Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tas itu selalu ada di sudut kamar tidur Sahniar. Isinya barang-barang pribadi yang paling penting. Ketika gempa melanda Solok, Sumatera Barat, pada 6 Maret lalu, tas itu—berisi antara lain pakaian dan makanan—segera dia sambar lalu menghambur ke tempat pengungsian.
Langkah Sahniar terhenti tatkala suaminya meminta dia menunggu informasi dari televisi. Penyiar memberitakan pusat gempa di daratan, bukan di laut. Sahniar yang tinggal di Ulak Karang, Padang, akhirnya mengurungkan niat mengungsi. ”Setiap ada gempa saya cemas, karena rumah saya hanya 300 meter dari tepi laut,” kata perempuan berusia 50 tahun ini kepada Tempo pada Rabu dua pekan lalu.
Sahniar adalah salah satu contoh warga di daerah bencana yang siap menghadapi bahaya gempa atau tsunami. Ada jutaan penduduk di banyak daerah yang sama sekali tak sigap menyongsong aneka bencana. Gempa, tsunami, gunung meletus, banjir, tanah longsor, atau angin puting beliung seperti tak habis-habisnya mendera.
Beruntunglah Sahniar pernah mengikuti simulasi evakuasi tsunami yang diadakan Pemerintah Kota Padang dan Komunitas Siaga Tsunami. Dari program itulah dia memperoleh pengetahuan kapan tsunami bakal terjadi dan apa yang mesti dilakukan.
Padang dan sekitarnya menjadi pusat perhatian setelah gempa dan tsunami menerjang Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Pulau Nias pada 2004. Posisi geografis ibu kota Sumatera Barat ini unik. Bagian depannya langsung menghadap lempeng Indo-Australia yang setiap tahun menumbuk daratan Sumatera. Di bagian belakang terdapat pegunungan Bukit Barisan. ”Kami menyebut Padang sebagai laboratorium alam yang amat spektakuler,” kata Presiden Himpunan Ahli Geofisika Indonesia, Abdul Mutalib Masdar.
Setiap musim hujan, tanah longsor sering terjadi di Tanah Minangkabau. Gempa akibat aktifnya patahan Semangko–di bawah Bukit Barisan—juga pernah menggoyang. ”Potensi terjadinya tsunami kini mengintai dan tinggal menunggu waktu menerjang Padang,” kata Masdar.
Prediksi serupa diungkapkan Danny Hilman. Peneliti di Pusat Penelitian Geoteknologi, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, ini mencatat pada 1833 terjadi gempa berkekuatan 9 pada skala Richter di Mentawai, 80 mil dari pesisir Padang. Menurut dia, periode pengulangan gempa di wilayah ini sekitar 200 tahun. Jika gempa sejenis terjadi lagi, tsunami bakal menerjang Padang hanya dalam hitungan 10 menit.
Benarkah Indonesia kini tengah memasuki periode siklus bencana? Pertanyaan ini kerap menancap di benak publik. Rangkaian bencana susul-menyusul terjadi di beberapa daerah. Baik yang bersifat geologis maupun hidrometeorologis.
Termasuk dalam bencana geologi adalah gempa bumi, gunung api, dan tanah longsor. Sementara banjir, badai tropis, kebakaran hutan, kenaikan muka air laut, petir, puting beliung dan tsunami masuk dalam golongan hidrometeorologi. ”Kita sedang memasuki siklus kembalinya gempa-gempa besar yang terjadi seabad silam,” kata Cecep Subarya, pakar geodesi dari Badan Koordinasi Survei dan Pemetaan Nasional.
Cecep menjelaskan, Indonesia berada di atas pergeseran lempeng paling aktif di dunia. Ambillah contoh pertemuan lempeng Pasifik dengan lempeng Eurasia di sekitar Papua dan Maluku. Pertemuan ini telah menciptakan 32 kali tsunami sepanjang periode 1600–2005 di wilayah itu. Dari 107 kali tsunami yang pernah terjadi di Indonesia, frekuensi tsunami paling tinggi tercatat di Laut Banda, meliputi Kepulauan Banda, Kepulauan Tanimbar, Seram, Pulau Buru, Flores, dan Timor (lihat infografik Dilingkari Cincin Api).
Selain bencana karena faktor alam, Cecep mengingatkan, bencana lain datang akibat perilaku manusia. Banjir, tanah longsor, dan kebakaran hutan di Tanah Air terhitung sebagai bencana yang rutin dan ajek waktunya. Jadi, kata Cecep, ”Indonesia itu ibarat supermarket bencana.”
Penggundulan hutan berlangsung massif di beberapa daerah di Sumatera dan Kalimantan. ”Saya menyaksikan di Taman Nasional Kerinci Seblat, Jambi, orang menebang kayu bukan karena kemiskinan, tetapi karena keserakahan. Mereka merusak lingkungan hidup secara membabi buta,” kata Kenneth M. Chomitz, Lead Economist World Bank Research Department, dalam wawancara dengan Tempo beberapa waktu lalu.
Penulis Overview—At Loggerheads? Agricultural Expansion, Poverty Reduction, and Environmental in the Tropical Forest itu mengungkapkan, di beberapa negara kaya hutan seperti Madagaskar dan Indonesia, ekspansi lahan pertanian dan industrialisasi adalah penyumbang terbesar bagi kerusakan hutan dan lingkungan hidup. ”Ujungnya adalah bencana dan kemiskinan bagi penduduknya,” Chomitz melanjutkan.
Badan Pangan Dunia, FAO, menyebut laju penghancuran hutan di Indonesia sepanjang 2000–2005 sebagai yang tercepat di dunia. Setiap tahun rata-rata 1,871 juta hektare hutan hancur atau 300 lapangan sepak bola setiap jam. Kehancuran 2 persen dari luas hutan yang tersisa itu jauh melebihi Zimbabwe, Myanmar, dan bahkan Brasil.
Data FAO itu rupanya tak membuat pemerintah malu. Departemen Kehutanan bahkan menyebut data itu keliru. Semestinya deforestasi hutan Indonesia pada 2000–2005 sudah turun menjadi 1,18 juta hektare. Toh, angka ini masih amat tinggi.
Kebakaran hutan itu telah menyumbang secara signifikan pemanasan global. Dalam lima tahun terakhir suhu udara di Indonesia meningkat 0,2–1 derajat Celsius. Ini menciptakan kekacauan iklim. Petani pun sering terkecoh oleh cuaca (lihat Lantaran Suhu Bumi Memanas).
Sebagaimana Chomitz, Agus Hendratno meyakini bahwa masyarakat miskinlah yang menjadi korban utama bencana. Menurut Agus, warga lapisan ini banyak bermukim di wilayah rentan bencana. ”Mereka cenderung menyikapi bencana sebagai suratan takdir dan pasrah,” kata Agus, dosen geologi UGM yang sering melakukan sosialisasi bencana ke daerah.
Dia berharap pemerintah meningkatkan kapasitas ekonomi, pengetahuan, dan akses dalam menghadapi bencana kepada golongan masyarakat miskin. ”Segera tinggalkan model penanganan ala pemadam kebakaran,” katanya.
Dalam konteks inilah, Agus menyambut baik Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana yang beberapa waktu lalu disahkan DPR. Aturan baru ini mengamanatkan pembentukan Badan Nasional Penanggulangan Bencana sebagai pengganti Badan Koordinasi Nasional Penanggulangan Bencana dan Penanganan Pengungsi yang kewenangannya sedikit.
”Harusnya tugas badan baru itu terintegrasi mulai dari prabencana, saat tanggap darurat dengan garis komando, hingga pascabencana,” kata Agus. Selain itu, memadukan penanggulangan bencana dengan rencana pembangunan dan Anggaran Pendapatan Belanja Nasional dan Daerah.
Menko Kesejahteraan Rakyat Aburizal Bakrie menyatakan, di tingkat pusat badan tersebut akan setingkat kementerian. Di daerah juga dibentuk badan sejenis yang dipimpin pejabat sipil eselon 1B untuk tingkat provinsi dan eselon 2A untuk kabupaten. Akhir tahun ini, badan baru tersebut sudah terbentuk. Sahniar dan korban bencana alam lain barangkali akan banyak menaruh harapan pada badan ini.
Untung Widyanto, I G.G. Maha Adi, Febrianti (Padang), Syaiful Amin (Yogyakarta), Ahmad Fikri (Bandung), Rofiki Hasan (Denpasar)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo