Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Seni

Menggalakkan para buaya

Festival keroncong nasional i berhasil menggalakkan musik keroncong, dan memunculkan bibit baru. jakarta, keluar sebagai pemenang. peserta dari daerah belum mampu berbuat banyak. (ms)

16 Desember 1978 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KRONCONG pun perlu bibit. Festivalnya yang pertama, untuk seluruh Indonesia, rupanya untuk itu. Berlangsung di Sasana Langen Budaya, Taman Mini Indonesia Indah, 28 s/d 30 Nopember lalu, hasilnya menggembirakan para tukang kroncong. Maksud hati Direktorat Pengembangan Kesenian Departemen P&K untuk menggalakkan darah kroncong yang beku, plus mencari bibit, berhasil. Pentolan kroncong di seantero Nusantara diikut-sertakan, mewakili daerah masing-masing. Selain Irian Jaya dan Timor Timur, setiap daerah mengirimkan Satu rombongan yang terdiri dari dua penyanyi, dua ofisial dan 7 pemain. Mereka itu dipilih berdasarkan kompetisi. Tapi ada juga daerah yang asal nunjuk saja, karena barangkali tak punya waktu untuk mengadakan seleksi. Jakarta termasuk yang main nunjuk, diwakili oleh "Bintang Jakarta" pimpinan Budiman. Tak tersangka ia keluar sebagai juara pertama. Jawa Barat hanya mampu di tempat kedua, sedangkan Yogyakarta tempat ketiga. Sebagai juara harapan berturut-turut adalah Jawa Timur, Sumatera Utara dan Sulawesi Selatan. Kepada para juara ini diterimakan hadiah-hadiah, di antaranya piala bergilir. Dan setelah memilih lagu wajib seperti Kroncong Moritsku, Kesetiaan, Tanam Padi, Dendang Laguku, Rayuan Kelana, penyanyi dipilih. Biduan Toto Salmon (Jakarta) dan Sri Hartati (Yogya) keluar sebagai biduan terbaik. Budiman, pimpinan "Bintang Jakarta" yang begitu hebat aksinya kalau lagi menggesek biola, tampak puas dengan putusan juri. "Tiap daerah memang mempunyai gaya, tetapi yang menonjol hanya Jakarta dan Solo," katanya dengan jumawa. Ia melihat tujuan festival telah berhasil karena festival telah memancing pembaruan di setiap kubu Orkes Kroncong. Apalagi ia melihat banyak bibit baru yang muda-muda kelihatan dalam kelompok peserta daerah. Kritik Budiman juga ada. Terutama ditujukan kepada aransemen dan penampilan para penyanyi daerah di panggung. Ia melihat banyak penyanyi muda yang dibayangi ketakutan serta kungkungan sopan-santun mati waktu menyanyi. Misalnya peserta pria dari Yogya, dianggapnya memiliki potensi suara yang baik, tetapi karena terikat dan takut menyalahi peraturan, penampilannya jadi ambyar. Dalam hal penyanyi Toto Salmon sang juara dipujinya lebih unggul dari peserta lain. Adapun Sri Hartati yang dinobatkan juga malam itu, mengejutkannya karena Sri sebelumnya dikenal sebagai penyanyi hiburan. "Bintang Jakarta" pimpinan Budiman, termasuk Orkes Kroncong yang berpikiran maju. Ia berangkat dari kejenuhan orang terhadap irama kroncong yang loyo dan malas-malasan. "Kesan itu harus didobrak. Kroncong bukanlah musik yang tanpa semangat," kata Budiman. Lalu ia mengadakan berbagai penyegaran yang dianggap pembaruan. "Saya tidak mau memakai cara-cara yang lazim," ujarnya kepada TEMPO. "Saya coba dengan gerakan baru. Intronya saya pakai kroncong atau gitar, senggakan saya sisipi bunyi instrumen lain, tidak hanya biola dan flute." Tetap Segar Budiman mengingatkan bahwa pembaruan kroncong sebenarnya sudah dimulai oleh "Orkes Tetap Segar" dengan "kroncong beat'-nya di tahun 60-an. Pada waktu itu terdengarlah jenis musik kroncong yang lebih lancar, manis dan segar, tidak terlalu meliuk-liuk sebagaimana sebelumnya. Pada masa itu buaya-buaya kroncong yang ingin mempertahankan kroncong yang konvensionil berkeberatan. Tetapi lama-lama akhirnya "kroncong beat" diterima juga. "Lha kalau kroncong itu pakemnya mesti begini, mesti begitu, pemain kroncong yang berusaha melanggengkan kroncong jadi ditakut-takuti oleh publiknya," kata Budiman. Budiman mengenal kroncong sejak tahun 1952 di Semarang waktu ia masih berusia 14 tahun. Kemudian ia pindah ke Jakarta (1965) bergabung dengan Orkes Simphoni Jakarta. Tahun 1969 keluar dari OJS dan khusus bekerja untuk "Bintang Jakarta". Ia membuat banyak rekaman. Tak kurang dari 30 piringan hitam (LP) yang dihasilkannya sampai sekarang. "Tapi terus terang kalau cuma dari kroncong dapur gua nggak ngebul," ujarnya. Karena itu ia sering ikut mengisi rekaman musik pop. Mungkin dari sinilah muncul bias pembaruan kroncongnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus