Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
TEMPO.CO, Jakarta - Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Padjadjaran (Unpad), Yayan Sumekar, menyarankan pengendalian gulma secara terintegrasi untuk menekan kerugian pertanian. Pertumbuhan tanaman liar yang tidak terkendali berpotensi menggerus jumlah dan kualitas hasil panen, serta mendatangkan hama. Kerugian tersebut belum termasuk gangguan agronomi, berkurangnya penggunaan ekonomis perairan, bahkan menambah ongkos petani.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
“Kalau kita mengendalikan gulma di awal, persentase hama penyakit yang hadir juga mungkin saja lebih sedikit dibandingkan membiarkan gulma hadir,” kata Yayan, dikutip dari Kanal Media Unpad pada Selasa, 26 Maret 2024.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Secara teknis, kata Yayan, pertumbuhan gulma akan berkurang jika lingkungan biologisnya dirusak, misalnya dicabut atau dipotong menggunakan alat khusus. Namun, cara itu tak efektif untuk lahan yang luas.
Metode pengolaan budidaya pada area tanam biasanya sudah dilengkapi dengan strategi pengendalian gulma. Dalam pengelolaan budidaya, umumnya terdapat rotasi tanaman untuk memutus siklus hidup hama, penyakit, serta gulma. Pengaturan jarak tanam juga perlu diperhatikan agar tidak terlalu jauh atau terlalu dekat.
Guru Besar bidang Ilmu Persistensi Herbisida Unpad itu juga mengungkit metode biologis untuk mengurangi ancaman gulma. Caranya dengan memakai bantuan makhluk hidup, seperti kerbau, sapi, kambing, bahkan mikroba atau organisme yang sangat kecil.
Di luar taktik tersebut, masih ada metode pemberangusan gulma dengan bahan kimia, yakni herbisida. Namun, cara ini berisiko jika tidak diterapkan dengan benar. Beberapa risikonya adalah keracunan pada manusia dan hewan, residu dan persistensi herbisida, serta munculnya resistensi atau kekebalan gulma terhadap salah satu jenis herbisida.
“Sebenarnya herbisida digunakan sebagai alternatif terakhir,” tutur Yayan. “Tapi, (petani) di berbagai lokasi saat ini cenderung langsung menggunakan herbisida karena biaya dan waktu yang digunakan lebih sedikit dibandingkan cara mekanik.
Untuk metode bahan kimia, petani harus mengenali jenis gulma, kemudian memilih dan memakai kaherbisida di waktu yang tepat. Senyawa itu tidak cocok dipakai di malam hari. Penyerapan hebrisida oleh tanaman juga tergantung cuaca. Tanaman sebaiknya tidak terkena hujan minimal 4 jam setelah penyemprotan.
Penggunaan dosisnya pun harus sesuai dan disebarkan secara merata. “Banyak kejadian di lapangan petani sudah tidak memakai takaran lagi, sehingga kalau dihitung bisa dua atau tiga kali lipat dari dosis rekomendasi. Itulah yang membahayakan,” kata Yayan.
Pilihan Editor: Kongres Drone akan Diadakan di Cina pada Mei 2024