KRONCONG pun perlu bibit. Festivalnya yang pertama, untuk
seluruh Indonesia, rupanya untuk itu. Berlangsung di Sasana
Langen Budaya, Taman Mini Indonesia Indah, 28 s/d 30 Nopember
lalu, hasilnya menggembirakan para tukang kroncong. Maksud hati
Direktorat Pengembangan Kesenian Departemen P&K untuk
menggalakkan darah kroncong yang beku, plus mencari bibit,
berhasil.
Pentolan kroncong di seantero Nusantara diikut-sertakan,
mewakili daerah masing-masing. Selain Irian Jaya dan Timor
Timur, setiap daerah mengirimkan Satu rombongan yang terdiri
dari dua penyanyi, dua ofisial dan 7 pemain. Mereka itu dipilih
berdasarkan kompetisi. Tapi ada juga daerah yang asal nunjuk
saja, karena barangkali tak punya waktu untuk mengadakan
seleksi. Jakarta termasuk yang main nunjuk, diwakili oleh
"Bintang Jakarta" pimpinan Budiman. Tak tersangka ia keluar
sebagai juara pertama.
Jawa Barat hanya mampu di tempat kedua, sedangkan Yogyakarta
tempat ketiga. Sebagai juara harapan berturut-turut adalah Jawa
Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kepada para juara
ini diterimakan hadiah-hadiah, di antaranya piala bergilir. Dan
setelah memilih lagu wajib seperti Kroncong Moritsku,
Kesetiaan, Tanam Padi, Dendang Laguku, Rayuan Kelana,
penyanyi dipilih. Biduan Toto Salmon (Jakarta) dan Sri Hartati
(Yogya) keluar sebagai biduan terbaik.
Budiman, pimpinan "Bintang Jakarta" yang begitu hebat aksinya
kalau lagi menggesek biola, tampak puas dengan putusan juri.
"Tiap daerah memang mempunyai gaya, tetapi yang menonjol hanya
Jakarta dan Solo," katanya dengan jumawa. Ia melihat tujuan
festival telah berhasil karena festival telah memancing
pembaruan di setiap kubu Orkes Kroncong. Apalagi ia melihat
banyak bibit baru yang muda-muda kelihatan dalam kelompok
peserta daerah.
Kritik Budiman juga ada. Terutama ditujukan kepada aransemen dan
penampilan para penyanyi daerah di panggung. Ia melihat banyak
penyanyi muda yang dibayangi ketakutan serta kungkungan
sopan-santun mati waktu menyanyi. Misalnya peserta pria dari
Yogya, dianggapnya memiliki potensi suara yang baik, tetapi
karena terikat dan takut menyalahi peraturan, penampilannya jadi
ambyar. Dalam hal penyanyi Toto Salmon sang juara dipujinya
lebih unggul dari peserta lain. Adapun Sri Hartati yang
dinobatkan juga malam itu, mengejutkannya karena Sri sebelumnya
dikenal sebagai penyanyi hiburan.
"Bintang Jakarta" pimpinan Budiman, termasuk Orkes Kroncong yang
berpikiran maju. Ia berangkat dari kejenuhan orang terhadap
irama kroncong yang loyo dan malas-malasan. "Kesan itu harus
didobrak. Kroncong bukanlah musik yang tanpa semangat," kata
Budiman. Lalu ia mengadakan berbagai penyegaran yang dianggap
pembaruan. "Saya tidak mau memakai cara-cara yang lazim,"
ujarnya kepada TEMPO. "Saya coba dengan gerakan baru. Intronya
saya pakai kroncong atau gitar, senggakan saya sisipi bunyi
instrumen lain, tidak hanya biola dan flute."
Tetap Segar
Budiman mengingatkan bahwa pembaruan kroncong sebenarnya sudah
dimulai oleh "Orkes Tetap Segar" dengan "kroncong beat'-nya di
tahun 60-an. Pada waktu itu terdengarlah jenis musik kroncong
yang lebih lancar, manis dan segar, tidak terlalu meliuk-liuk
sebagaimana sebelumnya. Pada masa itu buaya-buaya kroncong yang
ingin mempertahankan kroncong yang konvensionil berkeberatan.
Tetapi lama-lama akhirnya "kroncong beat" diterima juga. "Lha
kalau kroncong itu pakemnya mesti begini, mesti begitu, pemain
kroncong yang berusaha melanggengkan kroncong jadi
ditakut-takuti oleh publiknya," kata Budiman.
Budiman mengenal kroncong sejak tahun 1952 di Semarang waktu ia
masih berusia 14 tahun. Kemudian ia pindah ke Jakarta (1965)
bergabung dengan Orkes Simphoni Jakarta. Tahun 1969 keluar dari
OJS dan khusus bekerja untuk "Bintang Jakarta". Ia membuat
banyak rekaman. Tak kurang dari 30 piringan hitam (LP) yang
dihasilkannya sampai sekarang. "Tapi terus terang kalau cuma
dari kroncong dapur gua nggak ngebul," ujarnya. Karena itu ia
sering ikut mengisi rekaman musik pop. Mungkin dari sinilah
muncul bias pembaruan kroncongnya.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini