Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Poin penting
Peneliti Monash University mendapati rendahnya kepedulian generasi Z di Jakarta, Yogyakarta, dan kota-kota lainnya.
Hal ini berbanding terbalik dengan antusiasme anak muda dunia untuk memperbaiki kondisi lingkungan.
Disebabkan, di antaranya, anak-anak muda di Indonesia dihadapkan pada tuntutan kerja dan ekonomi.
Di tengah ingar-bingar gerakan anak muda global, seperti Fridays for Future di Swedia, Generation Zero di Selandia Baru, atau Youth for Climate Movement di Belgia, saya merasa skeptis, kurang percaya, dan ragu-ragu terhadap tingkat partisipasi anak muda di Indonesia dalam kegiatan pro-lingkungan.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Beberapa penelitian sebelumnya, misalnya yang dilakukan oleh Indikator, lembaga survei yang bergerak di bidang politik dan kebijakan publik, pada 2021, menyatakan bahwa anak muda Indonesia peduli terhadap masalah iklim.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Tulisan Aulia Dwi Nastiti, kandidat doktor dari Northwestern University, Amerika Serikat, serta Geger Riyanto, dosen di Universitas Indonesia, juga menyatakan bahwa anak muda peduli terhadap iklim dengan melakukan konsumsi ramah lingkungan.
Namun temuan penelitian yang saya lakukan pada 2021 dengan partisipan di Yogyakarta, Jakarta, Bogor, Bandung, Cirebon, dan Denpasar menunjukkan hal sebaliknya, yaitu masih rendahnya antusiasme Gen Z di Jawa dan Bali terhadap isu lingkungan.
Penelitian tersebut mencari tahu alasan-alasan di balik perilaku Gen Z—anak muda yang lahir antara 1997 dan 2012 atau saat ini berusia 11-26 tahun—untuk peduli atau tidak peduli terhadap kegiatan yang pro-lingkungan.
Dalam penelitian ini saya melibatkan tiga kelompok mahasiswa berusia 18-21 tahun. Tiga kelompok ini dipilih berdasarkan pengalaman mereka, yaitu sudah berpengalaman sebagai sukarelawan dalam kegiatan lingkungan, merupakan pemengaruh (influencer) yang pernah terlibat dalam pembuatan konten lingkungan, ataupun mahasiswa biasa.
Aksi Global Climate Strike di hutan kota Kampung Cibarani, Bandung, Jawa Barat, 15 September 2023. TEMPO/Prima Mulia
Peran Diri dan Lingkungan
Dari hasil penelitian tersebut, saya melihat beberapa faktor yang menghambat kontribusi Gen Z dalam kegiatan pro-lingkungan.
1. Tekanan pribadi
Gen Z cenderung memiliki banyak mimpi dan ambisi yang membuat mereka tenggelam dalam kesibukan. Selain berkuliah, Gen Z bekerja paruh waktu, magang, membuka bisnis, atau sibuk di organisasi kampus sehingga kegiatan yang dirasa tidak menguntungkan menjadi beban bagi aktivitas keseharian mereka.
Wajar, seorang peserta menyebutkan bahwa waktu merupakan hal yang sangat berharga sehingga mereka tidak mau menghabiskan waktu dengan berjalan kaki.
Beberapa artikel juga menyatakan bahwa Gen Z sangat individual dan mementingkan diri mereka sendiri. Namun penelitian saya menunjukkan bahwa tekanan untuk sukseslah yang mendorong mereka bersikap seperti itu.
Artinya, kita perlu menilik kembali strategi komunikasi pro-lingkungan untuk Gen Z, yaitu dengan menekankan pesan-pesan yang menguntungkan bagi anak muda, baik untuk saat ini maupun di masa depan.
2. Pengaruh lingkungan sekitar dan tekanan sosial
Keluarga, teman, dan komunitas menjadi pengaruh utama perilaku Gen Z. Perilaku pro-lingkungan bisa dengan mudah terbentuk saat mereka berada dalam lingkungan yang positif.
Gen Z yang tinggal dengan keluarga yang memahami isu lingkungan lebih berpeluang melakukan praktik-praktik positif dan sederhana, seperti mematikan lampu sebelum bepergian atau menggunakan AC dan air seperlunya.
Di sekolah, mereka akan melakukan perilaku pro-lingkungan saat teman-temannya melakukan hal yang sama. Mereka akan terdorong untuk melakukan hal-hal yang baik, seperti membawa botol air minum isi ulang atau bekal dari rumah, apabila memiliki "teman" yang berperilaku sama.
Hal ini menegaskan betapa Gen Z memiliki kesadaran norma sosial yang tinggi. Artinya, mereka sangat peduli terhadap pikiran orang lain akan diri mereka.
Seorang partisipan, contohnya, berhenti berjalan kaki karena tetangganya mengatakan “sayang kalau kepanasan, apalagi kulitmu putih begitu”. Dalam cerita yang lain, rajin berjalan kaki juga bisa menimbulkan komentar “pelit” atau dianggap tidak mau mengeluarkan uang untuk membeli bensin. Komentar-komentar negatif ini muncul karena adanya ketidakpahaman sosial tentang pentingnya kegiatan pro-lingkungan.
Gerakan peduli kebersihan dengan memungut sampah plastik di Pantai Padang Galak, Denpasar, Bali, 16 September 2023. ANTARA/Nyoman Hendra Wibowo
Apa Solusinya?
1. Pendidikan kesadaran lingkungan secara formal ataupun nonformal
Dalam konteks formal, pemerintah, melalui beberapa kementerian terkait, sudah melakukan inisiasi penting. Misalnya membuat kesepakatan bersama antara Menteri Negara Lingkungan Hidup dan Menteri Pendidikan Nasional Nomor 03/MENLH/02/2010 serta Nomor 01/II/KB/2010 tentang Pendidikan Lingkungan Hidup. Pada 2013, Menteri Pendidikan dan Kebudayaan juga menerbitkan Peraturan Menteri Nomor 81A/2013 untuk mendorong program sekolah berbasis lingkungan di Indonesia.
Sayangnya, program ini masih belum menemukan titik terang, yang di dalamnya praktik pro-lingkungan terbatas pada hafalan limbah dan polusi. Salah seorang partisipan dari Cirebon, Jawa Barat, mengaku:
“Saya hanya menghafal jenis-jenis polusi dari pelajaran biologi, tapi pengalaman tentang polusi baru saya dapat saat mulai indekos di Yogyakarta.”
Hal ini diamini oleh teman-temannya yang lain.
Selain pendekatan formal, penelitian ini menunjukkan nilai-nilai baik yang bisa dibangun melalui pendidikan nonformal. Beberapa partisipan, misalnya, mengaku mendapatkan ilmu dan praktik pro-lingkungan, seperti kegiatan menanam pohon dan pentingnya merawat alam, dari kegiatan gereja dan masjid.
2. Menggunakan pendekatan budaya populer
Gen Z merupakan generasi yang lebih familier terhadap isu lingkungan saat membacanya di majalah, situs web, media sosial, ataupun film. Hal ini, antara lain, diungkapkan salah satu partisipan yang menyebutkan bahwa:
“Saya paham tentang banjir dari film Leonardo di Caprio.”
Mendekati Gen Z memang tidak bisa menggunakan cara-cara lama. Program yang bersifat mekanistik, yaitu ditentukan oleh pemerintah atau pihak sekolah tanpa melibatkan kebutuhan dan keinginan siswa, tidak akan sukses untuk kelompok ini.
Kegiatan pro-lingkungan harus didesain oleh dan untuk anak muda itu sendiri. Pihak lain, seperti guru, pemerintah, atau pemilik dana, bisa mengarahkan dan mengawasi prosesnya. Selain itu, kegiatan pro-lingkungan bisa menggunakan media populer sebagai sarana edukasi. Bagaimanapun, bagi Gen Z, fotografi, musik, atau cerita menjadikan informasi pro-lingkungan lebih ringan dan mudah diingat dibanding tumpukan buku pelajaran.
---
Artikel ini ditulis oleh Ina Ratriyana, kandidat doktor Jurusan Film, Media, dan Jurnalisme di Monash University, Melbourne. Terbit pertama kali di The Conversation.