Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
JANGAN kaget kalau penderita bengek makin banyak memenuhi bangsal ru mah sakit. Udara di perkotaan Indonesia, meski tidak di semua wilayah, sudah tak layak untuk dihirup. Pertengahan bulan lalu, Badan Pengendalian Dampak Lingkungan (Bapedal) mengeluarkan data kualitas udara di lima kota Indonesia. Kota yang dipilih sebagai tempat pemantauan itu adalah Jakarta, Pontianak, Jambi, Denpasar, dan Serpong.
Hasilnya, hanya Denpasar yang udaranya masih cukup aman untuk diisap. Sedangkan empat kota lain berpotensi menyebabkan infeksi saluran pernapasan akut (ISPA). Di Pontianak dan Jambi, sepanjang 1999, ada empat hari di mana pencemaran udara sudah pada tingkat berbahaya. "Terutama saat terjadi kebakaran hutan," kata Isa Karmisa, Kepala Direktorat Pencemaran Udara Bapedal. Sementara itu, kondisi udara Jakarta sangat parah.
Dalam laporannya, Bapedal memantau lima jenis polutan yang gentayangan di udara: partikulat atau debu, karbon monoksida, sulfur dioksida, nitrogen oksida, dan ozon. Untuk memudahkan pemahamannya, dibuat indeks satuan pencemar udara (ISPU) dengan tingkatan baik, sedang, tidak sehat, sangat tidak sehat, dan berbahaya.
Sayang, alat pantau polusi udara yang dipasang Bapedal tak mungkin mewakili kondisi udara seluruh kota. Sebab, Bapedal hanya memasang satu alat pantau untuk setiap kota. Di Jakarta, misalnya, alat pantau diletakkan di daerah Casablanca, yang lalu-lintasnya lancar.
Dari kelima polutan itu, debu merupakan polutan yang paling berbahaya. Dalam ukuran di atas 50 mikron, debu masih kasatmata dan bisa disaring oleh bulu hidung. Tapi debu berukuran di bawah 10 mikron tak mungkin bisa dilihat kasatmata. Debu itu bisa seperti setan, gentayangan, dan langsung masuk ke paru-paru.
Nah, debu berukuran supercilik ini ternyata menjadi mesin perusak sistem pernapasan yang ganas. Debu mungil ini sebagian besar berasal dari asap kendaraan bermotor, asap pabrik, dan asap kebakaran. Menurut Isa, asap yang menyebar di Kalimantan dan Sumatra telah memicu reaksi pembuluh tenggorokan pada penderita asma dan bronkitis.
Hal itu dibenarkan pengelola Rumah Sakit Umum Daerah Pekanbaru. Data di rumah sakit itu menunjukkan, jumlah penderita ISPA meningkat dari 3.164 orang pada 1998 menjadi 4.360 orang pada tahun berikutnya. Akibatnya, belanja kesehatan makin meningkat.
Menurut Dollaris Riauaty dari Swisscontact Indonesia, polusi udara di Jakarta sebenarnya jauh lebih mengkhawatirkan dibandingkan dengan hasil yang dirilis Bapedal. Swisscontact, yang juga memantau polusi udara tahun lalu, melihat bahwa Jakarta sebenarnya sudah tak layak untuk dihuni manusia. Dari tujuh lokasi pengamatan di Jakarta dan Tangerang, pencemaran oleh partikulat menyebabkan kerugian yang cukup besar.
Konsentrasi debu di Jakarta rata-rata tercatat 57 sampai 254 mikrogram setiap meter kubik udara. Padahal, ambang batas yang bisa ditoleransi tubuh hanya 60 mikrogram tiap meter kubik udara. Yang menyumbangkan polusi segawat itu di Jakarta adalah sektor industri, lebih dari 50 persen. Sedangkan kendaraan bermotor menyumbang sebanyak 40 persen.
Dengan memakai standar Badan Kesehatan Dunia (WHO), anak berusia di bawah 15 tahun yang terserang bronkitis di Jakarta mencapai 606 anak pada 1999. Polusi udara ini juga menyebabkan kambuhnya asma pada 862 penderita. Kemudian, 28 orang berusia di atas 25 tahun terkena serangan baru asma. Secara ekonomis, Jakarta menanggung kerugian Rp 2,4 triliun atas biaya perawatan kesehatan dan menurunnya produktivitas pada 1999.
Bagaimana pemerintah mengatasinya? Memang tak ada formula yang cespleng. Namun, dengan mengurangi pembakaran yang tidak sempurna pada kendaraan bermotor dan pabrik, secara bertahap kerugian ini bisa dikurangi.
Karena itulah, sejak akhir Februari lalu, Menteri Negara Lingkungan Hidup Sonny Keraf mengusulkan kepada Kepala Kepolisian RI agar salah satu syarat perpanjangan surat tanda nomor kendaraan (STNK)) adalah tingkat emisi kendaraan harus aman bagi kesehatan dan lingkungan. Sonny juga mengusulkan peningkatan pemakaian bahan bakar gas (BBG) untuk kendaraan bermotor. Alasannya, karbon monoksida dari pembakaran gas hanya 7 persen di setiap gram per kilometernya. Coba bandingkan dengan bensin, yang hampir 96 persen. Sayang, pemakaian BBG belum populer di masyarakat, dan pemerintah pun tak mendorong ke arah itu.
Agung Rulianto, I G.G. Maha Adi, Jupernalis
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo