DI Sulawesi Selatan, ada Haji Kubota. Dia bukan orang Jepang.
Dia digelari demikian hanya karena traktor kecil bermerek Kubota
telah membuatnya sukses di sawah, kemudian mampu pergi ke Mekah.
Dan karena ada seminar Mekanisasi Pertanian 1977 dua pekan yang
lalu, cerita itu jadi menarik.
NV Hadji Kalla Trading Coy, Ujung Pandang, pertama kali
memperkenalkan traktor Kubota pada tahun 1974 di daerah itu.
Pada mulanya cuma 15 unit terjual. Kaum tani biasa belum
tertarik. Cuma beberapa keluarga Bupati setempat membelinya.
Tapi setahun kemudian 125 unit terjual, kenaikan 730%. Tahun
lalu terjual lagi 250 unit. Ini baru merek Kubota. Merek lainnya
seperti Satoh dari PT Indokaya, Shibaura dari CV Andipa dan
International Harvester (IH) dari PT Mesintani juga menyusul
memasuki bidang pertanian Sulsel selama 2 tahun terakhir ini.
Harganya berkisar dari Rp 1,9 juta (12 PK) dan Rp 2 juta (17,5
PK) sampai Rp 4,5 juta (27 PK).
Kebutuhan akan traktor jelas meningkat di Sulsel. Kecenderungan
sama dijumpai pula di daerah lainnya yang berpenduduk tipis
seperti Sumatera Utara, Aceh dan Sumatera Barat. Petani yang
bermodal kecil kini bernafsu sekurang-kurangnya membeli traktor
tangan, yaitu mesin pembajak yang didorong manusia. Pemakaian
kerbau atau sapi untuk mengolah sawah mulai dianggap
"ketinggalan" dan lamban. Bagi mereka yang bermodal agak besar,
tentu dicarinya traktor-mini yang ada 4 rodanya.
Meningkat Gengsi
Traktor-mini kabarnya menarik para pemuda yang putus sekolah
turun ke sawah. Karena merasa seperti mengendarai mobil di
sawah, menurut ir. Syamsuddin Abbas, kepala Dinas Pertanian
Rakyat Dati I Sulsel, "ada peningkatan gengsi. Sambil
menjalankan traktor, mereka menyandang radio transistor".
Kredit Investasi Kecil (KIK) dari bank-bank pemerintah telah
banyak membantu petani memperoleh traktor. Terutama di Sulsel,
sekitar 507O dari seluruh penjualan adalah melalui KIK sedang
dealer pun menyediakan kredit yang bisa dicicil petani ketika
panen. Akhirnya, mereka yang bekerja di kantor pun turut membeli
traktor untuk disewakan. "Penunggakan kecil sekali", kata Jusuf
Kalla, direktur NV Hadji Kalla Trading Coy kepada TEMPO.
Tapi KIK traktor di banyak tempat sukar diperoleh. "ProseduMya
memakan tempo 5 bulan", Himpunan Kerukunan Tani Indonesia (KHTI)
cabang Cirebon, umpamanya bercerita kepada TEMPO.
Di Aceh dan Sumut, menurut manajer ir. Erawan Sutirto dari PT
Mesintani (kelompok Masayu-Kiagoos), banyak peminat traktor tapi
"belum dapat kami layani" a.l. karena seretnya penyaluran KIK.
Maka berkata pula Achmad Ansori Surapati dari PT Indokaya:
"Sampai kini tidak semua bank pemerintah rela hati membantu
mekanisasi pertanian". Kenapa?
Karena Orang Tua di Sawah
Ada anggapan bahwa tenaga kerja kita berlebihan. Tanpa traktor,
masih banyak manusia yang dianggap bisa memacul di sawah.
Penggunaan traktor dikuatirkan akan menambah pengangguran. Tapi
di Sumbar, misalnya, anggapan demikian ternyata keliru karena
mereka yang masih tinggal di kampung adalah orang tua, sedang
orang muda pergi merantau.
Mekanisasi pertanian justru sedang digalakkan di Sumbar. PT
Indokaya, dengan bantuan Pj. Gubernur Harun Zain, akan
mengadakan survai di 5 kabupaten - Limapuluh Koto,
Padang-Pariaman, Tanah Datar, Agam dan Solok - gudang berasnya
Sumbar. Survai itu bertujuan mengetahui berapa banyak
traktor-mini diperlukan dan bagaimana penyaluran dan
pemeliharaannya. Berdasar penelitian sementara, menurut PT
Indokaya, Sumbar sedikitnya memerlukan sekitar 300 unit traktor
berukuran 8,5 PK sampai 15 PK.
Bali, yang berpenduduk padat, malah kini kekurangan tellaga
kerja di sawah. Karena arus wisatawan banyak, para petani Bali
kini lebih suka menjadi pengrajin. Membuat patung dan mengukir
kayu lebih menguntungkan bagi mereka sekarang. Maka Bali
ditaksir memerlukan 1.000 unit traktor. PT Indokaya, bersama
Askrindo dan PT Indonesian Leasing Coy, akan mempromosikannya
dengan sistem sewa-beli.
Jawa Barat, menurut bekas Cubernur Solihin G.P. yang kini
menjadi petani, memang berpenduduk padat tapi pencangkul
tradisionil makin berkurang, hingga lebih 40.000 hektar sawah
terancam tidak digarap. Berbicara di depan seminar Mekanisasi
Pertanian 1977 di Jakarta (25-26 Mei), Solihin menaksir Jabar
memerlukan lebih 3.300 unit traktor mini ataupun tangan, supaya
sawah seluas itu masih bisa dikerjakan. Sekarang baru ada 550
unit di Jabar.
Para pemuda berpindah ke kota, tersedot oleh industri dan proyek
pembangunan jalan, demikian Solihin. "Upah mencangkul tanah Rp
350 sehari. 'Ngumpulin puntung rokok di kota bisa dapat Rp 750
sehari".
Persoalannya ialah: traktor belum terjangkau oleh sebagian besar
petani. KIK, jika bank-bank pemerintah nanti memperlancarnya,
memang akan memungkinkan petani memperoleh traktor. Tapi itu
saja belum memadai. Masih perlu diusahakan, demikian wartawan
TEMPO Yunus Kasim menarik kesimpulan dari pembicaraan dengan
berbagai agen traktor, bagaimana supaya harganya bisa lebih
ditekan. Sekarang ia dikenakan bea masuk 20% plus PPn impor 10%.
Kalau semua pajak itu dibebaskan untuk traktor, sebagaimana
halnya terhadap kendaraan niaga, tentu banyak petani akan bisa
beli. Tentu saja kalau mereka merasa perlu - dan para insinyur
Indonesia belum juga menyajikan teknologi lain yang lebih tepat.
Asal jangan keburu digoda gengsi.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini