Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Dari Hutan Meraup Belasan Triliun

Sedikitnya Rp 18 triliun bisa diraup Indonesia dari berdagang karbon. Tapi cara penghitungannya masih diperdebatkan.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Mari kita memasuki belantara perdagangan karbon. Sebuah wilayah yang asing dan sedikit matematis. Agak berkerut memang. Tapi tak apalah karena ini menyangkut nasib hutan kita yang tengah dipertaruhkan dalam Konferensi Perubahan Iklim di Bali yang berakhir pada akhir pekan ini.

Gagasannya adalah bagaimana Indonesia mendapatkan keuntungan sebesar-besarnya dari usaha menjaga hutan. Sebagai paru-paru bumi, hutan memegang peran penting dalam mengikat karbon, yang menjadi biang keladi pemanasan bumi dan melelehnya kutub. Paru-paru bumi itu adalah hutan tropis kekayaan alam Indonesia bersama 11 negara lain.

Bila hutan luas Indonesia itu terbakar atau habis ditebang, semua negara di dunia akan menderita. Sebaliknya, saat Indonesia berhasil mengerem penebangan hutan dan meminimalkan kebakaran hutan, seluruh dunia, termasuk negara-negara maju, akan mengail untung. Pelepasan emisi karbon pun dapat dicegah.

Dengan dasar pikiran ini, Indonesia mengajukan proposal reduce emissions from deforestation and degradation (REDD). Ini semacam permintaan insentif kepada negara maju atas usaha Indonesia mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi. Mengapa negara maju? Industri merekalah yang menjadi penyebab terbesar terbuangnya emisi, di samping seperlimanya oleh deforestasi. Ada 40 negara maju yang wajib menurunkan emisi karbon akibat mega-industri mereka. Sambil jalan, mereka boleh membeli kredit karbon-hak untuk melepas karbon (atau menebar polusi)-dari pemilik aset yang bisa menyimpan atau menyerap karbon. Inilah yang disebut sebagai perdagangan karbon.

Perdagangan karbon bukan barang baru. Di dunia, hal ini sudah berlangsung sejak Perserikatan Bangsa-Bangsa-melalui sidang Protokol Kyoto pada 1997-mengizinkan pembelian kredit karbon. Misalnya, kredit karbon dihasilkan oleh industri yang menggunakan teknologi solar atau energi alternatif.

Konferensi Perubahan Iklim di Bali akan mengetuk palu apakah negara-negara maju menyetujui penerapannya secara permanen. Kalau disetujui, lima tahun lagi pemerintah Indonesia bisa mendapat dana hingga US$ 2 miliar atau sekitar Rp 18 triliun per tahun dari skema baru ini. Mekanismenya, ya, lewat perdagangan karbon tadi, atau dana multilateral.

Dari mana munculnya angka Rp 18 triliun? Tim penyusun hitungan matematis ini bernama Indonesian Forest Climate Alliance (IFCA). Di dalamnya ada Departemen Kehutanan, pusat penelitian kehutanan, lembaga swadaya masyarakat, dan kalangan swasta. Tim yang dibiayai donor internasional ini telah menyusun berbagai kajian dasar, antara lain penentuan baseline laju deforestasi, strategi penurunan emisi, metode pemantauan dan verifikasi, transaksi pendanaan karbon, dan mekanisme distribusi pembayaran.

Laju deforestasi yang selama ini terjadi dan menjadi patokan adalah 1,8 juta hektare per tahun. Padahal, untuk setiap hektare, hutan sanggup menyimpan karbon 200-300 ton. Dan setiap ton karbon dinilai US$ 3-20. Jadi potensi uang yang bisa didapat dari deforestasi itu-jika kita memakai angka US$ 5 per ton dan mengalikan semua angka-mencapai sekitar Rp 18 triliun.

Ahli klimatologi Prof Daniel Murdiyarso, peneliti IFCA, termasuk yang setuju pendanaan karbon dilakukan melalui mekanisme pasar karbon internasional. Alasannya, ia menilai prosesnya bisa lebih transparan karena diverifikasi melalui lembaga independen. Pemerintah, kata dia, akan menentukan baseline secara nasional. "Bila kita berhasil menekan angka deforestasi, selisihnya yang akan dikompensasi," katanya.

Namun cara penghitungan model begini dikritik para aktivis lingkungan. Dalam laporan yang diterbitkan Organisasi Komunitas Sipil Jaringan Tata Kelola Kehutanan dan Perubahan Iklim, metode REDD yang disusun pemerintah dianggap tak memperhitungkan kapasitas hutan untuk menyimpan karbon (carbon storage) dan menyerap karbon (carbon sequestration) yang tak dapat dipisah-pisah.

Angka yang mereka pergunakan adalah 200 ton karbon per hektare hutan per tahun untuk kondisi aktual karbon yang tersimpan dan 19 ton karbon per hektare hutan per tahun untuk karbon terserap. Misalnya, bila di Indonesia masih ada hutan tropis seluas 80 juta hektare-memakai angka asumsi hutan tersisa pada 2005-perhitungannya sebagai berikut: volume karbon tersimpan (80 juta hektare x 200 ton per hektare per tahun) adalah 16 miliar ton per tahun. Sedangkan volume karbon terserap (80 juta hektare x 19 ton per hektare per tahun) adalah 1,52 miliar ton per tahun. Total jumlah karbon seluruhnya 17,52 miliar ton per tahun (dengan US$ 5 per ton) atau senilai US$ 88 miliar, yang bila dirupiahkan mencapai Rp 790 triliun per tahun!

Bandingkan dengan jumlah minim yang dihasilkan bila menghitung dari baseline dengan metode REDD. Dengan patokan 1,8 juta hektare per tahun, setelah sekian tahun, laju deforestasi yang masih terjadi adalah 0,8 hektare per tahun. Maka basis kompensasinya adalah 1 juta hektare. Perhitungannya menjadi 1 juta hektare x 200 ton hektare per tahun = 200 juta ton per tahun atau senilai Rp 9 triliun. "REDD hanya memberikan kompensasi terhadap pelepasan karbon tercegah, tapi tidak menghargai hutan secara keseluruhan," mereka menulis.

Bukan cuma itu yang mengundang kecemasan mereka. Secara garis besar, para aktivis lingkungan melihat berdagang karbon sama saja dengan memberi negara maju hak untuk menebar polusi. Padahal mestinya mereka berkonsentrasi menurunkan emisi karbon dengan transfer teknologi. "Ini bagai orang yang terus merokok dan membayar orang lain untuk mengisap asap rokoknya," kata Torry Kuswardono, aktivis Wahana Lingkungan Hidup.

Menurut dia, banyak yang tak nyaman dengan mekanisme pasar di balik upaya penurunan emisi. Ia tak rela karbon "digoreng" laiknya saham di bursa. Apalagi bila mengingat harganya bisa naik atau jatuh sesuai dengan hukum pasar permintaan dan kebutuhan. Tak jelas pula siapa yang menjual dan siapa yang membeli. Dan jangan lupa, di balik hutan tersimpan berbagai kepentingan lain, seperti hajat hidup masyarakat sekitar hutan dan nasib tanah adat. Apakah mungkin fulus yang datang dari mekanisme internasional bisa sampai ke tangan rakyat penjaga hutan?

Inilah kelemahan perdagangan karbon. Agus Sari, Direktur Eco Securities, penyedia jasa keuangan lingkungan, yang juga anggota tim, mengakui bahwa sejauh ini ihwal "aktor lokal" alias peran masyarakat sekitar hutan dalam REDD masih belum banyak dijawab. "Ini sama sulitnya menjawab pertanyaan 'hutan itu punya siapa'," ucapnya.

Bagai semut di seberang, dana Rp 18 triliun dari berdagang karbon sungguh tampak berbinar. Tapi gajah di pelupuk mata-yakni masyarakat hutan dan tanah adat-justru masih gelap nasibnya.

Kurie Suditomo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus