Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Internasional

Raja Baru, Tantangan Lama

Raja baru Arab Saudi, Abdullah bin Abdul Aziz, ditabalkan pekan lalu. Dia naik takhta menggantikan Raja Fahd. Bagaimana Abdullah akan membangun reformasi politik dan ekonomi di tengah kuatnya tradisi konservatif monarki serta tekanan konflik kekuasaan di lingkaran istana?

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Keberanian itu datang dari Abdullah. Maret 2003, tegas--tegas dia menolak desakan Wash-ington yang hendak menempat-kan ribuan serdadunya di Arab Saudi. Presiden George Walker Bush berang bukan main. Maklum, di bawah Raja Fahd—pendahulu Abdullah—Amerika telah menjadi sobat kental Arab Saudi. Fahd terserang stroke pa-da 1995. Sejak itu, Pangeran Mahko-ta Abdullah bin Abdul Azizlah yang prak-tis memegang kendali. Malang bagi Ame-rika, Pangeran Mahkota rupanya bukan ti-pe yang mudah mengangguk kepada Wash-ington.

Sangat kecewa, Departemen Pertahan-an AS, Pentagon, akhirnya mendirikan pangkalan militer di Qatar. Dari sa-nalah para serdadu Bush merangsek ke Irak, menumbangkan Presiden Saddam Hussein, lalu menduduki negeri itu. Ab-dullah bin Abdul Aziz bukanlah Raja Fahd yang menunduk ketika Pentagon me-minta kapling pangkalan militer untuk menyerbu Irak pada 1991.

Boleh jadi Paman Bush akan sering mengelus dada menyaksikan Abdullah ke puncak monarki Arab Saudi menggantikan Raja Fahd yang mangkat pada Senin pekan lalu. Kematian Fahd membi-kin Riyadh yang biasanya riuh itu laksana kota mati sepanjang pekan lalu. Kontributor Tempo Ahmad Abdulgani al-Ahmadi yang tinggal di Madinah da-tang ke Riyadh untuk menyaksikan suasana ibu negeri Kerajaan Arab Saudi itu pada hari pemakaman Raja Fahd.

”Pasar swalayan dan toko-toko tutup sebagai ungkapan kesedihan. Lalu lintas Riyadh, yang biasanya lancar dan tertib, tersendat oleh banyaknya taftish (pemeriksaan) polisi. Aparat berjaga-jaga di sepanjang jalan menuju Masjid Turki bin Abdullah. Di balik keseriusan mereka memeriksa, tampak wajah-wajah suram dan berduka,” Ahmad Abdulgani melaporkan rekaman pandangan matanya dalam bahasa Arab melalui telepon internasional kepada Zuhaid el-Qudsy, kontributor Tempo di Solo, yang kemudian menerjemahkannya untuk ming-guan ini.

Raja Fahd, 84 tahun, yang memimpin Arab Saudi sejak 13 Juni 1982, amat dicintai rakyatnya. Raja tua itu digantikan Raja Abdullah bin Abdul Aziz yang kalah tuanya: 83 tahun. Dia dilantik pada Rabu pekan lalu. Sejak kecil raja baru ini dikenal sebagai jujur dan saleh, rajin beribadah. Almarhum ayah Abdullah, Raja Abdul Aziz al-Saud sekali waktu menuliskan kenangan akan masa kecil Abdullah, seperti dikutip Arab Times: ”Aku mendidik dia untuk tegak di atas kakinya sendiri, membangunkannya dua jam sebelum subuh, dan berhenti makan sebelum kenyang.”

Alhasil, walau tumbuh dalam gemerlap kerajaan, Abdullah dekat de-ngan kaum papa. Suatu ketika, dia menyaksikan berita tentang orang-orang miskin di Riyadh dari saluran televisi. Besok-nya, Abdullah meluncur ke kawasan kumuh itu dan mendengarkan keluh ke-sah mereka. Sejak mengendalikan pe-merintahan Arab Saudi pada 1995, Ab-dullah langsung memikat hati kaum re-formis di Arab Saudi. Ia disebut-sebut se-bagai ikon baru perpolitikan di Jazirah Arab.

Sejak 1995 pula Abdullah memberikan dua hal yang amat mahal di Arab Saudi: reformasi politik dan ekonomi. He-batnya, semua itu dia lakukan tanpa ha-rus tunduk kepada Amerika Serikat, so-bat yang dianggap kerap mendikte pe-tinggi kerajaan. Namun, angin pembaruan itu mendapat tentangan keras dari para saudara tiri Abdullah, Al-Fahd bersaudara, terutama Pangeran Sul-tan, Menteri Dalam Negeri, dan Pa-nge-ran Naif, Menteri Pertahanan. Mereka adalah enam saudara seibu almarhum Raja Fahd (lihat kolom Mai Yamani, Setelah Mangkatnya Raja Fahd).

Pergantian raja di Arab Saudi tak pernah sepi dari silang selisih (lihat Jalan Panjang Dinasti Al-Saud). Kini, giliran Abdullah menghadapi kerikil-kerikil itu. Lahir sebagai anak ke-13 dari Raja Ab-dul Aziz bin Abdulrahman, pendiri ke-rajaan Arab Saudi modern, Abdullah me-napak karier dari kota suci Mekkah. Ia menjadi wali kota di sana pada 1950. Sesudah itu, dia menempati sejumlah pos penting: Komandan Garda Nasio-nal, Menteri Pertahanan, Wakil Perdana Menteri Pertama, Putra Mahkota sebelum akhirnya ditabalkan sebagai raja. Sejumlah pengamat menilai gaya kepemimpinan Abdullah tak akan berbeda jauh dengan apa yang telah dijalani-nya selama 10 tahun terakhir, membawa arus reformasi ekonomi dan politik ke lingkungan kerajaan. Di bawah Abdullah, pemilu demokratis dilangsungkan untuk pertama kali-nya pada Februari 2005. Walau cuma di tingkat lokal u-ntuk memilih Dewan Kota Riyadh—dan b-elum menyertakan wanita—peristiwa tersebut menjadi jejak penting dalam sejarah demokrasi di kerajaan itu.

Beberapa tahun belakangan ini, angin reformasi memang berembus kencang di Timur Tengah, antara lain Libanon dan Iran. Rakyat di negeri-negeri itu kian memerlukan ruang untuk bernapas di ranah politik. Mereka menuntut kebebas-an media, ruang gerak berusaha, parti-sipasi politik. Sejumlah pengamat menyebutnya sebagai Al-Jazeera Effect. Beberapa tahun belakangan, Al-Jazeera, sebuah stasiun televisi Qatar, rajin menyiarkan perkembangan politik di berbagai negara, termasuk keberhasilan demokrasi di Indonesia, negeri dengan pemeluk muslim terbesar di dunia. Tayangan-tayangan dianggap ikut mempengaruhi rakyat Timur Tengah untuk memacu proses demokrasi mereka sen-diri.

Di Arab Saudi, Abdullah seperti ber-diri di tikungan dalam transisi demo-krasi: melayani reformasi yang terus bergulir atau meneruskan tradisi kerajaan yang telah berakar selama puluhan tahun. Tampaknya raja baru ini memi-lih jalannya sendiri, yakni reformasi setahap demi setahap. Mengutip kata-kata Abdullah dalam Arab Times: ”Negeri ini berkembang dengan tuntunan Allah dan secara bertahap melakukan reformasi.”

Dia mendanai reli dialog nasional, membahas masalah sosial-politik yang melibatkan semua kalangan, sesuatu yang amat langka dalam politik Arab Saudi sebelumnya. Sejumlah politik menilai, Abdullah mendorong reformasi itu karena basis kekuatan politiknya datang dari kalangan pembaharu.

Menurut pengamat Arab Saudi, Mai Yamani, politik di negeri kerajaan itu didominasi dua kekuatan besar: kelompok pembaharu dan kelompok konservatif. Kelompok pembaharu dimot-ori oleh Abdullah, kelompok konservatif dikomandoi oleh Pangeran Sultan dan saudaranya, Pangeran Naif. Jika Abdullah adalah saudara tiri Raja Fahd, dua tokoh konservatif itu merupakan saudara seibu Raja Fahd.

Abdullah juga gencar mendorong reformasi ekonomi. Sejak 1997 ia melakukan privatisasi perusahaan kerajaan serta membiarkan sektor swasta tumbuh secara bebas. Ia mempersilakan pengusaha asing menanamkan uang di bisnis gas dan minyak—dua sektor yang membikin Arab Saudi kaya-raya. Guna mempermudah investasi asing, Dewan Kamar Dagang Arab Saudi mempermudah izin usaha dan bea masuk. Hasilnya memuaskan.

Pada 2004, sektor swasta tumbuh se-kitar lima persen. Pada 2005, menjadi enam persen. Ekonomi tumbuh 5,3 per-sen pada 2004. Angka ini diperkirakan bisa terkerek ke 8,7 persen hingga penghujung 2005. Ini berita yang cukup baik setelah defisit ekonomi sempat menerpa Arab Saudi dengan kejam. Fluktuasi harga minyak sejak akhir dekade 1980 membuat pendapatan per kapita Arab Saudi terjun bebas dari US$ 25 ribu (setara dengan Rp 242,5 juta) pada 1980 ke US$ 7.000 (Rp 68 juta) pada era 1999 (lihat ”Jalan Panjang Dinasti Al-Saud”).

Anggaran belanja negara Arab Saudi defisit sejak 1999, antara lain karena besar sekali dana yang terserap pada prog-ram pendidikan serta program-prog-ram sosial. Beban Abdullah lainnya adalah tingginya jumlah pengangguran di sean-tero negeri. Kantor berita AFP menca-tat, sepanjang 2004 sekitar 8,5 persen angkatan kerja Arab Saudi yang me-nganggur. Jumlah itu melejit hingga 10 sampai 15 persen pada 2005.

Ironisnya, jumlah tenaga kerja a-sing membengkak saban tahun. Cemas de-ngan angka pengangguran, Menteri Te-naga Kerja dan Sosial Arab Saudi, Ali bin Ibrahim Namla pernah mengeluarkan keputusan agar semua lembaga dan perusahaan Arab Saudi wajib mempekerjakan warga asli. Walau ia memberi syarat, pekerjaan itu harus sesuai de-ngan kemampuan para penganggur. Kebijakan itu diharapkan dapat menekan laju jumlah kaum tunakarya.

Reformasi ekonomi yang digulirkan Abdullah mendapatkan pujian walau memancing pro-kontra di lingkar-an istana. Reformasi itu, kata Bishr Bakheet, pengamat dari Bakheet Financial Advisors di Riyadh, merupakan ”langkah cerdas dan bersejarah—lompatan besar dalam 50 tahun terakhir”. Ada juga yang ragu pada langkah sang Raja, di antaranya Ketua Ekonom Bank Kuwait, Randa Azar Khouri. Dia menga-takan: ”Reformasi ekonomi penting digalakkan, tapi iklim politik adalah faktor paling mendasar.” Randa Azar mencontohkan, maraknya aksi teroris-me di negeri itu bisa merusak citra sentosa yang telah dengan susah payah dibangun Abdullah.

Itu sebabnya, pemerintah Arab Saudi bersikap keras terhadap kelompok mili-tan bersenjata. Apalagi mereka diduga punya kaitan dengan jaringan Al-Qaidah yang sedang diperangi di berbagai belahan jagat. September 2004, mereka meledakkan anjungan tunai mandiri (ATM) Saudi-Amerika Bank yang tak begitu jauh dari kantor konsulat Amerika di Jeddah.

April 2005, polisi Arab Saudi terlibat baku tembak dengan kelompok militan di Al-Ras, 350 kilometer dari kota Riyadh. Tiga anggota kelompok militan tewas. Menurut polisi, mereka simpatisan Al-Qaidah. Kementerian Dalam Negeri Arab Saudi pernah mengeluarkan 36 daftar tersangka teroris yang diburu. Ditawarkan hadiah bagi siapa saja yang mampu melacak mereka.

Pemerintah Arab Saudi tampaknya sadar bahwa kerajaan tak lagi seaman dulu. Menjelang upacara pemakaman Raja Fahd pada Selasa pekan lalu, kontributor Tempo memantau mobil-mobil yang mengular menunggu pemeriksaan aparat keamanan. Jalan-jalan menuju Masjid Imam Turki bin Abdullah—tempat pemakaman Raja Fahd—diblokade pasukan keamanan negeri yang melengkapi diri dengan detektor canggih. Banyak pemimpin negara datang memberi penghormatan terakhir kepada mendiang Raja Fahd. Aparat keamanan pun cemas, para petinggi dunia itu bisa saja menjadi sasaran empuk kelompok teroris.

Secara tak langsung, terorisme internasional juga yang pada akhirnya mencairkan kembali hubungan ”dingin” Abdullah dengan Washington. Dalam menghadapi terorisme, Raja Abdu-llah memegang teguh prinsip yang bisa membikin Paman Bush mengulas senyum lebar: kejar para teroris sampai ke mana pun, tanpa ampun.

Wenseslaus Manggut (Jakarta), Ahmad Abdulgani al-Ahmadi (Riyadh), Zuhaid el-Qudsy (Solo)

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus