TAHUN lalu, keuntungan lebih banyak kami peroleh dari transaksi mata uang dibandingkan dengan hasil dari menjual produk," kata seorang pemimpin industri mobil di Inggris. Ini memang bukan hal baru lagi sekarang. Itulah sebabnya mengapa profesi keuangan menjadi sangat laris. Bismis sepi, dan karenanya produktivitas merosot. Dengan sendirinya, dana harus disalurkan ke tempat lain agar dapat tetap produktif. Dan ini ternyata menciptakan lingkaran yang membingungkan. Produktivitas adalah jumlah produk yang dihasilkan per unit modal dan tenaga kerja. Kalau pull dari pasar mengendur, produksi harus dikurangi, maka modal dan tenaga kerja pun akan menganggur. Pabrik Yamaha di Indonesia baru-baru ini kerepotan karena harus merumahkan lebih dari seribu karyawannya. Ini disebabkan oleh menumpuknya produk yang tak terserap oleh pasar. Pengurangan jumlah karyawan memang paling sulit karena menyangkut harkat manusia. Sebaliknya, pengurangan modal lebih mudah diatur. Uang memang selalu luwes dan mengikuti teori air: selalu mengalir ke sebuah kolam yang besar. "Benar, sekarang memang sedang banyak uang parkir," kata I Nyoman Moena, ketua Perbanas yang juga direktur Overseas Express Bank. Ini bukan tentang uang parkir mobil yang resmi-tak-resmi telah jadi Rp 200 sekali parkir di Jakarta. "Karena ekonomi lesu dan produksi hanya mengakibatkan uang mati, maka dana yang ada diparkirkan dulu. Ke mana? Ya, ke bank sinilah," kata Moena. Moena menunjuk kenyataan bahwa saat ini bank-bank swasta nasional memang sangat berhasil memobilisasikan dana masyarakat. Tetapi, dari struktur dana yang dikumpulkan itu, ternyata keranjang yang paling besar adalah keranjang deposito berjangka. Dan ini bukannya tanpa korban. Saah satu korbannya adalah uang giral yang ikut mengempis. Setiap kah terkumpul uang giro yang cukup banyak, pemiliknya lalu menarik dan memindahkannya ke keranjang deposito, agar menghasilkan bunga. Lesunya ekonomi memang ikut melesukan lalu hntas giral. "Tetapi waktu deposito juga makin pendek," tambah Moena. Kebanyakan kini orang menaruh uangnya untuk deposito berjangka enam bulan. Ini adalah akibat begitu banyaknya unsur ketidakpastian sehingga para pemllik modal tidak mampu meramal atau memproyeksi di atas enam bulan. Kemampuan memproyeksikan masa depan ternyata telah menjadi semakin pendek. Ketidakpastian itu terutama adalah karena nilai mata uang itu sendiri, dan juga karena prospek ekonomi yang tidak jelas perkembangannya. Kalau tiba-tiba ekonomi menjadi cerah kembali, maka dana itu bisa segera ditarik untuk dipakai lagi dalam pipa produksi. Ketika hal itu terjadi, maka dalam waktu singkat cadangan dana bank akan segera mengempis. Dan situasi ini pada akhirnya akan ikut menyusun biaya-tinggi karena bank harus menyediakan dana yang tidak murah lagi. Situasi itu cukup rawan, tapi masih lebih menguntungkan selama dana itu masih diparkir di bumi pertiwi. Tetapi bukannya tak mungkin bahwa uang parkir itu pun sudah mulai mencari tempat parkir yang lebih enak di luar negen. Entah melalui saluran mana, barubaru ini saya mendapat tawaran untuk melanggani sebuah informasi yang berjudul Currency Confidential. Terbit tiap minggu, informasi ini akan memberikan advis profesional tentang bagaimana cara "memarkir" uang dengan memanfaatkan gerakan suku bunga dan fluktuasi nilai mata uang. Untung, fasilitas semacam ini belum tersedia luas dalam bentuk database yang lebih cepat menyediakan informasi itu bagi para eksekutif. Kalau ada, wah, mungkin para eksekutif kita akan lebih sibuk mencari tempat parkir bagi dananya daripada pusing-pusing mengurus produksi yang belum tentu habis dlserap konsumen. Tetapi jangan dulu keburu berbelanja dolar. Dengar dulu sikap seorang bankir nasional ini. "Ketika September Kelabu terjadi tahun lalu, kami kebetulan sedang dalam posisi cukup dana," kata Abdulgani, direktur Bank Duta. "Memang secara short term menguntungkan untuk mendolarkan dana yang tersedia, tetapi long term kita rugi karena tingkat bunga deposito akan terus tinggi. Karena itu, kami tidak melakukannya, dengan maksud agar tidak mengganggu kestabilan moneter." Faktor dalam diri seorang eksekutif, seperti kata Abdulgani, pada akhirnya memang akan lebih menentukan. Bondan Winarno
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini