Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Film

Hantu Thailand dan Tangkur Buaya di Televisi Kita

Jumlah film seri Thailand yang diputar di stasiun televisi kita kalah jauh dibandingkan dengan telenovela atau serial Mandarin. Tapi alur ceritanya dekat dengan alam Indonesia.

31 Mei 2004 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Di tepi sungai berawa-rawa, hiduplah legenda tentang tiga buaya jadi-jadian. Film Krai Thong secara detail melukiskan mereka sebagai makhluk setengah manusia setengah binatang dengan kegemaran tunggal: melahap warga desa. Perang warga desa melawan trio buaya ini berkobar amat dahsyat karena penduduk setempat menyimpan sebuah tradisi lama. Untuk membakar hasrat seksual, mereka biasa minum tangkur buaya. Tatkala ketidakberdayaan menyelimuti penduduk desa, muncul pawang Krai Thong, sosok penyelamat desa dari ancaman chawalan—istilah Thai untuk buaya jadi-jadian. Pemirsa SCTV dan Trans TV tahun lalu barangkali masih ingat betapa warga desa menjanjikan kekayaan dan dua perempuan sebagai imbalan keberhasilan sang pawang. Film yang diangkat dari novel berjudul sama dan terbit pada 1980 ini mengisahkan perjuangan pawang melawan chawalan—sebuah film yang sempat mencuri perhatian. Film yang dibintangi Winai Krabutr, Wanasa Thongwised, Champaign X, dan Praifah Siriwicha ini muncul satu kali di Trans TV (12 Oktober 2003) dan dua kali di SCTV (Februari dan Maret 2003). Horor merupakan tema favorit film lepas dan serial buatan Thailand di layar televisi kita. Akhir tahun lalu, SCTV menayangkan The Trek, legenda gajah hitam berbulu lebat yang memangsa anggota tim ekspedisi pimpinan Tuan Tam. Saat ini Lativi masih menayangkan tiga serial sekaligus: The Ghost of Prakanong (51 episode), Siluman Kelabang (15 episode), dan Siluman Ular (12 episode). Stasiun televisi milik pengusaha Abdul Latif ini memang menempatkan produksi Negeri Gajah Putih sebagai tayangan favorit. ”Kita termasuk yang mengawalinya di sini,” kata Raldy Doy, Manajer Humas Lativi. Lativi menayangkan serial The Ghost of Prakanong sejak 14 Januari 2003. Serial produksi MOM Bangkapi Bangkok ini lebih dikenal sebagai Nang Nak versi televisi. Ceritanya sama persis dengan Nang Nak versi layar lebar besutan sutradara Nonzee Nimibutr. Film produksi 1999 ini dibintangi Intira Jaroenpura (Nak) dan Winai Krabutr (Mak). Sedangkan versi televisi digawangi aktor ganteng Varut Worathan (Mak) dan bekas ratu kecantikan Thailand, Laeelawade Watcharobol (Nak). Meski menayangkan versi televisi, Lativi juga menayangkan versi layar lebarnya pada Agustus 2003. Dua versi Nang Nak ini sama-sama berangkat dari legenda yang hidup di tengah masyarakat Thailand. Alkisah, Mak meninggalkan Nak yang sedang hamil karena tugas militer. Mak tak tahu nyawa istri berikut putranya tak tertolong lagi saat persalinan terjadi. Ketika pulang ke rumah, ia malah mendapati Nak sudah punya momongan. Mak tak percaya omongan warga desa bahwa perempuan di rumahnya adalah hantu. Maka ia enak saja makan, bergurau, tidur bersama, sampai berhubungan intim. Mak baru sadar setelah banyak keganjilan menyertai hari-harinya. Kisah hidup bersama hantu itu tak sepenuhnya mencekam. Meski menampilkan suasana desa terpencil di pinggir sungai, aspek romantiknya cukup menonjol. Apalagi versi serialnya yang dihiasi sederet perempuan cantik. Bayangkan jika si hantu semanis Laeelawade, bekas ratu kecantikan Thailand yang molek dan seksi. Namun tak semua film buatan negara tetangga itu menyajikan hal sama. Sebagian tampil berdarah-darah dan kelewat vulger mengumbar sadisme. ”Makanya kita tidak bisa menayangkannya meski sudah dipotong sebagian,” kata Budi Darmawan, Manajer Humas SCTV. Saat ini di laci SCTV tersimpan 20 judul film buatan Thailand yang dibeli dari distributor PT Cakrawala Pesona Jaya. Sedangkan Trans TV punya tak lebih dari sepuluh film. ”Tapi belum ditayangkan semua,” kata Irwin, kepala Divisi Programming & Scheduling Trans TV. Lativi malah akan menambah koleksi yang ada. Sayang, tak satu pun yang mau membuka harga beli setiap film. Alasannya, soal harga yang tak bisa dibuka merupakan kesepakatan dengan distributor. ”Yang pasti di bawah harga film Mandarin,” kata Budi. Apalagi jika dibandingkan dengan film produksi Hollywood. Meski harga belinya lebih rendah, itu bukan berarti film Thailand ikut jeblok dalam rating. Film Krai Thong di SCTV, misalnya, sempat menyentuh angka 11,7. Angka ini angka tertinggi yang pernah dicapai film Thailand. Selebihnya, terutama pada awal sampai pertengahan 2003, berada pada kisaran 7 sampai 11. Terutama untuk film lepas yang pernah menjadi tontonan laris di negeri asalnya. Selain untuk memperkaya variasi tayangan, ”Film Thailand lumayan buat mengerek iklan,” katanya. Kondisi serupa terjadi pada film Nang Nak di Lativi. Prestasi tadi memang tak berlaku pada semua tayangan. Prestasi versi layar lebar ternyata tak mesti seiring dengan versi serial. Kisah Nang Nak yang sukses di layar lebar ternyata tak bisa diimbangi perolehan serialnya. Berdasarkan riset AC Nielsen per 14 Mei 2004, rating serial The Ghost of Prakanong cuma 0,7 dan TV share-nya terpatok pada angka 4,6. Rating yang sama terjadi pada serial Siluman Ular produksi Bangkok Broadcast TV dengan TV share 5,4. Sedangkan rating Siluman Kelabang buatan Bangkok Broadcast TV malah lebih baik, yakni 1,1, dengan TV share 4,4. Jika diambil rata-rata, rating tiga serial tadi berada pada kisaran 1 dengan TV share 5,9. ”Cukup bagus untuk serial pada jam tayangnya,” kata Raldy. Semula serial Nang Nak ditayangkan setiap Kamis malam, tapi sejak beberapa bulan lalu diubah menjadi siang hari. Begitu juga Siluman Ular, yang ditayangkan setiap Sabtu pukul 12.00 WIB. Serial Siluman Kelabang setiap Jumat pukul 21.30 WIB. Sedangkan jam tayang film lepas tak bisa dipastikan karena disesuaikan dengan kondisi persaingan di televisi. Meski Kamis malam identik dengan film horor, tak semua film Thailand ditayangkan pada hari itu. Film Krai Thong malah ditayangkan Sabtu malam. Immortal Enemy dan The Trek, yang dibintangi Danai Smuthkochom, Paul Visut Carey, dan Eilidh Mac Queen, pun diputar pada Senin malam. Persaingan sengit di jagat televisi kita membuat pengelola televisi berlaku cermat menempatkan film unggulan. Bisa jadi satu film bagus yang diprediksi menjala banyak iklan malah jeblok rating-nya. Penyebabnya, televisi lain menayangkan film yang tak kalah apik. Pemirsa yang dibidik akhirnya terbagi dua. Semakin banyak film unggulan pada jam tayang yang sama, semakin kecil kemungkinan menjala rating bagus, kecuali film laris yang memang ditunggu banyak orang. Kondisi inilah yang kadang membuat pengelola televisi mengubah jam tayang film yang sudah terjadwal sebelumnya. ”Perlu kecerdikan memilih jam tayang untuk film tertentu,” kata Raldy. Meski berisiko pada jebloknya rating, film lepas masih menjadi pilihan sebagian besar televisi kita. Sejauh ini, Lativi-lah yang berani mencoba serial buatan Thailand. Memang jumlahnya masih jauh dibandingkan dengan telenovela Amerika Latin atau serial Mandarin. Apalagi telenovela mampu memikat para ibu lewat kisah melankolisnya. Alur cerita kadang dekat dengan keseharian perempuan Indonesia. Kedekatan cerita ini sebenarnya juga dimiliki serial produk negeri Thaksin Shinawatra itu: setting pedesaan, tradisi agraris, kepercayaan pada mistis, dan sama-sama suka horor. ”Sayang, penggarapannya belum sebagus film layar lebarnya,” kata Budi. Sebagian dari mereka menerapkan pola kejar tayang seperti di Indonesia. Jangan heran jika hasil gambar film Nang Nak jauh lebih baik dibandingkan dengan versi serialnya.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus