Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Arsitektur

Kain kapal di tengah lusi

Profil perajin tenun: Yusman Siswandi batubara dan H. Abdul Kadir Muhammad. Masing-masing memperkaya desainnya dengan motif yang khas. Karya Yusman dipamerkan di pusat kebudayaan Jepang, Jakarta.

30 Januari 1988 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KAIN tenun tradisional kini diperkaya oleh Bin House, sanggar tempat Yusman Siswandi Batubara menggarap motif baru. Setelah menggaet penghargaan Japan Foundation dalam kontes desain tekstil internasional, di antara 17 motif kain yang ia desain, selama sepekan, dipamerkan di Pusat Kebudayaan Jepang, Jakarta. Berbagai corak, tekstur, dan komposisi warna, dengan bahan dari sutera, sebelumnya melahirkan ratusan motif, hasil dari tangannya. Sebagian besar laku di luar negeri, terutama Jepang dan Amerika, dengan menitipkannya pada eksportir kerajinan tangan. Sebagaimana proses kerja tradisional, mula-mula ia memintalnya menjadi benang, mewarnainya, lalu menyusun motif, belakangan menenunnya dengan loom atau alat tenun bukan mesin (ABM). Sebulan ia menenun 500-600 meter. Harganya Rp 20.000 sampai Rp 60.000 per meter, tergantung halus tidaknya. Ia juga menenun kain penghias dinding kantor atau hotel, seperti Landscape in Java itu, yang harganya Rp 1 juta. Ini pameran kedua sejak 10 tahun lalu, tatkala ia mulai menekuni tenun-menenun. Yang pertama di Jepang, November lalu. Sepentas karya Yusman mirip tenun Sumbawa. Desainer lulusan antropologi FS-UGM ini, kendati pernah mengembara ke bcrbagai daerah penghasil tenun, mengaku tak pernah membajak motif tradisional. "Saya tidak ingin karya saya menyebabkan produk tradisional tak laku, tapi memperkaya khazanah kerajinan tenun," katanya. Yusman, perajin modern (dengan produk tradisional) ini, ternyata bukan satu-satunya orang yang belajar dari tradisi rakyat. Di Pekalongan, ada seorang kakek yang melestarikan pelepai, tenun tradisional Krui, Lampung Selatan, yang nyaris punah. Bermula dari selembar kain sobek ukuran 70 x 90 cm. Kain kuno itu pada 1975 dibawa Irwansyah, kepada H. Abdul Kadir Muhammad di Pekalongan. Pedagang asal Padang itu memesan pelepai kepada Kadir, kini 66 tahun, yang sejak berusia 22 menekuni pertenunan dan sempat mengenyam pendidikan formal hal pertenunan di masa penjajahan Belanda, di Semarang. "Teknik tenun kain pelepai itu rumit luar biasa. Menenunnya harus sabar, tekun dan teliti," katanya. Tukang tenun yang tidak berjiwa seni, katanya pula, sulit menenun kain yang juga disebut kain kapal-karena motifnya kebanyakan memang gambar kapal tradlsional. Dengan tekun ayah 11 anak itu mempelajari kain kapal itu. "Bahan bakunya benang pintalan tangan, yang hanya memiliki empat warna: biru indigo, merah hati, cokelat kemerah-merahan, dan kuning tua, yang juga biasa disebut warna kunyit busuk," tuturnya. Lalu ia mulai membikin duplikat pelepai yang di Lampung dulu biasa ditenun para wanita dan digunakan untuk upacara adat. Kadir memesan bahan baku dari Desa Tumanggal, Purbalingga, Jawa Tengah. Ketika pertama kali menenun, ia menyuruh dua tukang tenunnya memperhatikan caranya. Setelah dua bulan suntuk menenun, hasilnya sama persis dengan pelepai asli. Kini delapan di antara 25 tukang tenun di "Ridaka" sudah bisa menenun kain kapal. Dan di Pekalongan, kota tenun itu, hanya perusahaan milik Abdul Kadir itu yang memproduksi pelepai. Untuk menenun kain kapal, digunakan ATBM. Menenunnya dengan sistem yang disebut "upahan loncat". Caranya: jika menenun kain biasa digunakan sekoci untuk memasukkan pakan, benang melintang, ke sela-sela lusi atau benang membujur, maka untuk menenunpelepai, sekoci tidak digunakan. Alat ini hanya dipkai untuk merapatkan benang. Satu per satu benang pakan dimasukkan ke dalam lusi dengan tangan, mulai dari lusi paling kanan terus ke lusi sebelah kiri. Begitu seterusnya, hingga terbentuk gambar yang diinginkan. Kadir hanya memproduksi pelepai bila ada pesanan -- biasanya dari para pedagang asal Padang atau kolektor asing asal Amerika atau Australia. Mereka biasanya memesan 2-3 potong, itu belum tentu setahun sekali mereka datang. Jadi, boleh dikata produksi "Ridaka" amat langka, sebab selain proses menenunnya lama, biaya pembuatannya mahal. Pelepai ukuran 70 x 90 cm bisa makan waktu sebulan (harganya sekitar Rp. 900.000, ukuran 70 x 200 cm, dua bulan (Rp 1 juta), sedang yang 70 x 300 cm, 1 bulan (Rp 5 juta). Jelas, yang paling beruntung tentu para pedagang. "Sebab, pelepai produksi saya itu mereka jual lagi sebagai barang antik," ujar Kadir. Sebelum dijual lagi, pelepai Pekalongan itu oleh para pedagang "dituakan", hingga warnanya seperti kain kuno. "Saya tak bertanggung jawab atas proses penuaan itu, juga penjualannya sebagai barang antik. Kain buatan saya hanya motifnya saja yang kuno," tambahnya. Ada lagi yang bikin kesal. Awal tahun lalu -- tanpa diketahuinya tiga penenunnya dibajak dan dipekerjakan selama sembilan bulan di Lampung. Mereka mengajar para penenun di sana, sebab konon para penenun di daerah asal pelepai itu sudah lupa dengan kerajinannya sendiri. "Dulu ada rcncana mendatangkan perajin Lampung ke Pekalongan untuk belajar, tapi urung. Malah tukang tenun saya yang dibawa ke sana. Dan tidak benar kalau Pemda Lampung pernah mengundang saya untuk mengajar para perajin di sana," kata Kadir. Kendati demikian, Kadir tak bergeming. Bukan hanya mampu memproduksi kain kapal, Kadir kini malah sudah menguasai proses pembuatan sekitar 20 jenis kain tenun. "Itu saya pelajari dari buku-buku asing yang memuat berjenis-jenis kain tenun tradisional Indonesia," katanya. Ketua Koperasi Kerajinan Tenun Tangan Pekalongan ini pada 1955 sempat berkunjung ke AS, Swedia, Jerman, Belanda, Jepang, selama delapan bulan, untuk memperdalam teknik tenun cetak saring. Dia pula orang pertama yang menciptakan handuk dengan nama pemesan pada 1952. Berkat ketekunannya di bidang ini, pada 1985 pemerintah RI menganugerahkan Penghargaan Upakarti. Setahun kemudian salah satu hasil karyanya, berupa tas dari gedebok, memenangkan hadiah pertama dalam sayembara cendera mata nasional, di Jakarta. Gedebok atau batang pisang yang dalam kehidupan sehari-hari tak berguna itu bisa pula ia sulap jadi dompet, sandal, tirai pembatas ruangan. Kadir memang kreatif. Begitu pula nama perusahaan yang juga mencerminkan kreativitas: "Ridaka". Itu kebalikan ejaan namanya, A. Kadir. Priyono B. Sumbogo, Heddy Lugito

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus