Di ruang pameran yang ditata dengan gorden tertutup rapat, dilatari kain-kain hitam dan lampu yang disorotkan secara dramatis, bergantungan potongan-potongan kain mengkilap halus. Itulah pameran tenun ikat karya Yusman Siswandi Batubara, di Pusat Kebudayaan Jepang 19--23 Januari yang lalu. Kehadiran sarjana antropologi berusia 39 tahun ini, yang selama ini namanya tersembunyi di balik ketenaran Bin House yang dikenal memproduksi kain tehun sutera, sudah sepantasnya. Karya-karyanya selama ini hanya dinikmati golongan yang cukup eksklusif, para penggemar adibusana dan pengunjung hotel atau restoran tertentu, sebagai penunjang tata ruang yang apik. Dengan bahan baku utama sutera alam, selain linen dan katun yang kesemuanya dipintal dan ditenun oleh tenaga manusia, meski dengan ATBM (alat tenun bukan mesin), ditambah pengolahan desain "ikat" yang kompleks. Ini karena teknik pencelupan yang membuat bagian benang lungsi yang vertikal atau benang pakan, yang horisontal mengalami penolakan warna karena diikat serta, sebelum ditenun. Dan tak heran bila hasil tenun ikat sutera lalu memakan waktu dan biaya. Tapi, rupanya, teknik rumit inilah yang menjadi pilihan untuk ditekuni oleh Yusman Siswandi. Dari perjalanannya melakukan sejumlah penelitian antropologi di berbagai tempat di Indonesia, ia mengumpulkan kain-kain tradisional. Lalu, sejak 12 tahun yang lalu, bersama rekannya Baron Manangsang, ia bereksperimen dengan serat-serat sutera alam hasil hutan dari Sulawesi dan Pati, Jawa Tengah, diilhami perjalanannya ke Muangthai dan Jepang. Kemudian, sekarang, yang bisa kita nikmati di ruang pameran adalah peragaan teknik yang canggih. Terutama pada desain-desain yang asimetris mengalir dan warna-warna pastel yang seakan menyusup kabur, untuk kemudian muncul kembali lapat-lapat. Mudah? Tentu tidak. Coba kita simak penuturan Yusman bagaimana ia memperoleh efek seperti itu.Melewati proses ikat, kain masih dijahit dan dijumput lagi dengan menggunakan benang sutera alam yang berfungsi menolak zat pewarna untuk mendapat ragam hias yang diinginkan, lalu di atas bak berisi zat pewarna kain dicelup di satu sisi sambil dipegang dan pada saat yang tepat diangkat, agar rembesan warna sesuai dengan keinginannya. "Harus pakai feeling, soalnya tidak bisa diulang...," tuturnya. Jadi, pengetahuan teknis penyerapan warna pun sudah harus jadi perhitungan. "Lima belas persen adalah suatu surprise ...." Yusman mencoba merinci seberapa jauh ia bisa membayangkan hasil akhirnya. Berbeda dengan kain-kain tenun ikat tradisional yang umumnya diikat pada benang lungsi, Yusman banyak menggunakan ikat pakan, dengan alasan tipisnya material sutera yang digarapnya. Bersinggungan dengan para perancang mode dan tata ruang yang banyak menginginkan jatuhnya sutera yang lemas, luwes, memang cenderung membuat karya-karya Yusman jadi cantik. Komposisinya memenuhi kaidah-kaidah seni rupa yang lazim -- harmonis, serasi. Lihat karya yang dalam katalogus disebut sebagai persembahan utama, berjudul Landscape of Java. November lalu karya itu berhasil meraih Japan Foundation Award dalam International Textile Design Contest di Tokyo. Sebuah komposisi asimetris abu-abu, kuning pucat, dan ungu yang di permukaan dibubuhi print dengan prada emas motif truntum, parang, dan kawun, yaitu ragam hias batik yang anehnya di sini terlihat berbau Jepang, mirip lambang-lambang heraldik yang dimiliki oleh keluarga-keluarga bangsawan Negeri Matahari Terbit itu. Kehadiran warna-warni sintetis yang cemerlang dan memberikan kemungkinan-kemungkinan harmoni warna nontradisional memang menggairahkan . Itu, kalau tak bisa disebut "ayu". Namun, terasa bobot dan kepekaan warna-warna kain ikat tradisional yang sering kusam tak lagi hadir. Semuanya nyaris cair. Upaya mencari pola-pola yang keluar dari bentuk banji dan rhomboid jadi mirip kain tweed -- sementara motif kupu-kupu jadi kekanak-kanakan. Kecuali pada sebuah kain pola geometris. Itu karena teknik ikat ganda berwarna hitam putih dan abu-abu, mirip motif kimono petani Jepang, dengan pengulangan teratur, tapi di sana-sini ada ketidaksamaan yang menyentuh dan manusiawi. Sederhana tapi kesannya mahal. Banyak penemuan kecil yang mungkin terlewatkan oleh perancang lain, misalnya paduan benang hltam dan putlh yang menghasilkan warna keperakan, menandakan kccermatannya. Seperti juga penemuan teknik warna-warna yang menyusup dan mengalir, dan komposisi asimetris yang tak ada sebelumnya, telah banyak memperkaya khazanah seni tenun Indonesia modern. Sebagai alternatif ekspresi dengan menggali teknik-teknik dan media tradisional, di situ Yusman banyak berperan. Ananda Moersid
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini