Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Potret Mutakhir Islam Indonesia

Presiden bahkan mempercayakan penjagaan ”kemurnian akidah umat” kepada MUI. Para peserta musyawarah menjawab amanat Presiden dengan 11 fatwa.

8 Agustus 2005 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Oleh Hamid Basyaib
  • Anggota Jaringan Islam Liberal

    Warga Jemaat Ahmadiyah Indonesia (JAI) yang diserbu ribuan orang harus dievakuasi dengan sejumlah bus, diiringi lemparan batu. Bagaimanakah nasib aset JAI di dalam dan sekitar markas tujuh hektare yang ditinggalkan itu? Ada ulama menawarkan pemecahan dengan memetik langsung ayat Al-Quran tentang ghanimah. Harta benda milik warga dan lembaga JAI adalah rampasan perang. Perlakuan ini lazim dipraktekkan tentara Islam pada masa awal ekspansi mereka ke luar Jazirah Arabia.

    Tiada satu pun partai politik yang bersuara menyatakan sikap apa pun. Tiada seorang pun anggota DPR yang menanggapi invasi itu. Jaksa Agung tidak pernah mengemukakan sikap dan kebijakan instansinya secara jelas, cenderung melempar tanggung jawab kepada kepolisian, yang bersikap sama kaburnya. Tiada seorang pun penyerbu yang dinyatakan melanggar hukum dan konstitusi.

    Segelintir kecil cendekiawan dan aktivis hak asasi manusia meminta aparat negara menegakkan hukum atas pelanggaran telanjang itu. Sementara itu Majelis Ulama Indonesia (MUI) bermusyawarah. Dibuka oleh Presiden, musyawarah nasional itu berlangsung lancar. Presiden bahkan mempercayakan penjagaan ”kemurnian akidah umat” kepada MUI. Para peserta musyawarah menjawab amanat Presiden dengan 11 fatwa. Antara lain, penegasan kembali fatwa MUI tahun 1980 bahwa Ahmadiyah adalah kelompok non-Islam, diharamkan dan dilarang keberadaannya di NKRI; pernikahan antara muslim dan non-muslim terlarang; pemikiran liberalisme, sekularisme, dan pluralisme dalam agama adalah haram.

    Liberalisme dalam Islam didefinisikan sebagai ”upaya memahami agama berdasarkan penggunaan akal dan pikiran semata”. Ini salah. Sekularisme adalah ”pemisahan urusan privat dan publik; pemisahan urusan negara dan agama”. Ini pun salah, karena ajaran Islam juga mengatur cara-cara bermasyarakat dan bernegara. Pluralisme dianggap sebagai paham bahwa semua agama adalah baik dan benar, dengan demikian menutup peluang umat Islam untuk mengklaim bahwa agamanyalah yang paling benar, meski MUI mengakui kehadiran agama-agama lain sebagai fakta sosiologis.

    Pagi hari seusai musyawarah nasional itu, ratusan peserta dijamu dengan sepenuh keramahan di Istana Wakil Presiden. Segelintir kecil cendekiawan dan aktivis hak asasi manusia kembali mengeluhkan fatwa yang bertentangan dengan prinsip universal hak asasi manusia dan konstitusi itu. Kontroversi merebak. Para petinggi MUI memberikan ”pertanggungjawaban” dengan mengelaborasi seperlunya ide di balik fatwa itu. Ahmadiyah disarankan membentuk agama baru. Sekte yang hadir di Indonesia sejak 1920-an itu diusir dari rumah Islam.

    Ketua Komisi Fatwa MUI, Ma’ruf Amin, menegaskan bahwa fatwa itu dirumuskan secara cermat dan seksama, bukan di komisi fatwa seperti biasa, melainkan dalam forum musyawarah nasional, guna menjamin kebulatan legitimasinya. Fatwa diputuskan oleh 300 ulama dari semua organisasi Islam, sehingga memenuhi prinsip representasi. Maka semua usikan terhadapnya pasti tidak sahih, karena mereka bukan representasi umat Islam.

    Ma’ruf Amin benar. Bahkan, dalam kepengurusan baru MUI, representasi tersebut sempurna. Ketua umumnya kembali dijabat oleh Rais Syuriah NU, wakilnya adalah Ketua PP Muhammadiyah. Para ketuanya petinggi kedua ormas Islam terbesar itu, ditambah beberapa tokoh puncak ormas Islam lainnya. Dan Ma’ruf Amin kembali benar. Yang kontroversial, kata dia, adalah tanggapan-tanggapan terhadap fatwa itu, bukan fatwanya sendiri.

    Cabang JAI di sejumlah daerah terus diganggu oleh massa. Pada Jumat, 5 Agustus 2005, kantor Jaringan Islam Liberal (JIL) di Utan Kayu, Jakarta Timur, dicoba diserbu oleh massa dari beberapa ormas Islam. Mereka tentu berhasil tiba di kantor JIL jika tak dihadang polisi. Seorang utusan menemui pengurus JIL dan menyatakan ingin berdialog, tidak saat itu, tapi lain waktu. Mereka pun pulang—tanpa ada jaminan bahwa mereka tidak akan datang lagi untuk ”berdialog” dengan datang berombongan besar.

    Di manakah kaum moderat muslim Indonesia yang tak henti disanjung sebagai mayoritas antikekerasan itu? Mereka sedemikian banyak jumlahnya sehingga sedemikian mudah bersembunyi.

    Tiada reaksi apa pun yang setimpal dari para pengelola negara (presiden, wakil presiden, seluruh birokrasi dan aparat di bawah mereka; lembaga-lembaga legislatif, partai-partai politik). Tiada tanggapan resmi apa pun dari kedua ormas Islam terbesar yang selalu diandalkan sebagai penjamin moderasi Islam, selain komentar personal satu-dua tokohnya.

    Habis terang turunlah gelap. Dan saksikanlah bahwa saya, warga Negara Hukum Indonesia, pemeluk Islam di negeri muslim terbesar di muka bumi ini, sungguhsungguh takut hanya karena berpikir.

  • Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    Image of Tempo
    Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
    • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
    • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
    • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
    • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
    • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
    Lihat Benefit Lainnya

    Image of Tempo

    Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

    Image of Tempo
    >
    Logo Tempo
    Unduh aplikasi Tempo
    download tempo from appstoredownload tempo from playstore
    Ikuti Media Sosial Kami
    © 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
    Beranda Harian Mingguan Tempo Plus