Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendidikan

Pelacur di mata pelajar

Nilai moral kaum remaja sedang merosot, 7 SMA di jakarta membahas masalah tersebut dalam acara "lomba debat". dr. sarlito wirawan dan dua orang dari LIPI sebagai jurinya.(pdk)

5 Maret 1983 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

IBUNYA lumpuh, lima adiknya masih kecil. Seorang pelajar SMA terpaksa menjadi penanggung jawab keluarga setelah ayah meninggal. Tapi gadis tadi tak berhasil mencari nafkah. Bila ia menjadi pembantu rumah tangga, hasilnya tak akan mencukupi. Sambil bersekolah gadis tadi melacurkan diri. Merosotkah moralnya? Soal itu dilontarkan dalam Lomba Debat Sabtu lalu di Jakarta Selatan. Mengetengahkan soal Merosotnya nilai-nilai moral kaum remaja, lomba itu diikuti tujuh sekolah (SMA Asisi, SMA Kanisius, SMA Al Azhar, SMA Negeri VIII, SMA Negeri 34, SMA Sancta Ursula dan SMA Pangudi Luhur). Penyelenggara SMA Pangudi Luhur (PL) mendatangkan juri: Dr. Sarlito Wirawan, ahli psikologi sosial yang tak asing lagi, dan dua lainnya dari Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia (LIPI). Penonton berdesakan dalam ruangan. Bahkan ada yang melongok lewat jendela, memberkan semangat kepada teman yang berlomba. Lomba ini berlangsung seperti acara cerdas cermat di TVRI. Tujuannya, menurut Eko Yuliantoro, ketua panitia, ialah meningkatkan sikap kritis dan menjalin persahabatan antarsekolah. Ia menyatakan prihatin terhadap kasus abortus, pergaulan bebas, tindak kriminal, atau perkelahian di kalangan pelajar. Siswa SMA VI dan SMA 70 Bulungan masih di Jakarta Selatan, baku hantam baru-baru ini, misalnya. Siswa kedua sekolah itu kini sedang didahar kembali. Bersama orangtua, mereka harus menandatangani surat pernyataan akan mematuhi tata tertib sekolah. Akhir pekan ini, menurut rencana, mereka boleh masuk kelas kembali setelah libur selama tiga minggu. Karena "mereka sedang libur," kata Eko lagi, siswa kedua sekolah itu tak turut dalam Tomba ini. Namun soal perkelahian massal turut diketengahkan. Ada pendapat bahwa perkelahian massal, jika ditinjau dari sudut solidaritas, bukan merupakan petunjuk kemerosotan moral kaum remaja. Satu regu yang sedang berlomba mengatakan, solidaritas sebenarnya positif, tapi perkelahian massal merupakan solidaritas yang salah. Regu lawan mengemukakan adanya unsur paksaan. Misalnya anak yang tak ikut berkelahi diancam oleh temannya. Kasus Sulistyo Eko Maryoto di SMPP Yogyakarta, yang mengadakan angket seks (TEMPO, 22 Januari), turut dilontarkan oleh moderator. Reu SMA Asisi dan SMA Al Azhar membera anak Yogya itu yang terpaksa harus pindah sekolah. Bahkan regu Asisi menekankan bahwa justru yang bersalah dalam perkara itu ialah Kanwil P&K Yogyakarta, sementara Eko dianggap hanya ingin mengemukakan pendapat yang dijamin UUD 45. Sementara regu Al Azhar menganggap Kanwil yang memindahkan Eko - tak mutlak bersalah. "Maksud Eko memang bagus, tapi ia kurang membicarakan langkahnya lebih dulu dengan guru," kata juru bicaranya, seorang gadis. Sesekali tepukan memenuhi ruangan bila perdebatan berlangsung seru. Misalnya, ketika SMA VIII berhadapan dengan SMA PL membahas soal gadis yang terpaksa melacurkan diri. Regu SMA VIII menolak bila si gadis harus melacur. Bila dia berusaha keras, pasti ada yang menaruh belas kasihan dan bersedia menolong, apalai "semut saja dikasihi Tuhan," kata juru bicara SMA VIII. Regu SMA PL sebaliknya mengemukakan, "bila tak ada jalan lain lagi, melacurkan diri bisa diterima." Tim juri menilai materi dan teknik berdebat. Yaitu seberapa jauh ketepatan ulasan dan argumentasi yang dikemukakan. Dinilai juga kemampuan untuk meyakinkan, cara penyampaian dan penggunaan bahasa yang dipakai. Jadi, kata Sarlito, "bukan hanya sekadar debat kusir menurutkan emosi." Regu SMA PL akhirnya jadi pemenang pertama dan SMA Asisi juara kedua. Saryono dan S.L. Saragih, juri dari LIPI, juga Sarlito, menyatakan mereka merasa terkesan pada penampilan para peserta. Kekurangan mereka, kata Sarlito, karena belum bisa memanfaatkan pendapat orang lain untuk mendukung pendapat sendiri. Namun, katanya, "kita ternyata punya ahli bicara yang bukan main."

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus