasan bayi ikan mas di Tongging (Kabupaten Tanah Karo) dan
Paropo (Kabupaten Dairi). Sederetan pejabat Dinas Perikanan
Darat Sumatera Utara tampak hadir kali ini. Tapi para nelayan
yang berjumlah sekitar 100 tampak jemu dan masa bodoh. Menurut
Manalisi Sirait, dia bisa menjaring sekitar 300 ekor ikan mas
seharinya di tahun 1940-an. Kini, kalau dalam "sebulan saja
dapat seekor ikan mas, itu sudah untung," ujarnya.
Danau yang indah ini kini memang miskin hayati. Menurut Kepala
Dinas Perikanan Sumatera Utara, Ir. Bambang Suboko, sudah dua
penelitian - Ekspedisi Sunda (1926) dan Ekspedisi Ondora (1968)
- berkesimpulan bahwa Danau Toba bersifat oligotroph, kurus.
Ekspedisi Sunda mencatat jumlah flora yang ada di danau tersebut
tak sampai 50 jenis. Termasuk jenis ganggang (potamogeton,
myriophyllum, ceratophyllum, chara, nitella), dan tumbuhan air
terapung seperti eceng gondok dan kiambang (echornia grassipes
dan melambium).
Demikian pula miskin fauna dasarnya seperti cacing-cacingan
(tubificidae) dan mikro-organisme (chiroreomidae). Miskinnya
jasad renik (plankton) di air ini mengakibatkan danau tidak baik
(produktif) untuk perikanan.
Dalam perikanan darat, fitoplankton (termasuk alga-hijau,
chlorophyta) merupakan produsen primer bagi kesuburantanah dan
air. Sebab banya sedikitnya fitoplankton mempengaruhi sifat
kimiawi air dan fluktuasinya Sedang fitoplankton akan menjadi
subur kalau banyak mendapat sinar matahari. Menurut Bambang
Suboko, daya tembus cahaya hanya sampai 10 m saja. Sehingga
sifat phisik kimiawinya juga miskin. PH-nya (keasaman) termasuk
tinggi (6-8), DMA (daya mengikat asam) sampai 1,7, CO2, 76 dan
O2 sampai 7,34, sehingga untuk enis perairan macam ini cuma
tumbuh plankton desmidiacae saja. Itu pun cuma dalam jumlah yang
kecil. Akibatnya, Danau Toba bisa digolongkan steril. Karena
sedikitnya fitoplankton inilah air danau menjadi bening biru,
dan miskin ikannya.
Sebagian besar ikan hidup di cekungan yang subur dan sedalam
87-95 meter (Porsea dan Pangururan). Di dua cekungan lainnya
(utara dan selatan), punya kedalaman sampai 433 meter, umumnya
ikan "mati-matian mempertahankan hidupnya," kata Suboko.
Biasanya ikan yang hidup di danau oligotroph ini tidak mempunyai
sifat migrasi tinggi.
Danau ini mempunyai ikan yang bernilai ekonomis tingg. Terutama
ikan batak (jurung/ihan/Lissocrilus) dan ikan mas (cyprinus
carpio) mempunyai nili adat tertinggi dalam perjamuan
tradisional. Kalau ada, harga sekilogramnya sampai Rp 2.500.
Ikan mas kini diperkirakan tinggal 0,2% saja dari seluruh jenis
ikan di Danau Toba. Jenis yang merajai danau itu ialah ikan
mujair (Tilapia mossambica), sampai 65,7%. Harganya cuma Rp 400
per kg. Sisanya ada kelomlok kecil dari ikan gabus (4,7%),
keprah, lele, gurami, sepat, bunting, kepala timah, dan
lain-lain yang jumlahnya lebih banyak ketimbang ikan mas.
Mujair masuk ke Danau Toba di zaman Jepang. Bibitnya waktu itu
disebarkan demi mempercepat sumber makanan bagi perbekalan
tentara Jeang. Seekor ikan muJair bisa menghasi kan telur
sampai 60.000 tiap bulan. Sedangkan ikan mas cuma 20-30 ribu
telur setiap 3-4 bulan. Di tahun 1960 produksi mujair mencapai
1.170 ton. Tapi tahun 1980, turun jadi 1.007 ton. "Kini sulit
untuk dapat 2 kilo saja," sambung Manalisi Sirait. Kalaupun ada,
bentuk mujair itu kurus dan pipih panjang.
Mujair bukanlah ikan kanibal. "Mereka pun harus bersaing mencari
makan dalam sumber yang terbatas itu," kata Suboko lagi. Lantas
apa daya? Bisa saja danau diberi "pupuk" dengan jasad renik
asalkan orang bersedia melihat cacing, ganggang, eceng gondok
bermunculan di sana. Dengan "pupuk", airnya tidak akan biru lagi
karena eruh. Pilihan pun akan jatuh pada ikan dan air keruh,
atau air biru tanpa ikan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini