Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Di Wailago, laut berwarna tiga. Biru tua, hijau, dan putih. Batas warna menandakan kedalaman laut, sekaligus menggambarkan ke-kayaan alam yang terbentang landai di depan kampung kecil di Flores, Nusa Tenggara Timur, itu. Warna hijau terkumpul dari rimbun-nya rumput laut, sedang ribuan terumbu karang, tempat berbagai jenis ikan berenang di laut yang jernih, menyemburkan warna putih.
Di belakang kampung, sebuah bukit berwarna merah menjulang. Kemolekan alam Wailago begitu menyolok. Kam-pung di Pulau Besar, se-buah pulau di depan kota Maumere itu juga relatif mudah dicapai. Terletak dalam satu garis lurus dengan Maumere, Wailago bisa digapai da-lam waktu 1,5 jam dari kota terbesar kedua di Pulau Flores itu dengan kapal.
Dengan kecantikan alamnya yang amat berpotensi untuk obyek pariwisata, Wailago bisa diibaratkan barang ber-harga yang digeletakkan tanpa dikawal. Penduduk lokal, si penjaga wilayah, mudah menjadi korban dari pengembang yang tergiur menguasai tanah warga. Me-reka tak berdaya karena 90 persen warga Wailago buta huruf—angka buta huruf tertinggi di Pulau Besar.
Warga Wailago bukannya tidak ingin maju. Pada 1982, di kampung yang terletak di wilayah Desa Koja Doi, Kecamatan Maumere, Kabupa-ten Sikka, Nusa Tenggara Ti-mur, pernah punya sebuah Se-kolah Dasar, tapi karena terjadi salah paham antara orang tua dan guru, kegiatan belajar terhenti pada 1992. Di tahun itu juga, gempa dan tsunami melumat Maumere, juga Wailago.
Penduduk harus menata hi-dupnya kembali. Aktivitas- belajar masuk ke urutan ba-wah. Prioritas ini hampir tak pernah beranjak, apalagi ketika bencana berikutnya tiba: Bukit Merah longsor dan menimbun rumah-rumah mereka pada 2000.
Dengan pola hidup yang se-derhana, buta huruf sebe-narnya bukan sebuah masa-lah di sana. Roda kehidupan terus menggelinding. Seluruh warga kampung—kini ada 200 orang; 40 di antara-nya usia sekolah—bersama-sa-ma mengais kehidupan da-ri ladang dan rumput laut yang dilakoni bergantian setiap enam bulan.
Keahlian berkebun dan bu-di daya rumput laut bisa diajarkan tanpa perlu bersekolah. Alhasil, orang tua pun tidak merasa perlu menyekolahkan anak-anak mereka. Apa-lagi, perjalanan untuk mencapai bangku sekolah tidaklah ringan. Memang, ada bangunan SD dan SMP di Kampung Margajong, 4 kilometer di sebelah timur Wailago—jarak yang pendek untuk seorang anak kampung. Namun, jalan ke sana begitu berliku. Pilihannya, lewat pantai yang sangat curam dan dipenuhi tanaman bakau atau melalui punggung bukit Batu Merah dengan menerabas semak belukar dan batu-batu besar. ”Terlalu bahaya untuk anak-anak melewati jalan seperti itu,” kata Asra, Ketua RT 09 Wailago.
Warga lebih memilih berse-kolah di Kampung Leban-to-ur, juga berjarak 4 kilo-meter- dari Wailago. Hanya ji-ka laut tenang dan air surut,- bocah-bocah Wailago- bisa berse-ko-lah. Dengan berja-lan kaki, ja-rak itu bisa di-tempuh- kurang da-ri satu jam. Rabu dua p-ekan lalu, Tem-po menyak-sikan di ke-re-mangan pagi, beberapa bo-cah meninggalkan rumah un-tuk menuntut ilmu. Hal ini tak bisa mereka lakukan saat laut berombak. Terlalu riskan pergi ke Lebantour, baik berjalan kaki maupun naik sampan.
Warga pernah mengajukan permintaan kepada Dinas Pen-didikan untuk mendirikan sekolah di Wailago, tapi sam-pai sekarang permintaan itu belum terwujud. Kesu-litan bersekolah membu-at hampir 90 persen warga Wailago buta huruf. Dari 40 anak usia sekolah, hanya tujuh anak yang bersekolah di Lebantour. ”Kami tidak ingin anak-anak menjadi orang bodoh, tapi harus bagaimana lagi,” ujar Asra hampir putus asa. Ia sendiri hanya pernah mengecap sekolah sampai kelas 4 SD.
Pertolongan datang dari Saur Marlina Manurung alias Butet Manurung, seorang wanita yang tak pernah lelah berperang melawan buta huruf bagi masyarakat mar-gi-nal. Setelah sukses seba-gai fa-silitator pendidikan untuk suku Anak Dalam di peda-laman Jambi, bersama sejumlah teman Butet mendirikan kelompok penggiat pendidik-an Sokola.
Mereka mengelola sekolah- alternatif di perkampunganperkampungan padat yang war-ganya masih dicengke-ram problem buta huruf. Con-tohnya di Buyang, Kecamatan Mariso, Kota Makassar. Perkampungan itu dihu-ni warga asli Makassar yang terkucil akibat pesatnya pem-bangunan kota.
Persentuhan Butet de-ngan Wailago terjadi pada November 2005 ketika ia sedang berada di Pulau Timor untuk sebuah lawatan. Sejumlah aktivis lembaga swadaya masyarakat bercerita, warga Kampung Wailago masih buta huruf. Butet terusik dan segera mampir ke Wailago.
Kondisi masyarakat yang buta huruf ini sebenarnya tak membuatnya khawatir ji-ka saja warga di sana tidak memiliki akses dengan dunia luar. Kenyataannya, orang luar mudah masuk ke tempat itu, juga sebaliknya. ”Mau tidak mau, interaksi itu akan memunculkan persaingan,” katanya.
Persaingan ini yang dita-kut-kan Butet. Penduduk Waila-go pasti akan kena libas bila tidak dibantu. Maka, empat bulan setelah kunjungan pertama, Butet mengajak rekannya, Dodi Rokhdian dan Junaedi Shalad, ke Wailago. Sam-bil mempelajari budaya ma-syarakat setem-pat, mereka mulai merintis- sekolah alternatif. Untuk mem-berantas buta huruf, Sokola pada awalnya menerap-kan program pen-didikan berjalan- (mobile teach). Mere-ka bertandang da-ri satu rumah ke rumah lain meng-ajar memba-ca dan me-nulis. Warga menyambut de-ngan antusias. Namun, saat itu baru remaja putri yang bisa mereka tangani.
Belakangan, Sokola men-da-pat bantuan dana dari Nu Skin Force for Good Founda-tion, lembaga nirlaba asal Amerika Serikat. Berdirilah bangunan yang dinamakan Rumah Sokola Nu Skin. Ba-ngunan itu tak hanya dijadikan tempat belajar, tapi juga menjadi pusat kegiatan sosial warga Wailago.
Rumah Sokola berbentuk bangunan kayu dua lantai berukuran 9 x 6 meter persegi yang berada di ujung timur Kampung Wailago. Bentuk dan warna bangunan mudah dikenali karena sangat berbeda dengan bangunan-ba-ngunan lain di perkampung-an itu. Hanya Rumah Sokola satu-satunya bangunan berlantai dua yang dibalut warna kuning, merah, dan hijau.
Hampir seluruh warga kampung mendapat pendi-di-kan gra-tis di tempat itu. Setiap hari, dari pagi h-ingga malam, selalu ada yang da-tang untuk belajar. Bahkan bisa dibilang ”murid-murid” di sana terlalu rajin. Mereka selalu datang lebih awal dari jadwal yang sudah disepakati.
”Pintu Sokola selalu terbuka untuk seluruh warga. Kapan pun ingin belajar, mereka bisa datang ke sini,” kata Junaedi. Begitu juga untuk anak-anak yang sudah sekolah di sekolah formal. Mereka bisa datang ke Sokola untuk mengerjakan tugas-tugas sekolah.
”Ini seperti anugerah buat kami,” ujar Asra, yang tak bisa menyembunyikan ke-gembiraannya.
Metode belajar di Sokola- sangat jauh berbeda de-ngan sekolah formal. Sokola l-ebih sering melakukan improvi-sasi. ”Tergantung apa yang mereka butuhkan. Tapi se-telah mereka menguasai ba-ca-tulis,” kata Butet.
Perempuan kelahiran 34 tahun lalu itu terbukti piawai mengajar membaca dan me-nulis. Menggunakan metode yang, menurut dia, sudah terbukti manjur kepada Suku Anak Dalam di Jambi dan war-ga Kampung Buyang, da-lam waktu tiga pekan murid sudah bisa membaca dan menulis.
Tempo melihat sendi-ri ke-am-puhan metodenya. Se-orang gadis yang baru empat pekan mengikuti pelajaran, diminta membaca kata-kata di papan tulis. Meskipun terbata-bata, gadis tadi berhasil membaca lima kata yang ia tulis.
Program belajar yang difasilitasi Sokola rencana-nya akan berakhir Desember men-datang. Untuk mengawal program hingga Desember, Sokola menempatkan dua anggotanya, Oceu Apristawijaya dan Habibi.
Butet berharap, dalam lima bulan sudah muncul fasilitator-fasilitator baru yang berasal dari warga setempat. ”Jadi, mereka bisa mengembangkan diri sendiri tanpa tergantung lagi kepada kami,” katanya.
Meskipun memberikan pelajaran membaca dan menulis, Rumah Sokola tidak menerapkan kurikulum se-perti sekolah formal. ”Kami lebih fokus terhadap pengembangan komunitas,” kata Butet. ”Jadi, potensi yang sudah ada akan digali lebih dalam.”
Butet menilai kesadaran pendidikan warga Wailago masih rendah. Kondisi ini diperparah lantaran kehidupan warga yang teramat miskin. Para orang tua menganggap sekolah tidak bermanfaat langsung untuk menunjang ekonomi keluarga. Mereka lebih suka anaknya membantu pekerjaan di ladang atau di laut daripada membuang waktu belajar di sekolah.
Berangkat dari kondisi itu Rumah Sokola merancang program pendidikan yang berbasis pada potensi asli Wailago. Kelak, setelah kemampuan membaca, menulis, dan berhitung dikuasai, Rumah Sokola berencana meningkatkan keahlian warga untuk mengolah sumber alam di Wailago. ”Sekarang kami masih mencari orang yang mau menyumbangkan ilmunya,” ujar Butet.
Memang, tak sedikit warga Wailago yang mengeluh lantar-an hasil panen mereka tidak memuaskan. Bila hama dan penyakit menyerang, mereka tidak tahu bagaimana mengatasinya. Pengetahu-an praktis seperti itulah yang nantinya akan diberikan Rumah Sokola, termasuk keterampilan mekanik dan menjahit.
Kegiatan Rumah Sokola- -diharapkan bisa memberi dampak langsung untuk men-dongkrak taraf kehidup-an masyarakat Wailago. Se-iring dengan itu, Butet berharap, kesadaran pendidikan warga juga semakin mening-kat. ”Paling tidak, ini bisa menjadi modal mereka untuk bersaing dengan orang-orang dari luar,” katanya.
Butet tak ingin warga Wailago yang pengetahuannya masih rendah terje-rat oleh kemolekan alamnya sen-diri. Wanita ini pernah menjadi saksi saat peristiwa dramatis ini menimpa penduduk Kampung Buyang, Kecamatan Mariso, Kota Ma-kassar. Proyek wisata pantai Losari telah menggusur warga asli yang buta huruf yang tinggal turun-temurun di kawasan itu. Mereka kini hidup terasing di kampung halaman sendiri. ”Jangan sampai hal itu terjadi di Wailago,” katanya.
Suseno (Wailago, Nusa Tenggara Timur)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo