Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Erupsi dan Tsunami 2018, Separuh Gunung Anak Krakatau Hancur

Total badan Gunung Anak Krakatau yang runtuh sebanyak 0,214 kilometer kubik.

20 Mei 2021 | 20.29 WIB

Personel TNI kru KRI Torani 860 memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Banten. 28 Desember 2018. Kapal perang jajaran Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) yang merupakan jenis kapal patroli cepat, KRI Torani 860 akan mengemban misi memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja
Perbesar
Personel TNI kru KRI Torani 860 memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau di perairan Selat Sunda, Banten. 28 Desember 2018. Kapal perang jajaran Komando Lintas Laut Militer (Kolinlamil) yang merupakan jenis kapal patroli cepat, KRI Torani 860 akan mengemban misi memantau aktivitas Gunung Anak Krakatau. ANTARA FOTO/Muhammad Adimaja

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

TEMPO.CO, Bandung - Sebuah riset terbaru mengungkap sebagian fakta peristiwa tsunami yang dikaitkan dengan letusan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 lalu.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100

Erupsi berkali-kali sebelum tsunami muncul Sabtu malam hari itu menghancurkan tubuh gunung. “Sebagian besar, 50 persen tubuh Gunung Anak Krakatau hilang,” kata Mirzam Abdurrachman.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x600

Vulkanolog dari Institut Teknologi Bandung (ITB) itu dan timnya tergabung dalam kelompok riset antarlembaga, seperti Pusat Penelitian dan Pengembangan Geologi Kelautan, Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi serta tim riset dari Inggris dan Amerika Serikat. Ketuanya James Hunt dari National Oceanography Center (NOC).

Menurut Mirzam, riset itu dimulai segera setelah letusan pada akhir Desember 2018 hingga pertengahan 2019. Kesegeraan itu penting dilakukan agar bukti-bukti pasca letusan tidak keburu hilang secara alami.

“Karena produk letusan, longsor, jejak tsunami bisa termodifikasi oleh alam, hujan, dan lain-lain, karena itu kita harus segera masuk supaya bisa melihat apa yang terjadi,” katanya saat dihubungi, Rabu, 19 Mei 2021.

Beberapa temuan penting tim riset itu seperti volume material gunung yang hilang dan ambrol ke dasar Selat Sunda. Sebelumnya diperkirakan material yang rontok itu sebanyak 0,098 kilometer kubik berdasarkan citra satelit yang terbatas hanya menangkap pada bagian permukaan gunung. Angka perkiraan awal itu, kata Mirzam, hanya sekitar 45 persen.

“Ternyata longsornya tidak hanya yang di permukaan tetapi di bawah permukaan jauh lebih besar, yaitu 55 persennya di bawah laut,” ujarnya.

Total badan Gunung Anak Krakatau yang runtuh sebanyak 0,214 kilometer kubik. Temuan daerah kumpulan longsorannya berdasarkan alat bantu refleksi seismik yaitu di arah barat daya gunung. Arah itu sesuai dengan bagian gunung yang hilang ketika meledak. Temuan itu juga dikonfirmasi oleh hasil survei bawah permukaan pada akhir 2017 dari lembaga lain.

Sebelum letusan besar pada 22 Desember 2018, kata Mirzam, permukaan lantai samudera di barat daya Gunung Anak Krakatau itu bersih atau tertutupi sedimen laut dalam.

Setelah survei pascaletusan pada pertengahan 2019 dengan alat sonar, permukaannya berubah menjadi kasar oleh blok-blok batu dengan ukuran beragam. “Dan hanya terdapat di bagian barat daya,” kata Mirzam.

Panjang blok runtuhan gunung itu berkisar antara 185-520 meter. Tebalnya 300 hingga 500 meter, dan tingginya sampai 70 meter. Adapun luasan area guguran Gunung Anak Krakatau itu, menurut Mirzam, mencapai 7,2 kilometer persegi di bagian barat daya. “Jarak longsoran yang terjauh dari pusat letusan hingga 1,5 kilometer,” ujarnya.

Hasil riset itu telah dipublikasikan di jurnal Nature Communications dengan judul “Megablocks on the seafloor reveal that half of Anak Krakatau island collapsed into the sea to cause the 2018 Sunda Strait tsunami, Indonesia”.

Menurut Mirzam, tim berencana melanjutkan riset dengan membuat pemodelan tsunami dari hasil data-data baru yang diperoleh. Selain itu masih ada pertanyaan yang belum tuntas. “Bagaimana mekanisme volume material terdistribusi di Selat Sunda, apakah longsoran murni atau juga letusan samping,” katanya.

Berdasarkan laporan Badan Nasional Penanggulangan Bencana, tsunami pasca letusan Gunung Anak Krakatau pada 22 Desember 2018 pukul 21.27 WIB itu menerjang pantai di sekitar Pandeglang, Serang, dan Lampung Selatan.

Hingga 31 Desember 2018 korban meninggal tercatat sebanyak 437 orang, 16 orang hilang, 14 ribu orang lebih terluka, dan membuat 33.719 orang mengungsi. Rumah yang rusak sebanyak 2.752 unit, tersebar di enam daerah, yaitu Pandeglang, Serang, Lampung Selatan, Tanggamus, Pesawaran dan Bandar Lampung. Ketinggian gelombang tsunami dari erupsi Gunung Anak Krakatau mencapai 2 hingga 5 meter.

Erwin Prima

Erwin Prima

close

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

slot-iklan-300x100
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus