Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
…Janganlah menangis Indonesia Janganlah bersedih Indonesia Kami berdiri membelamu, Pertiwi…
PANGGUNG itu tiba-tiba senyap dan gelap. Tak ada suara musik. Yang tersisa adalah suara bariton Harry Roesli menggemakan lagunya, Jangan Menangis Indonesia. Lalu sorot lampu bersilangan dan bendera merah-putih raksasa melambai di latar panggung.
Pertunjukan pun ditutup. Dari atas panggung, anak kedua Harry Roesli, La Yala Krisna Patria Roesli, bersama puluhan pendukungnya berdiri dengan tangan terkepal. Auditorium Hall, Sasana Budaya Ganesha, Institut Teknologi Bandung, Jumat malam dua pekan lalu, riuh dengan tepuk tangan. Penonton berdiri, standing ovation.
Menyajikan rekaman asli ayahnya dalam Jangan Menangis Indonesia sebagai epilog pertunjukan, begitulah cara Yala dan Rumah Musik Harry Roesli menutup pergelaran Titik Api malam itu. Sengaja dipilih rekaman untuk memberikan semacam stabilo atas pesan Harry dalam kritik dan karyanya yang masih relevan dengan kondisi saat ini. ”Juga karena tak mudah menyanyikan lagu Jangan Menangis Indonesia seperti Bapak,” kata Yala.
Tembang ini digubah Harry pada 1970-an untuk mewakili perasaannya tentang peristiwa politik saat itu. Harry dan kawan-kawannya—saat masih kuliah di Institut Teknologi Bandung—kala itu harus masuk bui gara-gara peristiwa Malari 1974. Lagu itu merupakan salah satu lagu yang dikumpulkan Harry dalam album Lima Tahun Oposisi (LTO) dan direkam Musica Studio, 1978.
Meski berumur lebih dari 30 tahun, pesan dalam lirik itu sungguh melampaui waktu dan peristiwa. Harry menyanyikannya 20 tahun kemudian di berbagai acara di Bandung, ketika negeri ini diamuk kerusuhan pada Mei 1998. Lagu itu bagaikan menu wajib di hampir semua radio dan televisi di Jakarta, saat Ibu Kota dirundung petaka kerusuhan dan penembakan mahasiswa. Dan lagu itu pula—sesuai dengan permintaan sejumlah kawan Harry—yang diperdengarkan sebagai pengiring dikebumikannya jasad Harry di Ciomas, Bogor, 12 Desember 2004.
Aat Soeratin, sahabat Harry dan Ketua Yayasan Rumah Musik Harry Roesli, menyebut lagu itu seperti Harry. Semangat musisi bernama lengkap Djauhar Zaharsyah Fachrudin Roesli itu untuk terus berkarya melampaui maut. Hampir semua karyanya menceritakan cinta, sosial, dan politik, juga tentang hidup dalam beragam dimensi. ”Semangat itulah yang kami tampilkan dalam pergelaran ini,” kata Aat.
Mengambil judul dari album pertama Harry yang dirilis pada 1976, Titik Api, pertunjukan itu merupakan kolaborasi anak-anak jalanan dengan peserta kursus. Mereka adalah asuhan Rumah Musik Harry Roesli. Sekuel pertama Titik Api sebelumnya digelar di Teater Salihara, Jakarta Selatan, 4 Maret—konser yang menurut Aat hanya pemanasan sebelum pentas di Bandung, rumah mereka sendiri.
Boleh jadi karena intinya adalah menyampaikan semangat Harry sebagai pemusik dan pekerja sosial, pertunjukan dibuka dengan wasiat Harry: ”Jangan matikan lampu di meja kerja saya.” Simbol semangat ”jangan berhenti berkarya” diwujudkan di panggung berupa satu meja kerja dengan pengeras suara dan lampu duduk yang terus menyala. Dari pengeras suara itu, Harry berkata-kata dalam gelap: ”Malam ini saya tidak bisa tidur. Saya memikirkan tentang mati. Saya berpikir apakah mati itu ada, karena saat ini saya toh sudah mati. Mati dengan sepi maksudnya.”
Monolog pendek itu mengantar alunan Oh Tuhan Bawalah Aku Pulang, tembang dalam album Titik Api. Paduan suara Universitas Padjadjaran dan gamelan dari Universitas Pendidikan Indonesia, juga pengamen asuhan Harry, memberikan efek megah pada lagu itu. Berselang-seling dengan narasi dan rekaman nyanyian asli Harry. Ini satu pembuka yang memikat. Yala bertindak sebagai konduktor.
Setelah itu, Candil, eks vokalis Seurieus Band, tampil dengan Kerak Bumi, gubahan Harry pada 1975 yang dijadikan sebagai intro opera rock Ken Arok. Menyusul kemudian Irfan Fahri Lazuardy alias Ipang, penyanyi grup BIP. Dia melantunkan Aku Ken Arok dengan memboyong motor gede menderu di tengah panggung.
Sebagai jeda, tampil musik perkusi yang merupakan eksplorasi bebunyian bangku kayu dan tetabuhan lain, petikan repertoar Musik Sikat Gigi (1982). Suguhan berlanjut dengan penggalan suara Harry: ”Dina hate nu daria/Da-mi-na/Dipibanda ku balarea/Ngan Hajakal Nyatana/Jadi pacengkadan.” (Dalam ketulusan hati, Damina, dimiliki semua orang, namun sayangnya kemudian dijadikan perbantahan.) Penggalan lirik ini mengawali komposisi diatonik dan pentatonik dalam Sekar Jepun.
Selepas itu, ditampilkan hasil racikan Harry untuk Sekuntum Bunga. Lagu yang liriknya ditulis N. Riantiarno ini digunakan untuk pementasan Opera Julini, 1989, garapan Teater Koma. Malam itu, Netta Kusumah Dewi menyanyikannya dengan cemerlang. Kemegahan lagu itu semakin terasa ketika Dira J. Soegandi melengkapinya dengan Sejuk dan Teduh. Sayu, puitis, kuat, dan panjang, hingga getarannya terasa di dada.
Ada 14 lagu yang disuguhkan. Lagu-lagu itu, kata Yala, diciptakan ayahnya 20-30 tahun lalu. Semuanya memiliki tingkat kesulitan tinggi untuk dimainkan. Toh, malam itu, hampir semua musisi tampil habis-habisan. Riuh penonton dengan tepukan panjang beberapa kali muncul. Pada nomor Ad Libitum, yang seperti rapalan mantra, juga lagu Malaria dan Orang Basah, misalnya, terasa benar ada olah vokal dan kekompakan yang tak biasa.
Kemampuan mereka terdengar selaras saat meliuk-liuk naik-turun di sela permainan bas, gitar, drum, perkusi, serta gamelan dan kendang. Hal yang sama terasa saat sebelas pemain perkusi membawakan Bedug Jepang dengan ritmis dan berdentum-dentum jenaka. Nomor ini ditampilkan murid-murid Harry sebagai semacam ”goro-goro” dalam setiap pergelaran Harry Roesli.
Walau hanya di gedung berkapasitas 3.000 orang dan tanpa semburan cahaya laser, vibrasi pertunjukan dua jam itu boleh dibandingkan dengan pergelaran Kantata Takwa di Senayan, Jakarta, pada 1997. Harry boleh jadi tersenyum dari atas sana. Murid-muridnya masih punya semangat untuk berkarya, dengan gayanya sendiri. Padahal, seperti kata Yala, tampil di kota sendiri membuat mereka lebih gugup. Selain nama besar Harry, ada banyak tokoh yang bersentuhan dengan musisi senior ini.
Tak hanya itu, sebenarnya. Pertunjukan semula akan digelar 29 Maret di Bumi Sangkuriang, Bandung. Tapi rencana ini sempat terhambat, dan hampir dibatalkan, akibat seretnya perizinan dari aparat karena ada kekhawatiran mengenai kemungkinan konsentrasi massa menjelang pemilu.
Pementasan malam itu menjadi kenangan indah bagi murid, musisi, sahabat, warga Bandung, juga penggemar Harry. Trie Utami, misalnya, mengenang guru vokalnya itu sebagai musisi penuh totalitas tanpa batas. Dia tak terlalu pusing memikirkan duit, bahkan usia atau maut sekalipun. ”Duit itu nomor enam. Satu sampai lima itu Pancasila,” ujarnya.
Sebelum tutup usia, Harry, yang beristrikan Kania Perdani Handiman, aktif mengajar di jurusan seni musik di sejumlah perguruan tinggi di Bandung, misalnya Universitas Pendidikan Indonesia. Doktor musik dari Rotterdam Conservatorium, Belanda, ini juga menggembleng anak gelandangan pengamen dan mencampurnya dengan murid kursusnya yang kaya demi mendapatkan pelajaran bertahan hidup.
Hasilnya, di tangan La Yala Krisna Patria Roesli, anak kedua dan penerusnya, Rumah Musik Harry Roesli dikembangkan menjadi tiga bagian. Setelah rumah musik yang lebih dulu aktif dengan laboratorium musik, rumah kreatif dibuka untuk mewadahi anak-anak jalanan belajar memasak. Menyusul kemudian rumah budaya, tempat berkumpulnya komunitas musik dan industri kreatif lainnya.
Pertunjukan malam itu, kata Yala, merupakan hadiah murid-muridnya untuk Harry, sekaligus menjawab pertanyaan banyak pihak tentang warisan Harry: Rumah Musik dan Depot Kreasi Seni Bandung. Sepeninggal sang musisi, masih ada titik api.
Widiarsi Agustina, Anwar Siswadi (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo