Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
SETELAH membaca TEMPO Edisi 22-28 Mei 2000, halaman 95, berjudul Terobosan Menganulir KUHAP, saya berkesimpulan bahwa sampai saat ini ternyata masalah peninjauan kembali (PK) masih menimbulkan berbagai pendapat yang kontroversial, terutama yang berkaitan dengan hak jaksa penuntut umum (PU) untuk mengajukan PK.
Padahal, kalau Pasal 263 ayat 1, 2, dan 3 KUHAP yang mengatur PK tersebut dibaca secara utuh, dalam arti bahwa ayat 1, 2, dan 3 itu dipahami secara berkaitan antara perumusan ayat yang satu dan yang lain, dengan mudah dapat disimpulkan bahwa PU sebagai pihak yang berhadapan dengan terpidana secara tersirat mempunyai hak yang sama dengan terpidana. Kalau tiga ayat dalam Pasal 263 KUHAP tersebut dibaca secara sepotong-sepotong dan perumusan setiap ayat dianggap sebagai perumusan yang berdiri sendiri, hak PU yang tersirat dalam ayat 3 Pasal 263 itu tidak akan dapat dipahami secara benar.
Untuk menemukan kepastian hukum berdasarkan keadilan, perumusan Pasal 263 KUHAP perlu dibaca dengan pikiran yang jernih agar maksudnya dapat dipahami secara utuh.
Setelah ayat dalam Pasal 263 dibaca secara cermat, dapat disimpulkan bahwa ayat-ayat itu mempunyai kaitan yang tak dapat dipisahkan. Dalam ayat 1, ditentukan secara tegas pihak siapa yang dapat/berhak mengajukan permintaan PK, yaitu terpidana (bukan tersangka/terdakwa) atau ahli warisnya. Sedangkan ayat 2 berisi perumusan mengenai dasar dan persyaratan yang dapat digunakan untuk mengajukan PK kepada Mahkamah Agung (MA). Selanjutnya, dari perumusan ayat 3, dapat diketahui bahwa ada pihak lain yang dapat/berhak mengajukan PK. Tapi ayat 3 ini tidak menyebutkan secara tersurat siapa sebenarnya pihak yang berhak mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang berisi diktum bahwa suatu perbuatan didakwakan telah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan. Dari perumusan ayat 3 ini, dapat dipahami secara gamblang bahwa yang berhak mengajukan PK sudah jelas bukan terpidana. Sebab, putusan pengadilan yang dimaksud dalam ayat 3 adalah putusan yang tidak berisi pemidanaan atau putusan yang tidak menjatuhkan pidana. Putusan (vonis) yang tidak menjatuhkan pidana sudah jelas tidak menghasilkan terpidana atau putusan tersebut tidak mengubah status terdakwa menjadi terpidana.
Kalau demikian, pihak siapa yang diberi hak oleh ayat 3 untuk mengajukan PK? Dari hasil pengamatan saya terhadap berbagai pendapat kontroversial dalam polemik yang diberitakan berbagai media massa, ternyata perumusan ayat 3 ini belum pernah dibahas. Sebab, berbagai pendapat dan pembahasan yang muncul selama ini selalu didasarkan pada ayat 1, yang secara tersurat menyebutkan hanya terpidana atau ahli warisnya yang berhak mengajukan PK. Padahal, menurut Pasal 263 ayat 3, ternyata yang diberi hak untuk mengajukan PK bukan hanya terpidana/ahli warisnya, tapi ada pihak lain. Dan karena dalam pengadilan pidana hanya terdapat dua pihak yang berhadapan, yaitu pihak penuntut umum dan pihak terpidana (dengan atau tanpa pembela/penasihat hukumnya), dapat disimpulkan bahwa pihak lain yang berhak mengajukan PK menurut ayat 3 tidak bisa tidak adalah pihak yang berhadapan dengan terpidana, yaitu jaksa penuntut umum. Jadi, kalau beberapa waktu yang lalu kita mengetahui ada PU yang mengajukan PK, antara lain dalam perkara Muchtar Pakpahan yang telah diputus MA tanggal 25 Oktober 1996 dan dalam perkara Ram V. Gulumal, upaya penuntut umum itu merupakan upaya yang sesuai dengan ketentuan hukum yang berlaku, yaitu Pasal 263 ayat 2 dan ayat 3 KUHAP. Saya tidak sependapat dengan pendapat yang menyatakan bahwa menurut KUHAP jaksa PU tidak berhak mengajukan PK.
Untuk memperjelas uraian tersebut, perlu saya tambahkan bahwa berdasarkan Pasal 263 ayat 1, pihak terpidana atau ahli warisnya hanya berhak mengajukan PK terhadap putusan pengadilan yang dalam diktumnya menjatuhkan pidana. Sedangkan terhadap putusan bebas (vrijspraak) atau lepas dari segala tuntutan hukum (ontslag van rechtsvervolging), terpidana/ahli warisnya tidak dapat mengajukan PK. Sebab, dalam dua macam putusan tersebut memang tidak ada terpidananya. Dan secara logis terdakwa yang tidak dijatuhi pidana tidak mungkin mengajukan PK dengan tujuan agar dijatuhi pidana. Adapun yang dimaksud dengan putusan atas perbuatan yang didakwakan telah dinyatakan terbukti tapi tidak diikuti oleh suatu pemidanaan sebagaimana dirumuskan dalam Pasal 263 ayat 3 adalah sama dan identik dengan putusan lepas dari segala tuntutan hukum (LDSTH) sebagaimana diatur dalam Pasal 191 ayat 2 KUHAP.
Dari Pasal 263 ayat 1, secara jelas dapat diketahui bahwa terpidana tidak berhak mengajukan PK terhadap putusan bebas/lepas dari segala tuntutan hukum. Dan dari perumusan Pasal 263 ayat 3, dapat disimpulkan bahwa terhadap putusan LDSTH dapat diajukan PK, tapi yang dapat mengajukan PK sudah jelas bukan terpidana karena putusan yang dimaksud dalam ayat 3 tersebut tidak mengubah status terdakwa menjadi terpidana, yang berarti terpidananya tidak ada. Jadi, kalau terpidananya tidak ada, lalu siapa pihak yang dapat mengajukan PK berdasarkan Pasal 263 ayat 3? Jawabannya: pihak lawan dari terdakwa/terpidana. Kalau begitu, siapa lawan dari terdakwa/terpidana dalam sidang pengadilan? Jawabannya: jaksa penuntut umum. Jadi, meskipun secara tersurat tidak disebutkan bahwa jaksa PU berhak mengajukan PK, dari perumusan tersebut dapat disimpulkan bahwa secara tersirat pihak yang berhak mengajukan PK menurut Pasal 263 ayat 3 adalah jaksa PU, sebagai satu-satunya pihak. Kalau kesimpulan ini dianggap tidak benar, itu berarti ketentuan yang diatur dalam Pasal 263 ayat 3 tersebut tidak dapat digunakan oleh pihak siapa pun sebagai dasar hukum untuk mengajukan PK atau menjadi pasal yang tidak bertuan alias pasal yang mubazir.
H.M.A. KUFFAL
Malang
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo