Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Di baluran rini mendesak banteng

Populasi kerbau liar di cagar alam baluran, ja-tim tak seimbang dengan banteng. 200 kerbau liar akan dijinakkan dan dibagikan kepada para petani. baru 6 ekor yang sudah diberikan. (ling)

4 Mei 1985 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

MEREKA bukan gerilyawan, meski berjalan mengendap-endap berlindung di balik pepohonan. Kelompok tiga sampai lima lelaki itu sedang mencari jalur jalan kerbau-kerbau liar di Cagar Alam Baluran, di ujung Jawa Timur. Bila sore hari tiba, sekitar pukul 16.30, ketika hari mulai gelap - maklum, di hutan - mereka lalu memanjat pohon yang sudah dipilih, bertengger diam menunggu korban. Dan bila kerbau-kerbau mulai lewat, melayanglah laso menjerat salah seekor kerbau. Bila kena, satu laso lagi akan memperkuat laso pertama. Kemudian laso yang terbuat dari tali kuat sepanjang 20-an meter itu cepat-cepat diikatkan di pohon. Kerbau yang terjerat, pertama-tama, tentu memberontak sekitar lima menit. Setelah agak reda tingkahnya, pawang, pimpinan kelompok ini, akan membebat mata kerbau dengan goni. Lalu, kerbau ditinggalkan, dibiarkan lapar satu samDai dua hari. untuk kemudian diseret ke tempat penjinakan. Dengan cara itulah, antara lain, enam kerbau liar itu - yang dua pekan lalu diserahkan kepada petani di Mojokerto, Situbondo, dan Banyuwangi oleh Presiden Soeharto - ditangkap. Cara lain digunakan juga, yaitu dengan menggali lubang-lubang perangkap. Proyek penjinakan kerbau liar Baluran Ini tampaknya memang mendesak. Soalnya, di cagar alam seluas 25.000 ha itu kini terjadi persaingan tak sehat. Yaitu antara kerbau liar dan banteng. Pada 1930-an, awal ditentukannya kawasan ini sebagai cagar alam, ada 75 banteng dan 150 kerbau, sedangkan kini populasi kedua mamalia itu meledak. Tapi, tak seimbang. Menurut penghitungan pihak Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam (PHPA) di Baluran tahun lalu, di situ sedikitnya ada 1.200 kerbau. Sedangkan banteng hanya ada sekitar 100 ekor. Padahal, kerbau bukan termasuk binatang langka. Sementara itu, jumlah banteng kini dikhawatirkan menipis. Persaingan tak seimbang itu bisa terjadi, harap maklum, karena sifat kedua jenis hewan bertanduk itu memang berbeda. Menurut Dr. Ir. Hadi S. Alikodra, ketua Jurusan Konservasi Sumber Daya Hutan IPB, kerbau adalah binatang bandel. Binatang ini bisa makan jenis rumput apa saja - bahkan rumput kering. Sedangkan banteng atau Bos Javanicus itu binatang sulit, tidak doyan rumput kering - ini tentu menjadikan hidup banteng menderita pada musim kemarau. Yang paling celaka, banteng tak sudi minum air keruh. Padahal, hidup di satu daerah dengan kerbau, yang nama kerennya Bubalus bubalis, bisa dipastikan susah mempertahankan kejernihan air. Di mana ada air menggenang, di situ kerbau akan berkubang. Dan banteng kemudian hanya bisa menonton saudara jauhnya itu menikmati, andai kata banteng boleh menilai, kejorokan penuh penyakit. Selain itu, diketahui bahwa banteng mulai berkembang biak pada usia lebih dari tiga tahun. Sedangkan kerbau tampaknya lebih cepat dewasa: berbiak pada umur sekitar dua tahun. Itu semua menyebabkan populasi kerbau jayh melewati banteng. Soal lain, populasi kerbau di Baluran kini sudah di luar daya dukung alamnya. Dengan sedikitnya 1.200 kerbau, 100 banteng, ditambah sejumlah rusa, 2.000 ha padang rumput yang terbentang di situ tak cukup menyediakan rumput. Untuk kerbau saja, yang membutuhkan rumput sekitar 75 kg per hari (ini adalah 10% dari berat tubuhnya), idealnya Baluran hanya dihuni 300-an kerbau. Padang rumput Baluran kira-kira hanya menghasilkan 4.000 kg rumput setiap hektar per tahun. Maka, demi keseimbangan lingkungan, terpaksa pihak mayoritas, yaitu kerbau, dikalahkan. Tapi mereka tetap terhormat, yaitu dijadikan proyek bantuan presiden, dibagikan kepada petani untuk membajak sawah. Bukannya dibantai. Kini, di Baluran, Siswanto, 23, mendapat tugas menanggalkan keliaran kerbau Baluran. Yang pertama-tama dilakukannya ialah membersihkan kerbau-kerbau itu - dengan selang air, mirip mencuci mobil. Mungkin agar bau lumpur liar dunia lama si kerbau cepat dilupakan. Sesudah itu, membiarkan kerbau kelaparan. Setelah saatnya diberi makan, kerbau akan sering diberi minum air garam - biar cepat jinak dan doyan makan. "Dan resep mujarab lainnya, tanggalkan cawat kita, usapkan ke hidung kerbau," tutur Siswanto. "Tanggung, kerbau akan cepat akrab dengan kita." Ini bukan takhayul. Tapi kerbau memang mengenal manusia lewat baunya, bukan lewat tampangnya. Dari mana lulusan SMA ini memperoleh ilmunya, tak diceritakannya. Adapun waktu yang dibutuhkan agar kerbau benar-benar jinak tak ada ketentuannya. Menurut Alikodra, dosen IPB itu, proses penjinakan kerbau minimal butuh waktu satu minggu. Tahun imi, proyek penjinakan kerbau Baluran ditargetkan 200 ekor. Yang terlaksana baru enam kerbau, yang sudah diserahkan kepada petani dua pekan lalu. Dan pekan lalu, ada empat ekor yang ditangani Siswanto di PHPA Baluran. Biaya yang disediakan untuk proyek ini sekitar Rp 53 juta, kata Koeswava, 27, kepala Cagar Alam Baluran. Untuk diketahui, tarif para penjerat kerbau liar Rp 1.500 setiap hari per orang. Jangan dikira tiap hari bisa menangkap seekor. Bisa saja laso putus, atau korban bisa melepaskan tali dengan tanduknya yang melengkung ke belakang itu. Kerbau ternyata tak sebodoh seperti peribahasa buatan manusia. Tarif kedua, dengan cara borongan, menyerahkan seekor dapat ganti Rp 50.000. Yang jadi pertanyaan kini: Dari mana kerbau-kerbau itu dulunya? Menurut Alikodra, ya, dari kerbau jinak penduduk yang kemudian masuk hutan. Bila di dalam hutan kerbau-kerbau itu menemukan padang rumput dan kubangan, mereka pun jadi kerasan lalu berbiak. Karena lama tak ketemu manusia, jadi liar. Kerbau jenis di Baluran disebut kerbau lumpur. Cirinya, tanduknya tumbuh menyamping ke belakang. Yang lain, jenis kerbau sungai, yang tanduknya tumbuh melengkung ke bawah, baru kemudian ke atas. Kedua jenis ini tersebar di kawasan Asia dan Australia. Dan di Australia, kerbau liar populer dikenal dengan nama rini - agaknya merupakan analogi dari nama rinho untuk badak. Yang belum jelas yakni bagaimana cara membagi kerbau Baluran yang sudah dijinakkan nanti: petani yang bagaimana yang berhak memperolehnya. Yang jelas, petani yang beruntung mendapatkannya akan terpaksa membuat bajak baru. Soalnya, ukuran leher kerbau liar ternyata lebih besar ketimbang leher kerbau peliharaan. Bambang Bujono Laporam Saiff Bakham (Surabaya)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus