Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Agus Sari lahap betul menyantap bebek betutu dan ikan balado. Dua piring telah dia habiskan. Makanan lain yang tersedia di ruang Samudera, Hotel Ayodya, Nusa Dua, Bali, tak diliriknya. Dengan gencar, Country Director PT EcoSecurities—perusahaan jasa keuangan lingkungan yang bermarkas pusat di Dublin, Irlandia—itu terus meminta wartawan yang hadir menambah porsi makan siang mereka.
Rabu siang pekan lalu itu, Agus sedang semringah. Ia baru menandatangani kontrak pembelian kredit karbon antara perusahaannya dan PT Bajradaya Sentranusa. Acara penandatanganan ini berlangsung di sela-sela Conference of the Party (COP) ke-13—yang lebih sering disebut sebagai Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim. Konferensi yang menghabiskan biaya Rp 114 miliar ini berlangsung pada 3-14 Desember 2007, dihadiri 187 negara dan utusan dunia bisnis serta non-governmental organization.
Dalam kontrak, Bajradaya akan membuat pembangkit listrik tenaga air di Sungai Asahan, Sumatera Utara, yang beroperasi pada 2010. Pembangkit yang bakal memproduksi tenaga listrik sebesar 1,175 GWh per tahun ini memakai terowongan air sebagai tenaga penggerak. ”Tidak menggunakan bendungan dan tidak mengusir penduduk, sehingga ramah lingkungan,” Bambang P. Hidayat, asisten direktur Bajradaya, mengklaim.
EcoSecurities akan menyusun proposal dan mendaftarkan proyek tersebut ke PBB melalui program clean development mechanism (CDM). Perusahaan yang menjadi broker pasar karbon ini juga memantau dan memverifikasi penurunan emisi serta membeli sertifikat penurunan emisi atau CERs (certified emission reductions). Menurut Agus, biaya untuk mengerjakan semua proses itu ditanggung pihaknya. Untuk itu, mereka mendapat hak eksklusif menjual di pasar karbon.
Program CDM yang diperkenalkan dalam Protokol Kyoto pada 1997 memang mengakomodasi negara-negara maju yang dengan berbagai alasan tak mau mengubah teknologi industri mereka menjadi teknologi bersih. Sebagai gantinya, mereka diwajibkan membiayai proyek-proyek ramah lingkungan di negara berkembang. Pembiayaan proyek ramah lingkungan itu biasa disebut sebagai pembelian kredit karbon.
Agus tahu betul proyek Bajradaya itu bisa dijual. Dana yang didapat dari pembelian kredit karbon itu kelak bisa dipakai untuk pembangunan pembangkit listrik. ”Ini murni bisnis dan tak ada udang di balik batu,” katanya disambut tawa wartawan.
Penjelasan Agus soal tak adanya udang di balik batu ini untuk menepis suara sember tentang dia. Adalah Wahana Lingkungan Hidup Indonesia (Walhi) yang menyebut Agus telah melakukan skandal di arena COP ke-13. ”Dia punya konflik kepentingan,” ujar Direktur Eksekutif Walhi Chalid Muhammad. Chalid merujuk posisi Agus sebagai penasihat Rachmat Witoelar, Presiden COP ke-13. Chalid melihat bahwa para calo perdagangan karbon internasional telah menggerayangi delegasi Indonesia.
Siapa sih Agus ini? Emil Salim sebagai ketua delegasi Indonesia menyebut Agus Sari yang pernah aktif di Walhi pada 1990-an itu bukan bagian dari timnya. Sedangkan Rachmat Witoelar mengakui dialah yang memilih Agus sebagai penasihatnya karena kompetensi yang dimilikinya. Rachmat tak melihat ada persoalan dengan pengangkatan Agus sebagai penasihat Presiden COP ke-13. ”Saya menerima semua ide yang baik darinya,” ujarnya kepada Tempo.
EcoSecurities memang menjadi pemain utama di antara puluhan perusahaan yang memperdagangkan kredit karbon. Perusahaan ini digandeng Departemen Kehutanan untuk melakukan pilot activities skema REDD atau reduce emission from deforestation and degradation. Ini skema pemberian insentif yang diajukan kepada negara-negara maju agar memberikan imbalan atas upaya Indonesia mengurangi emisi karbon dari deforestasi dan degradasi hutan. Menteri Kehutanan M.S. Kaban-lah yang mengumumkan kerja sama departemennya dengan perusahaan tersebut, Kamis pekan lalu, saat meluncurkan skema REDD Indonesia di Hotel Ayodya, Nusa Dua.
REDD, yang konsepnya sudah diperkenalkan dalam COP ke-11 di Montreal pada 2005, adalah salah satu terobosan dalam perdagangan karbon. Maklum, skema CDM dianggap belum cukup adil bagi negara-negara pemilik hutan yang luas. Skema CDM pun baru mendaftarkan 645 proyek dari 44 negara hingga Mei lalu. Sekalipun baru ratusan proyek, skema ini mampu mengumpulkan 810 juta sertifikat CERs dengan nilai mencapai US$ 1,9 miliar atau sekitar Rp 17 triliun.
Nah, REDD diharapkan mampu lebih menggairahkan pasar perdagangan karbon global. Melalui skema ini, diperkirakan negara-negara berkembang pemilik hutan bisa meraup US$ 15-50 miliar. Dari angka ini, Indonesia bisa menggaet sekitar US$ 2 miliar.
Besarnya potensi dana ini membuat perusahaan internasional berlomba-lomba menawarkan kredit karbon. Di Nusa Dua, Bali, mereka menggelar acara di Hotel Grand Hyatt. Lebih dari 20 broker perdagangan karbon itu bergerilya mendekati sejumlah perusahaan atau pemerintah daerah pemilik hutan. Pemerintah Riau, Kalimantan Tengah, dan Papua di antaranya.
Gubernur Papua Barat, misalnya, telah menandatangani nota kesepahaman dengan Asia International Finance yang berkedudukan di Beijing, Cina, beberapa hari menjelang konferensi. ”Ada enam kabupaten yang ikut serta dalam proyek ini,” ujar Hans Arwam, Kepala Dinas Kehutanan dan Perkebunan Papua Barat. PT Asia ini bahkan membiayai perjalanan Gubernur Abraham Atururi, bupati, dan ketua DPRD ke Beijing.
Bupati Kaimana, yang ikut ke Beijing, belum menandatangani nota itu. ”Isinya menyimpang dari konsep perdagangan karbon,” ujar Matias Mairuma, Wakil Bupati Kaimana. Dia memang tak mau terburu-buru dan akan melakukan konsultasi terlebih dulu dengan Frank Momberg, Direktur Fauna & Flora International (FFI) Kawasan Asia, dan sejumlah pengacara.
Penyimpangan yang dimaksud Matias antara lain setiap kabupaten harus menyetor US$ 5 juta tiap tahun ke Asia International Finance. Pembagian keuntungannya juga berat sebelah. Sebanyak 60 persen harus disetor ke Beijing, 15 persen untuk fee, dan baru sisanya masuk kas daerah. Namun perusahaan ini memberikan iming-iming. ”Akan membangun jalan layang untuk mobil dan kereta dari ibu kota kabupaten ke Jayapura,” ujar Matias. Jarak kedua kota itu hampir 200 kilometer. Karena hal itu meragukan, Bupati Kaimana kemudian menggandeng URS Asia Pacific, broker lain.
Frank Momberg yang melihat proposal broker dari Beijing hanya tertawa. Menurut Frank, Provinsi Papua dan Aceh paling siap memasuki perdagangan karbon. Ini terlihat dari komitmen kepala daerah dan lokasi yang ditawarkan. Gubernur Papua Barnabas Suebu dan Gubernur Aceh Irwandi Yusuf, misalnya, tampak terus mengikuti konferensi dan mendampingi Menteri Kehutanan M.S. Kaban ketika meluncurkan skema REDD.
Frank mengatakan kredit karbon menjadi peluang kepala daerah membangun wilayahnya. ”Selama ini, tidak ada insentif bagi bupati untuk melestarikan hutan,” kata Frank, yang sejak 1980-an melakukan penelitian di Papua. Di sisi lain, dana pusat sering terlambat cair. Ambil contoh anggaran untuk taman nasional yang baru keluar pada Agustus.
Melalui pasar karbon, kabupaten yang ikut serta bakal memperoleh anggaran setiap tahun. Tapi bagaimana pembagian keuntungan antara pusat dan daerah? Menteri Kaban menyebutkan Departemen Kehutanan akan memperoleh 35 persen, sedangkan 65 persen masuk kas daerah. Porsi Departemen Kehutanan akan dipakai untuk mengantisipasi kerusakan hutan yang tidak dikehendaki. Sedangkan insentif 65 persen untuk aktor lokal: komunitas masyarakat adat setempat, pemerintah daerah, atau pengusaha yang memenuhi kriteria penyertaan lahan hutan produksinya ke dalam program REDD.
Duncan Marsh juga melihat REDD membawa manfaat ekonomi bagi pembangunan daerah. Diakuinya, perlu pembelajaran ketika menerapkan skema itu. ”Agar dananya sampai ke masyarakat bawah,” ujar Direktur Kebijakan Iklim The Nature Conservancy itu. Lembaga ini bersama FFI, WWF, dan beberapa badan konservasi lain mendukung skema REDD.
Hanya Greenpeace dan Walhi yang mengusulkan skema lain. Greenpeace menawarkan tropical deforestation emission reduction mechanism. Skema ini, kata mereka, mampu menyelamatkan hutan tropis, keanekaragaman hayati di dalamnya, sekaligus masyarakat sekitar yang menggantungkan hidupnya. Sedangkan Walhi menolak pasar karbon dan menuntut dilakukan jeda tebang serta konversi untuk menyelamatkan hutan Indonesia.
Sidang-sidang COP ke-13 sendiri masih memperdebatkan implementasi REDD. Brasil tetap ngotot bahwa skema itu hanya pada aspek deforestasi (RED). Negara pemilik hutan terluas di dunia ini juga menolak mekanisme pasar dalam hal pendanaannya. Brasil mengusulkan dana khusus dari negara-negara maju yang mengemisi karbon dioksida.
Kepada Tempo, Paula Moreira, delegasi Brasil dari Institut Amazon, mengatakan jual-beli karbon merupakan isu yang sensitif karena menyangkut kedaulatan negara. ”Kami tak mau orang atau negara lain ikut serta terlibat urusan hutan Brasil,” ujarnya. Karena itu, kata dia, Brasil tak ingin menyerahkan implementasi RED kepada mekanisme pasar.
Konferensi masih berlangsung hingga akhir minggu ini. Soal ini masih terus diperdebatkan para delegasi tiap negara di medan perundingan. Sedangkan para aktivis lingkungan bersilat lidah di ruang publik. Di luar mereka, para broker perdagangan karbon bergerilya dari satu hotel ke hotel lain. Mereka mentraktir dan mengiming-imingi para birokrat daerah dengan janji setinggi langit.
Untung Widyanto, Andree Priyanto (Nusa Dua)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo