Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Elang Bebas di Alam Luas

Hampir punah di Pulau Jawa. Elang bondol siap beraksi kembali.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Hus..., hus..., husya...,” Asman Adi Purwanto mencoba meng-usir setiap elang bondol (Haliastur indus) yang terbang merubung men-dekati ikan yang ada di genggaman tangannya. Bukan hanya satu atau dua ekor, delapan ekor elang itu tampak penuh nafsu ketika Asman sedang menaruh sejumlah ikan ke dalam karamba di dalam sangkar berukuran 10 x 9 x 6 meter. Tapi itu dulu.

Senin ini adalah sepuluh bulan kemudian. Dan Asman agaknya kini bisa melihat hasilnya. Elang-elang itu telah bersentuhan kembali dengan kebebasan-nya. Setelah menjalani program sejak Septem-ber tahun lalu, -me-reka di-nya-takan sudah siap menempati habitat -ala-minya di antara hutan bakau dan padang lamun—tempat hi-dup ikan-ikan --ke--cil—di per-airan Kepulauan Seribu. ”Tidak mudah untuk mengembalikan perilaku elang, jika sudah terlalu lama dipelihara orang,” kata-nya seperti bergumam.

Benar, pemuda yang bekerja untuk Yayasan Pusat Penyelamatan Satwa Tegal Alur ini telah berupaya membiasakan burung-burung predator itu hidup mandiri. Dan itu sebagai bagian dari program reintroduksi elang bondol ke alam di Pulau Kotok Besar, Kepulauan Seribu, kabupaten administratif DKI Jakarta.

Kedelapan ekor itu juga menjadi buah perdana kerja sama Yayasan PPSTA, Balai Taman Nasional Kepulauan Seribu, Balai Konservasi SDA DKI Jakarta, Resor Pulau Kotok, dan Pemerintah Kabupaten Kepulauan Seribu. Tujuannya, ya, untuk membangun kembali populasi burung yang dijadikan maskot Jakarta itu. Sebab, kini populasi elang bondol di alam, terutama Pulau Jawa, menurut Zaini Rakhman dari Raptor Indonesia, memang tinggal sedikit.

Di setiap pos pengamatan yang biasa disebut titik perjumpaan, yakni di Pulau Dua (Banten), Ujung Kulon (Banten), Gunung Slamet (Jawa Tengah), Ba-luran (Ja-wa Timur), dan Alas Purwo (Jawa Timur), paling -banter hanya dijumpai sepa-sang yang sedang terbang bebas. Angka itu, apabila diban-dingkan sebelum 1980-an, memang tampak njoplang. ”Bisa sampai 50 individu terlihat terbang bersama,” kata Zaini.

Di Kepulauan Seribu, mi-sal-nya, hanya terlihat dua ekor terbang melintas. Itu pun sejak Juli lalu hingga kini belum juga berpapasan lagi. Hanya ada, memang, sebuah sarang di pucuk pohon bakau di Pulau Penjaliran Barat, sebelah utara Pulau Kotok Besar. ”Kami perkirakan po-pulasinya di sini tidak lebih dari 15 ekor,” kata Sumarto, Kepala Balai Taman Nasio-nal Kepulauan Seribu.

Apakah mulai lenyapnya elang bondol disebabkan --ter----gerusnya habitat? Bisa jadi demikian, bisa juga tidak. Tapi, yang jelas, tingkat perdagangan elang jenis itu tergolong tinggi. Pramudya Harzani, Ketua Yayasan PPSTA, memerinci di Pasar Burung Barito, Jakarta Selatan, setiap bulannya bisa dijual delapan ekor, 14 ekor di Pa-sar Jatinegara, dan ter-banyak, 22 ekor, di Pasar Pramuka, -Jakarta Pusat.

Sebanyak 13 elang yang di-rehabilitasi di Pulau Kotok Besar pun—delapan di antaranya telah dilepas—merupa-kan hasil sitaan petugas -da-ri pasar-pasar burung dan rumah pribadi di Jakarta. Sedangkan 70 ekor calon penghuni baru adalah sitaan dari Yogyakarta, Jawa Barat, dan Jawa Timur.

Untuk mendukung re-introduksi elang bondol itu, jumlah sangkar raksasa yang terbuat dari bambu berlapis jaring di Pulau Kotok Besar akan ditambah. Saat ini pulau itu memiliki dua kandang. Mereka yang masih terlalu ”hijau” untuk dapat dikembalikan ke alam ditempatkan dalam kandang yang berukuran lebih kecil, yakni 6 x 8 x 5 meter. Sumarto menjelaskan, waktu yang dibutuhkan elang-elang itu berada di dalam kandang rehabilitasi sangat bergantung pada dampak stressing yang dialami tiap elang sewaktu dipelihara orang.

”Ada yang penurut. Ada yang manja dan terbiasa makan dari tangan manusia,” kata Sumarto memberi contoh. Setengah dari 13 ekor pertama bahkan didapati tidak bisa terbang. ”Sayap-sayap halusnya telah dipotong hingga butuh waktu untuk tumbuh kembali,” tambahnya.

Tidak mengherankan kalau Asman senang melihat dari waktu ke waktu semakin sering saja elang-elang yang berada dalam sangkar yang sama bertengkar, berebut ikan dari karamba, ataupun ranting-ranting dari pepohonan bakau ”Semakin sering bertengkar, itu artinya semakin siap berkompetisi dan sudah bisa dilepas,” katanya.

Setiap tiga hari sekali, -Asman bergiliran dengan re-kan-rekannya dari Yaya-san PPSTA, ditemani seorang dokter hewan, melakukan- pe-ngecekan penyakit, peri-la-ku, ataupun morfologi-. -Me-reka memastikan, elang-e-lang- itu benar-benar sem----------purna untuk dapat hi-dup di alam bebas. Sehingga, pada saatnya nanti, dengan daya tempuh sekali terbang mencapai 60 kilometer, elang bondol itu akan menyemarakkan kembali langit kota.

Wuragil


Famili Acipitridae

Warna kepala, leher, dan dada putih

Warna sayap, punggung, ekor, dan perut cokelat terang. Tinggi tubuh sekitar 50 cm. Tersebar di Sumatera, Kalimantan, Sulawesi, Jawa, dan Bali.

Terbang berputar-putar sendirian atau berkelompok di atas perairan seperti pesisir, sungai, danau, dan rawa-rawa sampai ketinggian 2.800 meter di atas permukaan laut. Makanannya beragam, mulai dari ikan, katak, reptil, serangga, sampai bangkai.

Terbanglah Lepas

Saat datang pertama kali, elang bondol ini rata-rata terlihat stres. Bulu-bulu halusnya ada yang dipotong atau rontok, tidak mau mengepakkan sayap, atau ha-nya mau makan kalau disuapi. Mereka adalah sitaan dari para pedagang atau disita dari tangan warga asing yang hendak menyelundupkannya lewat Bandara Internasio-nal Soekarno-Hatta.

Untuk membantu memulihkan kondisinya, elang bondol dimasukkan ke kandang tertutup. Setelah terlihat -bagus (misalnya mulai mau mengepakkan sayap, mau makan dari wadah), langsung dikarantina selama kurang lebih 14 hari. Dari sana elang-elang dibawa ke sangkar besar di Pulau Kotok Besar, sebelum benar-benar dilepas.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus