IBUNYA lumpuh, lima adiknya masih kecil. Seorang pelajar SMA
terpaksa menjadi penanggung jawab keluarga setelah ayah
meninggal. Tapi gadis tadi tak berhasil mencari nafkah. Bila ia
menjadi pembantu rumah tangga, hasilnya tak akan mencukupi.
Sambil bersekolah gadis tadi melacurkan diri. Merosotkah
moralnya?
Soal itu dilontarkan dalam Lomba Debat Sabtu lalu di Jakarta
Selatan. Mengetengahkan soal Merosotnya nilai-nilai moral kaum
remaja, lomba itu diikuti tujuh sekolah (SMA Asisi, SMA
Kanisius, SMA Al Azhar, SMA Negeri VIII, SMA Negeri 34, SMA
Sancta Ursula dan SMA Pangudi Luhur).
Penyelenggara SMA Pangudi Luhur (PL) mendatangkan juri: Dr.
Sarlito Wirawan, ahli psikologi sosial yang tak asing lagi, dan
dua lainnya dari Lembaga Ilmu Penetahuan Indonesia (LIPI).
Penonton berdesakan dalam ruangan. Bahkan ada yang melongok
lewat jendela, memberkan semangat kepada teman yang berlomba.
Lomba ini berlangsung seperti acara cerdas cermat di TVRI.
Tujuannya, menurut Eko Yuliantoro, ketua panitia, ialah
meningkatkan sikap kritis dan menjalin persahabatan
antarsekolah. Ia menyatakan prihatin terhadap kasus abortus,
pergaulan bebas, tindak kriminal, atau perkelahian di kalangan
pelajar.
Siswa SMA VI dan SMA 70 Bulungan masih di Jakarta Selatan, baku
hantam baru-baru ini, misalnya. Siswa kedua sekolah itu kini
sedang didahar kembali. Bersama orangtua, mereka harus
menandatangani surat pernyataan akan mematuhi tata tertib
sekolah. Akhir pekan ini, menurut rencana, mereka boleh masuk
kelas kembali setelah libur selama tiga minggu.
Karena "mereka sedang libur," kata Eko lagi, siswa kedua
sekolah itu tak turut dalam Tomba ini. Namun soal perkelahian
massal turut diketengahkan. Ada pendapat bahwa perkelahian
massal, jika ditinjau dari sudut solidaritas, bukan merupakan
petunjuk kemerosotan moral kaum remaja.
Satu regu yang sedang berlomba mengatakan, solidaritas
sebenarnya positif, tapi perkelahian massal merupakan
solidaritas yang salah. Regu lawan mengemukakan adanya unsur
paksaan. Misalnya anak yang tak ikut berkelahi diancam oleh
temannya.
Kasus Sulistyo Eko Maryoto di SMPP Yogyakarta, yang mengadakan
angket seks (TEMPO, 22 Januari), turut dilontarkan oleh
moderator. Reu SMA Asisi dan SMA Al Azhar membera anak Yogya
itu yang terpaksa harus pindah sekolah. Bahkan regu Asisi
menekankan bahwa justru yang bersalah dalam perkara itu ialah
Kanwil P&K Yogyakarta, sementara Eko dianggap hanya ingin
mengemukakan pendapat yang dijamin UUD 45. Sementara regu Al
Azhar menganggap Kanwil yang memindahkan Eko - tak mutlak
bersalah. "Maksud Eko memang bagus, tapi ia kurang membicarakan
langkahnya lebih dulu dengan guru," kata juru bicaranya, seorang
gadis.
Sesekali tepukan memenuhi ruangan bila perdebatan berlangsung
seru. Misalnya, ketika SMA VIII berhadapan dengan SMA PL
membahas soal gadis yang terpaksa melacurkan diri. Regu SMA VIII
menolak bila si gadis harus melacur. Bila dia berusaha keras,
pasti ada yang menaruh belas kasihan dan bersedia menolong,
apalai "semut saja dikasihi Tuhan," kata juru bicara SMA VIII.
Regu SMA PL sebaliknya mengemukakan, "bila tak ada jalan lain
lagi, melacurkan diri bisa diterima."
Tim juri menilai materi dan teknik berdebat. Yaitu seberapa jauh
ketepatan ulasan dan argumentasi yang dikemukakan. Dinilai juga
kemampuan untuk meyakinkan, cara penyampaian dan penggunaan
bahasa yang dipakai.
Jadi, kata Sarlito, "bukan hanya sekadar debat kusir menurutkan
emosi." Regu SMA PL akhirnya jadi pemenang pertama dan SMA Asisi
juara kedua.
Saryono dan S.L. Saragih, juri dari LIPI, juga Sarlito,
menyatakan mereka merasa terkesan pada penampilan para peserta.
Kekurangan mereka, kata Sarlito, karena belum bisa memanfaatkan
pendapat orang lain untuk mendukung pendapat sendiri. Namun,
katanya, "kita ternyata punya ahli bicara yang bukan main."
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini