Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
LI Pradobkay meramu sendiri sesajen yang terdiri dari seekor ayam, arak putih, tepung manis, dan pisang. Kemudian ditaruhnya di atas selembar sarung kotak-kotak. Ayam utuh yang mati karena lehernya dipuntir Li itu kemudian paruhnya dibuka. Dari situ, tampak warna lidahnya yang konon bisa meramalkan apakah Kartijah akan menjadi murid yang pintar atau tidak. Li, 52 tahun, salah seorang dari dua pawang gajah Muangthai yang kini ada di suaka margasatwa Way Kambas, Lampung, kemudian mengucapkan mantra-mantra dalam bahasa ibunya. Setelah itu, bumi diciumnya berkali-kali. Kemudian seutas tali yang juga telah dimantrainya diikatkan ke leher Kartijah. Dan Kartijah, nama gajah berusia dua tahun itu, setelah kuping-nya diusap dengan sebilah besi pendek yang ujungnya mirip gancu - konon besi ini merupakan jimat penjinak - menjadi tidak liar lagi dan tenang. Mungkin Kartijah memang menjadi jinak. Atau lapar tanpa daya karena setelah ditangkap ia dibawa ke lapangan tempat latihan. Di tempat itu, tiga hari ia dibiarkan lapar dan haus. Di saat fisik Kartijah lemah itulah Li datang memperkenalkan diri sambil memberinya makan dan minum. Selain Kartijah, di tempat pendidikan itu yang berlangsung sejak akhir bulan lalu, ada empat ekor gajah. Sekolah itu berlangsung empat jam setiap hari. Selebihnya, para gajah dibiarkan istirahat, mengenal lingkungan, dan makan dengan menu khusus, seperti rumput, pisang, batang pisang, garam, susu, dan beberapa vitamin. Hasilnya, setelah tiga hari saja, ternyata sudah ada. Mereka telah bisa disuruh angkat kaki kiri dan kanan bergantian serta mengacungkan belalainya. Bahkan di punggungnya kadang-kadang bertengger seorang bocah, yang bagaikan penggembala kerbau dengan gembiranya menepuk-nepuk leher gajah-gajah itu. Li Pradobkay dan temannva, Viroj Siri Umagul, adalah pawang yang berasal dari Desa Lampang, 70 km dari Chiangmai, Muangthai. Li bercerita bahwa ia telah menekuni profesinya ini, menangkap dan melatih gajah, selama 35 tahun. Di negeri mereka diperkirakan ada 2.500-4.500 ekor gajah yang berkeliaran di hutan-hutan, dan hidupnya dilindungi oleh undang-undang setempat. Tapi di sana, sebagai satwa lindung, gajah tak dibiarkan begitu saja, melainkan juga dimanfaatkan untuk tujuan lain yang punya nilai ekonomi (mengangkur kayu, logging) atau sosial budaya (tunggangan dan atraksi turis). Dan memang inilah yang ingin ditiru Indonesia dari negeri tetangga itu. Sebab, dengan cara menggiring binatang itu ke tempat khusus, seperti yang dilakukan selama ini, tetap saja tak menyelesaikan soal. Selama ini operasi penggiringan gajah (liman) telah dilakukan tiga kali di tiga tempat yang berbeda: Operasi Ganesha di Air Sugihan, Sumatera Selatan (Desember 1982), operasi Tata Liman di Way Kambas, Lampung Tengah (April 1984), dan Po Meurah di Aceh Utara Uanuari 1985). Menurut Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) Rubini Atmawidjaya, operasi penggiringan itu, "Dari segi teknis, berhasil." Tapi hal itu tetap dirasa kurang efektif. Gajah yang digiring ternyata kembali ke kawasan perladangan penduduk. Seakan musnah percuma biaya yang pada operasi Ganesha misalnya menghabiskan ongkos Rp 200 juta. Suatu tindakan untuk menciptakan tata habitat yang damai antara manusia dan gajah perlu diambil. "Nantinya, gajah harus bisa berdampingan dengan manusia, seperti sapi atau kerbau," tambah Rubini. Kapan? Ia memperkirakan, sembilan tahun yang akan datang "perang" antara manusia dan gajah akan berakhir tanpa harus memusnahkan satwa lindung itu. Karena itu, kedua pawang Muangthai itu bukan hanya bertugas mendidik gajah, tapi juga mendidik pawang-pawang Indonesia. Target tahun ini, 20 orang pawang akan dicetak Li dan Viroj. Calon-calon pawang bisa dari tenaga Polsus Subbalai Konservasi Sumatera atau penduduk biasa yang berminat. Akan halnya gajah, target pertama cuma 6-10 ekor yang "sekolah". Jumlah gajah liar di Sumatera, menurut perkiraan ada 2.500 sampai 3.000 ekor. Itu sebabnya gajah-gajah yang sudah dididik tadi juga mempunyai tugas membawa teman-temannya yang masih liar. Sehingga dari Tata Liman dan Bina Liman, "Kita akan sampai ke Guna Liman," demikian Rubini. "Di saat itulah kita baru berani menjual gajah kita. Tapi saya tak mengatakan bebas tangkap dan boleh dijualbelikan." Sebab bukan saja undang-undang melindungi satwa itu (Dieren Bescherming Ordonnantie 1931), tapi SK Menteri Kehutanan (No. 86/Kpts-11/83) juga telah mengatur satwa lindung ini. Antara lain, hanya kepala negara yang boleh mengoper satwa ini sebagai hadiah atau untuk kepentingan ilmiah dan kebun binatang, atau, kalau keseimbangan populasinya terganggu, dengan izin dari pejabat yang berwenang, suatu tindakan perlu diambil. "Jalan terbaik, sekolahkan mereka," ujar Rubini lagi. Upaya memanfaatkan gajah sebenarnya sudah lama dipikirkan Dirjen PHPA (Perlindungan Hutan dan Pelestarian Alam) itu. Ide ini timbul ketika Rubini tahun lalu berkunjung ke Burma dan Muangthai. Kebetulan, pawang gajah dari Burma, U Myoswe, yang juga jadi konsultan KLH PBB di Bangkok berkunjung ke Indonesia. Pendapat U Myoswe bahwa penjinakan gajah Sumatera (Elephus maximus Sumateranus) dapat dilakukan karena serumpun dengan gajah-gajah yang ada di Asia Tenggara. Waktu itu sudah disiapkan 12 orang Burma, mulai dari penembak bius sampai pelatih. "Tapi pemerintah Burma tidak mengizinkan mereka berangkat ke Indonesia," tutur Djoko Sationo, kepala Seksi Konservasi Luar Kawasan Ditjen PHPA dan juga sekretaris Proyek Pusat Latihan Gajah. Akhirnya pilihan pun jatuh pada pawang dari Muangthai itu. Keduanya, yang disertai seorang penerjemah, mendapat gaji sekitar US$ 500 seorang sebulan, untuk enam bulan pertama. Toeti Kakiailatu Laporan Hasan Syukur (Bandung) dan Effendi Saat (Lampung)
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo