MEREKA berlarian sepanjang gang. Suara memekik dan senda gurau terdengar ke segala penjuru. Sekali-sekali kedengaran juga suara gedebak-gedebuk. Beberapa anak tampak bersepeda di koridor lantai 2. Koridor lantai 2 ? Memang, anak-anak itu tidak berlarian di pelataran. Mereka bermain di lantai 2 rumah susun Kebon Kacang, Jakarta. Cara mereka bercengkerama tidak berbeda dengan anak-anak seusia mereka yang hidup di kampung kumuh. Kehidupan di blok 3, 4, dan 8 rumah susun itu persis suasana suatu kampung kumuh. Para penghuni di blok itu memang bekas warga kampung Kebon Kacang yang dibongkar untuk pembanunan rumah susun tersebut. Sekitar 160 keluarga kemudian mendapat jatah tinggal di rumah susun itu. Mereka ternyata tetap mempertahankan gaya hidup "kampungan" yang komunal dan guyub di tempat gedongan yang baru itu. Hidup berdesak-desak seperti di kampung lama agaknya juga dipertahankan. Lihat saja flat Rokib bin Tohir yang tinggal di lantai 2 blok 8. Rokib orang Tegal yang bekerja sebagai tukang reparasi jam, dan sejak 1962 tinggal di Kebon Kacang. Ketika rumahnya dibongkar dan rumah susun dibangun ada 1982, ia memperoleh jatah flat seluas 42 m2. Ia membawa adiknya yang telah menikah dan punya dua anak serta keponakannya tinggal bersamanya. Di ruangan 42 m2 itu kini hidup dan tumbuh 13 jiwa. Tampaknya, buat mereka keadaan itu bukan suatu hal yang luar biasa. Malah "Keadaan ini sudah jauh lebih baik," kata Hamid Sidan, Ketua Rukun Tetangga di blok 8. Ia punya lima anak dan tinggal di flat 21 m2. "Dulu di sini, sebelum ada rumah susun, keadaannya rawan sekali. Banyak anak yang teler mabuk-mabukan. Kalau hujan banjir. Anak-anak bermain di sungai. Terlihat ada saling pengertian dan toleransi yang kuat di antara para penghuni blok 8. "Istilahnya, yang jadi milik kita itu yang ada di tembok dalam rumah. Tembok luar itu sudah jadi milik bersama. Di sini penghuni didorong untuk lebih menghargai lingkungannya," cerita Mohammad Toyib, selaku ketua Rukun Warga (RW). Ada bermacam usaha agar warga senantiasa guyub. Misalnya PKK, majelis taqlim, arisan, koperasi, olah raga, atau peringatan hari besar. Menurut Toyib, keadaan di tiga blok yang dihuni bekas warga Kebon Kacang justru lebih baik dan akrab dibanding blok lain. Kalau penduduk asli dicampur dengan penghuni pendatang yang lebih baik perekonomiannya, itu malah akan menimbulkan masalah. "Bisa terjadi kecemburuan sosial, dan terlalu njomplang status sosialnya," katanya. "Biarlah orang asli kumpul orang asli. Pendatang kumpul pendatang. Proyek rumah susun di Indonesia, menurut Menteri Perumahan Rakyat Cosmas Batubara, lebih dimaksudkan sebagai proyek peremajaan kota, terutama daerah kumuh. Penduduk perkampungan itu mempunyai pola hubungan sosial yang sangat intim. Karena itu, desain rumah susun itu dibuat sebagai "kampung bersusun" untuk mempertahankan gaya hidup kampung. "Caranya dengan membangun koridor yang menghubungkan bagian depan hunian," kata Menteri. Bentuk ini sudah dicoba di rumah susun Kebon Kacang. Apakah itu tercapai? Untuk itu, Jurusan Psikologi Sosial Fakultas Psikologi dan Jurusan Arsitektur Fakultas Teknik UI bekerja sama dengan Perum Perumnas, melakukan penelitian di sejumlah rumah susun di Jakarta dan Surabaya. Kesimpulan yang dicapai November lalu menegaskan bahwa ada perbedaan cara hidup penghuni rumah susun dan rumah biasa. Misalnya bagaimana mereka meluangkan waktu senggang. Penghuni rumah datar lebih luas teritorial pergaulannya, berbeda dengan penghuni rumah susun. Buat penghuni rumah susun, ini bisa menimbulkan ketegangan. Untuk mengurangmya, dalam perancangan rumah susun tim peneliti menganjurkan agar lebih banyak adanya kemungkinan interaksi yang lebih intensif di antara para penghuni, misalnya dengan membuat gang atau tangga yang cukup lebar. Dari penelitian itu terungkap bahwa ada peri laku yang berbeda antara masyarakat di rumah susun dan masyarakat rumah biasa. Tentang peri laku seorang ayah, misalnya. Seorang ayah di rumah susun cenderung lebih banyak membina relasi di luar rumah. Sementara itu, yang tinggal di rumah biasa cenderung menerima relasi kerjanya di rumah sendiri. Ini terutama di malam hari. Hal ini mungkin disebabkan suasana di rumah tidak memungkinan ketenangan berdiskusi dengan relasi. Dari sudut arsitektur, tim peneliti menemukan sejumlah kesimpulan. Antara lain: kegiatan-kegiatan dalam rumah tidak harus diakomodasikan dalam ruang khusus. Artinya, jenis ruang tidak perlu lengkap. Karena itu, dianjurkan agar dalam pembangunan rumah susun mendatang ruang tak perlu lengkap (misalnya harus ada ruang tamu), namun harus fleksibel dalam alternatif pemanfaatan kegiatan yang berkembang. Di rumah susun Kebon Kacang, sebuah flat sempit bisa berarti ruang serba guna. Flat Suhanda, yang luasnya 21 m2 dan dihuni 6 orang, misalnya. Bila Suhanda terpaksa malam-malam bekerja lembur menjahit, dua adiknya terpaksa numpang tidur di masjid. Istri dan dua anak Suhanda tertolong karena flat itu tidak dipetak-petak. Cukup dengan memasang lemari penyekat, mercka bisa membangun semacam kamar tidur. Desain yang dirancang Perumnas belum tentu berkenan buat para penghuni. Soal koridor, misalnya, yang oleh Menpera Cosmas dirancang agar mendorong sosialisasi para penghuni. Di blok 1 Kebon Kacang, koridor di lantai bawah, dengan persetujuan semua penghuni, dihapuskan. Soalnya, sembarang orang, tukang sol sepatu sampai tukang koran, bisa melewatinya. Kini koridor itu diganti dengan lalan setapak yang dibuat di bagian tengah plaza yang ada di tiap blok, meski hal itu konon kurang berkenan bagi pihak Perumnas. "Yang lebih tahu manfaatnya 'kan kami yang menghuni. Perumnas 'kan hanya melihat dari jauh," kata Mochsin. Agus Basri, Bachtiar Abdullah (Jakarta)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini