LEDAKAN dahsyat itu terjadi pada 29 Desember 1987 subuh. Lidah api berwarna kemerahan muncrat dari balik "selangkangan" Gunung Mandosawu dan Gunung Ranaka. Mula-mula dikira hutan terbakar. Namun, ledakan beruntun terus terjadi. Esoknya apa yang terjadi baru jelas. "Asap putih mengepul dari longka leke ndereng (lubang tempurung merah)," ujar Cornelis Djulung, warga Kampung Robo, Desa Longko, Ruteng, Kabupaten Manggarai, Flores Tengah. Itulah lubang sumber petaka yang ada di seputar namparnos -- tebing baru hitam - di lereng Gunung Ranaka, Manggarai, Flores, Nusa Tenggara Timur. Ia menyemburkan batu-batu hitam bersuhu 1.200 C dan abu panas dengan suhu 600 C setinggi 6.000 meter. Lelehan lavanya memporak-porandakan tebing jalan ke arah pemancar stasiun microwave di Gunung Ranaka. Juga dua buah jembatan. Pohon-pohon empui dan dhora di hutan lindung, tak jauh, dari lokasi kejadian, langsung menguning. Dedaunan berguguran. Warga penduduk Desa Longko, Nggalak Leleng, dan Mandosawu mulai berarak mengungsi ke Kota Ruteng, sejauh 17 km. Mereka meninggalkan tanaman kopi dan babi peliharaannya. Pemerintah Kabupaten Manggarai, Flores, menjadi sibuk luar biasa. Tim penanggulangan bencana dibentuk, peta daerah bahaya dibagikan, dan latihan evakuasi dipersiapkan. "Ada 5.000 jiwa yang kami minta mengungsi," kata Frans D. Burhan, Bupati Manggarai. Pada 9 Januari, sebuah gundukan batu hitam berbentuk kubah menyeruak. Dan lubang tempurung merah itu kian tertelan bersamaan dengan meningginya kubah. Pada 19 Januari, puncak kubah mencapai 80 meter. Dua hari kemudian menjadi 120 meter. Sabtu 23 Januari silam, kubah batu itu mencapai ketinggian 150 meter -- hampir sejajar dengan puncak Gunung Ranaka, yang ada pada ketinggian 2.350 meter di atas permukaan laut. Sebuah gunung baru telah lahir. Ia kelihatan begitu kekar. Padat. Dengan lingkar badan seluas 400 m2. "Pertumbuhannya memang begitu pesat, 15 meter tiap hari," kata Prof. J.A Katili, Dirjen Geologi dan Sumber Daya Mineral Departemen Pertambangan, yang ikut memantau kejadian langka tersebut. Lahirnya sebuah gunung berapi baru merupakan peristiwa unik. "Ini merupakan suatu peristiwa alam yang amat langka. Istimewa, tiada duanya di dunia," kata Dr. Adjat Sudradjat, yang ikut menyaksikan kelahiran si bayi batu tadi. "Sungguh mempesonakan." Setahu Adjat, tidak satu pun dari semua gunung di dunia yang telah terdaftar, proses kelahirannya memiliki keistimewaan seperti ini. Kini proses itu menjadi tontonan masyarakat di Manggarai. "Ini baru pertama kali terjadi di Indonesia, dan kedua di dunia, setelah Gunung Paricutin di Meksiko," katanya. Paricutin adalah gunung berapi yang secara tiba-tiba pula sontak lahir di dataran ladang jagung, pada 1943. Satu hal yang menarik perhatian Adjat Sudradjat, Direktur Direktorat Vulkanologi dari Bandung, adalah karakter gunung baru ini yang cukup ganjil. Terjadinya justru di daerah yang sudah padam alias mati. Gunung Mandosawu di sebelahnya, misalnya, tergolong gunung yang amat tua, yang telah ribuan tahun tak meletus, dan kondisi bebatuannya pun sudah lapuk. Ini berbeda dengan anak Gunung Krakatau, di Selat Sunda, yang pada 1883 lahir dari "rahim" gunung yang aktif. Menurut Adjat, bayi berapi yang nongol di antara dua gunung itu tak akan mengalami perubahan ketinggian yang mencolok. Sebab, lerengnya terjal. Hingga batu-batuannya berguguran menjadi lantakan kecil yang mengeluarkan gas. Inilah yang biasa disebut letusan guguran. Faktor lain yang menyebabkan gunung baru ini tak akan bongsor adalah tekanan dari dalam bumi yang tidak stabil dan lereng yang sempit. Akibatnya, bebatuan itu berguguran dalam skala radius selebar 30 hingga 50 meter terhitung dari titik awal keruntuhannya. Sebagai contoh, Adjat menyebut terjadinya letusan guguran batu sebanyak 21 kali hanya dalam tempo 4 jam, pada hari ketiga kemunculannya. Ia menyemburkan pancaran gas CO2, SO2, dan CL2. Namun, yang bikin pusing kepala adalah bebatuan yang kemudian teronggok di sepanjang Sungai Waireno dan Waiteko. Artinya, bila turun hujan diperkirakan akan muncul bahaya baru yang tak terperikan. Menurut Thomas J. Casadecall, seorang ahli geologi dari Amerika Serikat yang ikut memantau di lokasi, tumpukan 5 juta kubik lava di kubah dan 5 juta kubik lainnya di lidah lava akan merusakkan jembatan dan jalan-jalan yang menjadi penghubung daerah itu dengan Flores Timur. Dengan demikian, lingkungan setempat akan rusak, dan semburan abu cokelat yang mencapai ketinggian 6.000 meter itu akan mengganggu kesehatan masyarakat. Walaupun sebenarnya dalam jangka panjang daerah itu akan menjadi areal pertanian masa depan. Untuk itulah proses lahirnya si jabang bayi ini dengan seksama disimak oleh sebuah tim vulkanologi dan ahli gunung dari mancanegara. Menurut sumber TEMPO yang ikut terlibat dalam pemantauan itu pertumbuhan Gunung Namparnos - begitulah ia kini disebut -- belum dapat diketahui sampai kapan akan berhenti. Sebab, "Sekarang sudah tak terdeteksi lagi adanya tendensi sesuatu yang bergerak ke atas. Sup magma baru belum tampak, katanya. Hingga akhir pekan lalu, menurut laporan wartawan TEMPO Supriyantho Khafid, yang meninjau ke lokasi, guguran-guguran putih yang membentuk asap putih masih terus tampak di Gunung Namparnos. Kerap terdengar letupan-letupan yang mirip suara mercon. Udara di sekitar bau belerang. Menurut rencana, pos komando tempat memantau yang berjarak 4,5 km dari gunung baru akan dipindahkan 1 km mundur ke utara. Ini demi keamanan. "Sebab, kalau tidak, penduduk akan kembali ke tempat tinggalnya semula untuk menengok tanaman dan ternak mereka," kata seorang petugas. Agus Basri, Sidartha Pratidina (Jakarta), dan Agung Firmansyah (Bandung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini