Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
TEMPO.CO, Jakarta - Jurnal Proceedings of the National Academy of Sciences pada Desember 2023 lalu merilis studi soal peningkatan risiko konflik antara gajah dan manusia yang dipicu oleh perubahan iklim dan lingkungan antropogenik lainnya. Studi ini mengkaji bagaimana proyeksi dampak perubahan iklim yang dapat mempengaruhi distribusi dan intensitas konflik gajah Asia dan Afrika.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
Deny Setyo Wibowo, yang melakukan penelitian doktoral perihal gajah Sumatera, mengatakan, perubahan iklim membuat beberapa tanaman sebagai sumber pakan gajah Sumatera jadi langka. Selain faktor iklim, penyebab kerentanan gajah Sumatera adakah makin mengecilnya habitat dan wilayah jelajah karena habitat alami gajah telah dibuka untuk keperluan perkebunan oleh masyarakat.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik disini
"Gajah dengan berat bobot 1 ton lebih, maupun 2 ton. Mereka dalam sehari dalam kondisi normal akan berkeliling di daerah jelajahnya atau home range, dia bisa makan 10-15 persen dari bobot tubuhnya. Bisa dibayangkan jika sekelompok gajah beranggota 10-15 ekor kemudian kebutuhan makan tidak tercukupi, maka mereka bakal mencari area lainnya untuk pakan," kata Deny, pengajar Sekolah Kedokteran Hewan dan Biomedis IPB University itu melalui sambungan telepon dengan Tempo, Senin, 5 Februari 2024.
Kelangkaan pakan ini, kata Deni, memicu peningkatan kasus disorientasi gajah Sumatera. Gajah Sumatera ini kemudian mulai menelusuri habitat lama atau home range terdahulu untuk mencari sumber makanan. "Kemudian gajah-gajah Sumatera ini masuk sampai ke perkebunan warga untuk mencari pakan," ungkapnya.
Soal penyakit, Deny menyebut gajah Sumatera rentan terserang Elephant Endotheliotropic Herpes Virus (EEHV). Penyakit ini banyak menyerang gajah yang masih kecil. "Kita tahu bahwa kehamilan gajah bisa sampai dua tahun. Ketika ada gajah kecil lahir dan mati karena penyakit, itu sangat membuat lelah bagi para pelaku konservasi gajah. Itu jadi tantangan tersendiri dan butuh kesabaran," kata dia.
Deny menambahkan, kerentanan lain dari populasi gajah Sumatera adalah karena perkawinan sedarah. Makin menyempitnya habitat bisa mengurangi keanekaragaman genetika dari gajah Sumatera. "Biasanya keturunan bakal rentan penyakit tertentu. Bisa jadi ada kemandulan, bisa juga stunting, dan sebagainya, itu dipengaruhi kawin sedarah. Itu berisiko bagi satwa liar dengan populasi kecil dan terisolasi pada suatu area," ungkapnya.
Gajah Sumatera, kata Deny, juga terancam akan potensi zoonosis. Makin kecilnya habitat, maka interaksi dengan manusia makin intens. Hal itu membuat gajah rentan terkena penyakit yang berasal dari manusia. "Ada beberapa laporan kasus zoonosis ini. Ada gajah teridentifikasi mengidap tuberkulosis. Walaupun tidak diumumkan secara resmi, itu ada laporan seperti itu. Tetapi itu butuh penelitian lebih lanjut," kata dia.
Sebelumnya, Forum Konservasi Gajah Indonesia (FKGI) mengungkapkan temuan disorientasi gajah yang ditengarai akibat perubahan bentuk habitat atau alih fungsi lahan. Koordinator Wilayah Riau FKGI, Zulhusni Syukri mengatakan, fenomena yang terjadi pada Gajah Sumatera atau Elephas Maximus Sumatranus itu menjadi perhatian, selain soal konflik masyarakat dan gajah.
IRSYAN HASYIM