Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Keduanya bertemu pada suatu hari di tahun 1750: Muhammad bin Saud, pemimpin satu suku di Najd, dan Muhammad Abdul al-Wahhab, seorang pemimpin agama. Saud ingin kekuasaan lebih besar. Wahhab bertekad memurnikan ajaran Islam di tanah kelahiran Nabi Muhammad SAW. Keduanya bersatu menaklukkan Semenanjung Arab. Ambisi kedua orang besar itu mengobarkan perang selama lebih dari 150 tahun antara suku Saud dan Mesir, Kerajaan Ottoman, serta keluarga-keluarga Arab lain di semenanjung itu.
Baru di tangan Abdul Aziz al-Saud—generasi keenam Raja Saud—wilayah itu dapat direbut satu per satu. Setelah Inggris mengakui kekuasaannya melalui Perjanjian Jedda yang diteken pada Mei 1927, Raja Abdul Aziz mendirikan Kerajaan Arab Saudi pada 1932. Penemuan tambang minyak pertama pada Maret 1938 menandai babak baru kerajaan itu; negara penghasil minyak yang kaya raya.
Pewarisan takhta Arab Saudi selalu diiringi silang selisih. Putra Mahkota Saud bin Abdul Aziz al-Saud, yang berkuasa setelah Raja Abdul Aziz meninggal pada 1953, turun takhta secara paksa. Ia didepak adiknya, Faisal bin Abdul Aziz al-Saud, pada 1964. Sebelas tahun kemudian Raja Faisal mati di tangan keponakannya. Ia digantikan saudaranya, Khalid bin Abdul Aziz al-Saud.
Tapi Khalid yang sakit-sakitan menyerahkan urusan kerajaan sepenuhnya kepada adiknya, Pangeran Mahkota Fahd bin Abdul Aziz. Ketika pertama kali bertemu Pangeran Fahd, mantan Perdana Menteri Inggris Margaret Thatcher terbelalak. ”Dia menjalankan negara ini?” kata Thatcher kepada Raja Khalid di sampingnya. ”Dia bahkan tak mampu berbicara sepatah kata pun.”
Itu terjadi pada 1981, setahun sebelum Pangeran Fahd menggantikan kakaknya. Thatcher tak mengerti tata krama di keluarga kerajaan bahwa, di depan raja, orang hanya boleh berbicara jika diminta. Nyatanya, di tangan Raja Fahd, Arab Saudi maju pesat. Pangkalnya adalah petrodolar alias uang minyak, yang melimpah sejak Saudi dan negara-negara Arab lain menaikkan harga minyak pada dekade 1970.
Toh, sikap Raja Fahd yang kukuh mempertahankan mahkota raja di tangan keluarganya menuai banyak kritik. Pada 1992, misalnya, ia mengeluarkan undang-undang yang selain menegaskan penerapan syariat Islam juga mengukuhkan hak waris anak-cucu Raja Abdul Aziz atas kerajaan.
Hubungan baik dengan Barat, terutama Amerika Serikat, juga mengalirkan kritik, terutama manakala Raja Fahd mengizinkan pasukan koalisi AS menggunakan Saudi sebagai basis selama Perang Teluk pada 1991. Apalagi, di saat bersamaan, Fahd mengusir pulang orang Yaman dan Yordania—dua ”saudara” yang ia tuding mendukung invasi Saddam Hussein ke Kuwait.
Hujan emas tak berlangsung selamanya. Fluktuasi harga minyak sejak akhir dekade 1980 mulai membikin seret keuangan negeri yang menguasai seperempat cadangan minyak dunia itu. Anggaran belanja negara Arab Saudi bahkan defisit sejak 1999 karena besar sekali dana untuk program pendidikan serta program-program sosial.
Pendapatan per kapita US$ 25 ribu (setara dengan Rp 242,5 juta) pada 1980 melorot ke angka US$ 7.000 (Rp 68 juta) pada era 1999. Dan pada 2005, untuk pertama kalinya Raja Fahd tak mengumumkan anggaran belanja secara terbuka. ”Saya harus menundanya,” ujarnya dengan air mata tertahan di televisi, 10 Maret lalu.
Baiknya, di bidang politik, perkembangan cukup menggembirakan. Pangeran Abdullah bin Abdul Aziz, yang secara de facto mulai memimpin Saudi pada 1997, dua tahun setelah Raja Fahd terkena serangan jantung, membawa angin segar. Dia memperluas wewenang Majelis Sura, semacam Dewan Kota. Umpama, Majelis boleh mengajukan rancangan undang-undang tanpa persetujuan raja.
Februari lalu Saudi menapaki jejak penting dalam sejarah negeri itu: pemilu demokratis dilangsungkan untuk pertama kalinyawalau cuma di tingkat lokal untuk Dewan Kota Riyadh dan belum menyertakan wanita.
Apakah transisi demokrasi bakal lebih mulus di tangan Raja Abdullah? Pengamat masalah Arab Saudi, Toby Craig Jones, meragukannya. Kata Jones: ”Dia tidak bisa melakukan (perubahan itu) sendirian.”
Philipus Parera (BBC/USA Today/Guardian/Wikipedia)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo