Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Panti asuhan yang berlokasi di Jalan Heulang, Tanah Sereal, Kota Bogor, itu tak memiliki papan nama. Bangunan bercat putih dengan pagar berwarna hijau itu selintas terlihat seperti rumah biasa. ”Ini Panti Asuhan Immanuel,” kata seorang pria dari balik pagar sambil mempersilakan masuk.
Pintu gerbang berderit. Dua bocah berusia 10 tahun sedang menyapu halaman yang tertata rapi. Di ruang tamu ada seperangkat kursi. Sebuah televisi 14 inci menjadi satu-satunya penghias ruangan. Dua remaja sibuk membenahi buku administrasi di atas meja di pojok ruangan.
Mereka menyapa ramah sambil mempersilakan duduk. Namun, sikap ramah itu lenyap begitu Tempo bertanya, benarkah Tristan Erwin pernah diasuh di sini? Setelah saling pandang, salah seorang masuk ke ruang tengah. Dia kembali lagi bersama seorang wanita yang mengaku sebagai pengurus panti.
Persoalan Tristan tampaknya membuat pengurus panti menjadi hati-hati berbicara. ”Dia anak yang menyenangkan,” kata wanita yang enggan menyebut namanya itu. Tristan, 4 tahun, memang bukan bocah biasa. Ia adalah korban jual beli bayi.
Dari kisah bocah berambut ikal itulah terungkap kasus penjualan 80 bayi ke luar negeri, dua pekan lalu. Sejauh ini polisi sudah menetapkan dua tersangka, Rosdiana dan putrinya, Mereta, 29 tahun. Kedua warga Pamulang, Tangerang, itu sudah berada dalam tahanan Kepolisian Daerah Metro Jaya sejak akhir Juli lalu.
Sambil mengusap matanya yang mulai basah, wanita pengurus Panti Asuhan Immanuel itu membuka cerita tentang Tristan. Sekitar dua tahun lalu, dua pria berkulit putih berkunjung ke panti. Keduanya warga negara Irlandia. ”Salah seorang memperkenalkan diri sebagai Joseph Dowse.” Mereka menitipkan bocah yang masih berusia 22 bulan. ”Kami mau menerimanya karena si pengantar mengatakan hanya menitipkan saja,” kata perempuan paruh baya itu.
Ternyata itu kunjungan Joseph yang pertama sekaligus terakhir. Dia tak pernah datang lagi. Pengurus panti akhirnya merawat Tristan bersama 20 bocah lainnya. ”Biaya hidupnya kami tanggung sendiri, kami ikhlas,” kata wanita itu. Tristan menjadi anak yang paling kecil di panti. Usia termuda yang ditampung di sana tujuh tahun sedangkan yang paling tua 17 tahun. ”Jadilah dia adik kesayangan,” kata Martin, 17 tahun, salah seorang penghuni panti.
Tristan ternyata hanya bisa mengoceh dalam bahasa Inggris. Anak-anak lain yang berada di panti berlomba-lomba mengajarnya bahasa Indonesia dan bahasa Sunda. Sampai usia tiga tahun, bocah lucu itu sudah lancar berbahasa Indonesia campur bahasa Sunda Bogor. ”Dia suka bernyanyi,” kata Martin yang setiap hari menggendong Tristan. ”Kami bahagia bersamanya.”
Sayang, Mei lalu kebahagiaan penghuni panti bersama Tristan terusik. Petugas Departemen Sosial datang menjemput sang adik kecil. Tristan dipindahkan ke sebuah yayasan di Cipayung, Jakarta Timur. Departemen Sosial mengambil bocah itu lantaran ada sebuah kasus yang mesti diselesaikan secara hukum.
Rupanya ada cerita kurang sedap tentang riwayat Tristan yang datang dari Kedutaan Besar Irlandia di Singapura. Bocah itu ternyata anak angkat pasangan Joseph dan Lala Dowse. Tristan sendiri terlahir dari perempuan bernama Suryani pada 26 Juli 2001. Dia diadopsi pada 17 September 2001, sehingga dianggap sebagai warga negara Irlandia. Joseph mengadopsi Tristan lantaran Lala tak kunjung hamil.
Namun, setahun setelah Tristan hidup bersama mereka, Lala hamil. Bak pepatah ”habis manis sepah dibuang”, Tristan lantas ”dititipkan” ke Panti Asuhan Immanuel. Pemerintah Irlandia agaknya tak senang dengan kelakuan warga negaranya menelantarkan anak, meskipun itu anak angkat. Itulah sebabnya, mereka memerintahkan kedutaan besarnya di Singapura melacak Tristan.
Setelah mengetahui keberadaan Tristan, mereka mengontak Departemen Sosial Indonesia untuk meminta tolong agar Tristan dikembalikan ke Irlandia. Namun, sebelum memenuhi permintaan itu, Depsos lebih dulu meneliti keabsahan proses adopsi Tristan.
Menteri Sosial Bachtiar Chamsyah berpendapat, seharusnya orang asing tak mudah mengangkat anak Indonesia. ”Minimal harus berdomisili dua tahun di Indonesia dan mendapatkan rekomendasi dari Menteri Sosial,” katanya. Di Jakarta, hanya Yayasan Sayap Ibu dan Yayasan Tiara Putra yang mendapat izin untuk memproses pengangkatan anak bagi orang asing.
Ketika ditelusuri, proses adopsi anak atas nama Tristan tak ada pada kedua yayasan tersebut. Maka, prosesnya ditengarai ilegal. Kasusnya pun jatuh ke tangan polisi. Polisi dari Kepolisian Daerah Jakarta tak sulit melacaknya sebab semua dokumen orang-orang yang terlibat dalam proses adopsi Tristan cukup lengkap diperoleh dari pemerintah Irlandia.
Salah seorang tersangka ternyata bekas pegawai Yayasan Sayap Ibu yang sudah dipecat tiga tahun lalu. Di Yayasan, si pegawai bertugas mengurus dokumen adopsi antarnegara. ”Dia kami pecat karena kasus pemalsuan tanda tangan dalam dokumen,” kata Rin Cipto Winoto, Ketua Yayasan Sayap Ibu. Dalam kasus tersebut, si pegawai juga bertindak sebagai pengurus dokumen. Dia bersama tiga tersangka lainnya kini masuk daftar buron polisi.
Sejauh ini, baru Rosdiana dan Mereta yang sudah dicokok. Kepada polisi, Rosdiana mengaku sudah menjual 60-80 bayi, tapi polisi baru mengendus 30 bayi yang telanjur melintas batas ke luar negeri, terutama ke Eropa. Dari jumlah itu, polisi baru mengantongi bukti untuk kasus delapan bayi.
Wakil Kepala Polda Metro Jaya, Brigadir Jenderal Polisi Bagus Ekodanto, mengatakan, Rosdiana adalah penghimpun ibu hamil. Ia biasanya membujuk mereka agar merelakan bayinya diadopsi warga asing. Sasarannya biasanya ibu-ibu miskin yang hanya mendapatkan bayaran Rp 250–500 ribu per bayi. ”Uang itu hanya sebagai ganti biaya urus ibu,” kata Bagus. Mereta berperan membantu aksi ibunya.
Setelah anak didapat, yang menjadi penghubung dengan orang asing adalah seorang wanita dari Surabaya yang bersuamikan warga Amerika Serikat. Kemudian dokumennya diurus oleh bekas pegawai Yayasan Sayap Ibu tadi. Tim penjual bayi ini mengantongi duit Rp 20–50 juta untuk setiap anak.
Salah seorang korbannya, Tina—bukan nama sebenarnya—sudah diperiksa polisi sebagai saksi. Perempuan berusia 29 tahun ini bermukim di Gang Haji Kuming, Ciputat, Tangerang. Ia tinggal bersama suaminya, Ison, 34 tahun, dan empat anaknya. Tina sudah menyerahkan tiga anaknya kepada Rosdiana, termasuk bayi yang ia lahirkan dua bulan lalu. Untuk tiap bayi ia memperoleh duit Rp 1,25 juta. ”Yang saya tahu, anak-anak saya diasuh oleh kakaknya Ibu Ros (Rosdiana),” katanya.
Begitu tahu anaknya berada jauh di negeri asing, Tina sungguh terkejut. Dia merasa tertipu lantaran Rosdiana mengatakan kelak dia bisa melihat anaknya lagi. Walau begitu, ia sedikit terhibur ketika polisi memperlihatkan tiga foto anaknya yang berada dalam pangkuan orang berkulit putih. ”Mereka jadi cakep-cakep, saya jadi ingin bertemu,” katanya lugu. Sayang, ia tak tahu bagaimana cara berjumpa dengan darah dagingnya itu.
Nasib Tristan lebih malang. Ia tak pernah bertemu atau mengenal orang tuanya. Bahkan telah terpisah pula dari kakak-kakak yang menyayanginya di Panti Asuhan Immanuel. ”Saya sangat sayang padanya, seperti adik kandung saya sendiri,” kata Martin, yang tak kuasa menahan air mata.
Pengurus panti hampir setiap pekan memboyong anak-anak asuhnya menjenguk Tristan. Ketika melihat kakakka-kaknya datang, Tristan selalu minta dibawa serta. Namun, petugas Departemen Sosial melarang. ”Dia tak betah di sana. Di Bogor banyak kakaknya,” kata Ita, seorang anak asuh Immanuel, sambil terisak. Ita berharap Departemen Sosial mengizinkan mereka membawa sang adik kecil.
Direktur Jenderal Pelayanan Rehabilitasi Sosial Puji Astuti menjelaskan, kondisi Tristan sedang tidak stabil. ”Tiap kali melihat orang asing, Tristan memalingkan muka,” katanya. Menurut Puji, butuh waktu tiga sampai empat bulan untuk menyembuhkannya. Sesudah itu, ia akan dikembalikan kepada orang tua kandungnya. ”Kami juga akan melihat kondisi orang tuanya, apakah cukup mampu untuk merawat,” ujarnya.
Jika secara ekonomi mereka tak mampu, Departemen Sosial berjanji akan memberdayakan dengan memberi modal usaha. Namun, bila kondisi keluarganya memang tak memungkinkan, Departemen Sosial akan minta izin orang tuanya untuk menempatkan Tristan di panti sosial. ”Di sana anak ini juga akan disekolahkan dan dipelihara dengan baik,” katanya.
Nurlis E. Meuko, Mawar Kusuma, Istiqomatul Hayati, dan Deffan Purnama (Bogor)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo