KEDATANGAN rombongan resmi RRC di bawah pimpinan Menlu Wu Xueqian, untuk turut memperingati KAA, memang membawa spekulasi besar: Terutama menyangkut hubungan diplomatik yang sampai hari ini masih berstatus beku. Banyak yang menduga, dan mengharap, kedatangan Wu merupakan suatu langkah penting ke arah pencairan - walaupun Menlu Mochtar pagi-pagi sudah menyatakan bahwa kehadiran Wu tak berarti makin mendekatnya normalisasi. Dua kejadian penting pertengahan 1960-an menjadi penyebab utama hubungan Jakarta-Beijing menjadi seperti sekarang ini. Peristiwa G-30-S di Indonesia, langsung atau tidak, banyak melibatkan RRC. Jauh-jauh hari sebelum terjadi, RRC dengan sepenuhnya menyokong PKI dalam usahanya ke arah kekuasaan. Dukungan Cina terhadap pemerintah Orde Lama dalam mengganyang Malaysia (1963-1966) lebih banyak didasari oleh keinginannya melicinkan langkah bagi PKI dalam mengalahkan lawan-lawan politiknya, terutama Angkatan Darat - di samping juga buat merebut simpati PKI dalam pertikaian ideologi RRC dengan Uni Soviet. Pengakuan para terdakwa dalam sidang-sidang Mahmilub menunjukkan, tim dokter RRC-lah yang membocorkan kegawatan penyakit Almarhum Sukarno kepada Aidit, yang kemudian mendorong para perencana pemberontakan bertindak. Sampai sekarang, 20 tahun setelah G-30-S, RRC masih juga menyokong sisa-sisa partai terlarang ltu dengan propaganda dan perlindungan politik atas para pemimpinnya yang masih hidup. Kejadian lain adalah Revolusi Kebudayaan di RRC (1966-1969). Meski merupakan gerakan domestik, peristiwa itu memberi warna ultraradikal pada politik luar negeri. Dan radikalisme menjadi-jadi dalam tiga kuartal pertama 1967. Saat itu para pemimpin tertinggi RRC, termasuk Perdana Menteri Chou En Lai dan Menteri Chen Y, tidak menguasai keadaan. Terjadilah tindakah-tindakan kekerasan terhadap para diplomat asing. Pengawal Merah menyerbu kedubes Indonesla dan memukuli diplomat-diplomat Indonesia, sebagai tindak balas atas penyerbuan pemuda-mahasiswa Indonesia ke perwakilan diplomatik RRC. Karena itulah, sejak 1967 hubungan diplomatik kedua negara tidak dikukuhkan, tapi dalam status beku. Sementara itu, ada tambahan ganjalan: dukungan RRC kepada partai-partai komunis pembangkang di Asia Tenggara, dan usahanya menarik golongan etnis Tionghoa ke pihaknya. Atas dasar itulah Indonesia mengajukan harga tinggi sebagai syarat pembukaan kembali hubungan normal. Pertama, penghentian hubungan RRC dengan semua partai komunis di Asia Tenggara, termasuk PKI. Kedua, pemutusan hubungan dengan golongan etnis Tionghoa di Indonesia. Sangat sukar bagi RRC untuk secara resmi memutuskan hubungan dengan partai-partai komunis lokal. Bukan saja itu menyalahi asas internasionalisme pergerakan komunis, tapi menyangkut pula rivalitas dengan Uni Sovlet Dalam pertentangan itu Cina selalu mengaku sebagai markas partal komunis yang paling murni. Dalam hal itu Cina disokong oleh kebanyakan partai komunis Asia Tenggara. Perkembangan situasi di Asia Tenggara, dan dalam negerinya sendiri akhir-akhir ini, menyebabkan RRC harus bertindak lebih rasional. Sepak terjang Vietnam, yang diberinya cap "Agen Soviet" atau "Kuba Asia Tenggara", memaksanya mengambil pilihan kebijaksanaan yang lebih realistis. Karena itu, sejak menjelang tahun 80-an, terutama setelah Vietnam menduduki Kamboja, untuk menetralisasikan negara-negara nonkomunis Asia Tenggara, dia lebih merendahkan intensitas propagandanya dalam partai-partai lokal. Di pihak lain, meningkatnya kegiatan gerilyawan komunis di beberapa negara kawasan itu, menjelang akhir 1970-an, boleh jadi untuk memberi kesan bahwa partai-partai itu mempunyai jalan sendiri - bebas dari pengaruh Beijing. Contoh paling nyata adalah meningkatnya kegiatan Partai Komunis Malaysia setelah normalisasi hubungan Kuala Lumpur-Beijing (1974). Tapi, lantaran tuduhan bahwa partai-partai diatur Beijing sudah sedemikian melembaga, kecurigaan terhadap RRC belum bisa dihilangkan. Berkuasanya sayap modernis-pragmatis yang lebih berorientasi ke pembangunan ekonomi dan modernisasi telah mendorong ditanggalkannya kebijaksanaan luar negeri avonturir. Jadi, dalam situasi Asia Tenggara dewasa ini, Beijing menghadapi dilema antara hubungan antarpartai dan hubungan antar pemerintah. Semua negara umumnya menertawakan pemerintahan Beijing dalam posisinya antara kedua prinsip itu. Barangkali Beijing berharap agar hubungan "antarpartai" bisa terlupakan karena hubungan antarpemerintah yang sekarang sedang berkembang. Di Indonesia, pengalaman dengan G-30-S tidak bisa melenyapkan kesan RRC sebagai biang subversi begitu saja. Masalah etnis Tionghoa sebenarnya tidak lagi merupakan persoalan pokok dalam politik luar negeri RRC. Sudah sejak 1955 dia memisahkan Huaqiao (warga RRC yang tinggal di luar negeri) dengan w?rga negara asing keturunan Tionghoa. Tapi, lagi-lagi karena Revolusi Kebudayaan, ditiupkan hasutan untuk melawan pemerintah-pemerintah lokal yang dicap "reaksioner". Itu telah menyebabkan pecahnya kerusuhan-kerusuhan etnis di kawasan ini. Walaupun dalam masalah etnis Tionghoa penguasa sekarang telah kembali ke garis 1955, kecurigaan masih tetap kuat. Trauma G-30-S, dan kecurigaan kuat di atas, membawa kepada perhitungan strategis yang melihat bahwa RRC merupakan ancaman jangka pendek terhadap Indonesia dan Asia Tenggara umumnya. Pendek kata, dalam menghadapi kemungkinan normalisasi dan pencairan, bagi Indonesia faktor sekuriti memainkan peranan penentu. Atas dasar itulah, untuk masa-masa ini sangat sukar mengatakan bahwa normalisasi sudah di ambang pintu - walaupun paling tidak dalam waktu 5-10 tahun mendatang Indonesia sudah harus memperhitungkan normalisasi. Faktor pendorongnya antara lain kepentingan ekonomi Indonesia di Hong Kong yang cukup besar. Kurang 12 tahun dari sekarang, Hong Kong akan berada di bawah kedaulatan RRC. Kedatangan Wu, kemungkinan dibukanya dagang langsung, dan diizinkannya kapal-kapal Cina yang tidak mengibarkan bendera RRC masuk Indonesia, merupakan kemajuan positif. Walau itu tak berarti normalisasi sudah dekat, paling tidak memberi isyarat bahwa kedua pihak telah maju selangkah lagi ke arah pendekatan yang berguna.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini