Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Kampung Para Pecundang

Aktivis lembaga swadaya masyarakat punya ”kampung” sendiri dalam Konferensi Perubahan Iklim. Ini wilayah bebas bicara.

10 Desember 2007 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

"Sepeda Medco Energy dilarang masuk”. Tulisan di atas karton putih itu tertempel pada bambu yang menyangga bangunan semipermanen di lapangan Bali Tourism Development Corporation, Nusa Dua. Ya, cuma di wilayah itu muncul larangan bagi sepeda yang bisa digunakan 10 ribu peserta Konferensi Perubahan Iklim, wartawan, dan peserta lain mengitari Nusa Dua. Sepeda itu merupakan sumbangan PT Medco Energy.

Lapangan Bali Tourism memang telah disulap menjadi markas aktivis LSM dari seluruh dunia. Mereka menyebutnya Kampung CSF (Civil Society Forum). Jarak kampung ini dengan Hotel Westin, tempat berlangsung sidang-sidang COP-13, cuma dua ratus meter. Maka, jadilah jalan itu jalur mereka unjuk rasa.

Senin pekan lalu, mereka mulai memasang papan larangan masuk sepeda yang disponsori Medco. Lima sepeda digeletakkan di tengah jalan lalu ditempeli sejumlah poster dan foto-foto korban lumpur Lapindo. ”Sepeda ini tak dapat menyucikan dosa-dosa Medco,” bunyi salah satu poster.

Sejumlah aktivis menolak naik sepeda itu. ”Mending saya jalan kaki,” kata Emmy Hafidz, Direktur Eksekutif Greenpeace Asia Tenggara.

Selain Grup Bakrie dan Santos, Medco memiliki saham di PT Lapindo Brantas. Belakangan, Medco melepas seluruh sahamnya. Toh, para aktivis itu tak bisa melupakan peran Lapindo yang dituduh menjadi biang keladi munculnya semburan lumpur panas Sidoarjo. Utusan warga Sidoarjo ikut hadir di Nusa Dua. Pekan lalu mereka unjuk rasa ketika Menko Kesra Aburizal Bakrie mengunjungi arena COP-13.

Di kampung para aktivis, suara-suara antineoliberalisme nyaring terdengar. Ketika Sekretaris Eksekutif UNFCCC Yvo de Boer membuka sidang konferensi, mereka menggelar acara bertajuk Testimony: Indigenous People’s Group. Wakil masyarakat adat dari Indonesia, Meksiko, Nigeria, dan Kepulauan Samoa di Samudra Pasifik tampil memberi kesaksian. Di rumah panggung dari bambu dan beratap rumbia mereka bercerita soal dampak pemanasan global yang melanda negeri-negeri mereka.

Fiu Elias Sara dari Samoa menuturkan tenggelamnya Pulau Tebua dan Tarawa. Masyarakat pesisir pun harus pindah dari tanah leluhurnya. Dia mempertanyakan ketidakadilan global. Negara-negara industri bisa terus melepas emisi gas rumah kaca, sementara dampaknya dipikul oleh negara berkembang. ”Kami punya hak yang sama untuk bertahan hidup,” ujarnya.

Felicita, aktivis lingkungan dari Meksiko, mengeluhkan banjir bandang yang belakangan ini kerap menimpa wilayahnya. Di Tabasco, dia mencontohkan, banjir menghancurkan industri kecil dan memaksa warga miskin keluar dari kota itu .

Utusan masyarakat adat Indonesia juga memberi kesaksian mengenai kesulitan hidup yang dirasakan. Mereka berasal dari Papua, Maluku, Musi Banyuasin (Sumatera Selatan), serta Talang Nangka dan Molo (Nusa Tenggara Timur).

Aleta Baun dari NTT merasa resah dengan kebijakan pemerintah yang mementingkan pengusaha dalam program hutan tanaman industri. Organisasi Ataimanus (OAT) yang ia pimpin pernah bentrok dengan Dinas Kehutanan Kabupaten Timor Tengah Selatan. Mereka protes karena hutan alam di Molo berubah fungsi menjadi hutan produksi untuk tanaman jati dan mahoni.

Perempuan berusia 40 tahun yang hadir di Bali atas biaya Jaringan Advokasi Tambang itu menggugat ketidakadilan yang dilakukan pemerintah. ”Kami disuruh jaga hutan, sementara orang-orang Jakarta yang ambil untung,” ujarnya.

Kamis siang pekan lalu, Slamet Rahardjo tampil di panggung Kampung CSF. Sutradara kawakan ini diundang Menteri Lingkungan Hidup Rachmat Witoelar. Dia mengaku bicara blak-blakan dengan sang Menteri yang dinilainya cuma figuran dalam Kabinet Indonesia Bersatu.

Slamet melihat, masuknya pemodal besar dan globalisasi menyingkirkan kearifan lokal yang turun-temurun diwariskan masyarakat. Indonesia, katanya, bukan lagi milik sebagian besar warganya. ”Kini, kita cuma pecundang,” ujarnya. Pemenangnya adalah orang-orang kaya yang mengemudikan ekonomi global.

Untung Widyanto

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus