Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
DIKAWAL mobil polisi, 13 potong puing pesawat B-747 JAL yang jatuh di Gunung Osutaka, 12 Agustus, diangkut ke Mitaka, Tokyo, pekan lalu. Di situ, di Lembaga Teknologi Penerbangan dan Ruang Angkasa Jepang, sebuah tim khusus Unyusho (Kementerian Perhubungan) akan melanjutkan penelitian untuk menyimpulkan penyebab kecelakaan yang membunuh 520 jiwa itu. Tetapi, tiga hari sebelumnya, Komisi Penyelidikan Kecelakaan Udara Unyusho menyiarkan laporan yang cenderung mempersalahkan Boeing, pabrik pembuat pesawat B-747 itu. Ini adalah laporan kedua yang disiarkan kepada publik - laporan pertama, 27 Agustus lalu. Dalam laporan setebal 12 halaman itu, komisi menyebutkan, "Reparasi yang tidak teratur telah dilakukan pada bagian aft pressure bulkhead (sekat buritan bertekanan tinggi) pesawat B-747 itu." Ini terjadi ketika pesawat malang itu diperbaiki di bengkel Boeing di Seattle, AS, setelah mengalami kecelakaan pendaratan di bandar udara Osaka, 2 Juni 1978. Boeing sendiri, dalam suratnya kepada JAL, 6 September lalu, mengakui keteledoran itu. Namun, mereka tidak sepakat bila kekeliruan itu dihubungkan langsung dengan kecelakaan terakhir. Mereka juga menyatakan belum menemukan bukti problem desain dasar dan integritas struktural dari hampir separuh armada B-747 yang sudah diperiksa setelah bencana Osutaka. Sekat yang jadi perkara ini berbentuk payung dengan garis tengah 4,55 m. Ia memisahkan kabin, yang mampu menerima tekanan tinggi (pressurized), dengan baglan ekor sayap pesawat yang tidak bertekanan (unpressurized). Sekat ini terdiri dari 36 panel lengkung bersudut uga, yang tumpang tindih dan diklem, untuk menjamin kekuatan. Sebagai tambahan, dipasang sebilah logam penyambung. Kemudian, kedua panel dan bilah penyambung dikeling (diikat) sehingga kekuatannya berlipat ganda. Menurut Boeing, pada reparasi 1978 itu, "Sebuah seksi yang relatif kecil dari bilah penyambung ini dirakit secara tidak tepat." Seorang staf JAL memang hadir ketika pesawat diperbaiki. Tetapi, "Staf teknik kami hanya memeriksa tempat-tempat yang pecah dan kelainan sekrup," kata Hiroaki Kono, direktur divisi pemeliharaan JAL, kepada Seiichi Okawa dari TEMPO. Kini, justru "perakitan yang tidak tepat" itulah yang hangat dipersoal-kan. Untuk bilah penyambung, entah mengapa, bengkel Boeing menggunakan lembaran logam yang kurang panjang. Akibatnya, terdapat celah di antara sambungan. "Celah ini mengurangi daya dan memudahkan kepatahan," kata Jiro Kouo, guru besar Universitas Tokai, dan anggota komisi penyelidik. Karena celah itu pula, sambungan hanya menggunakan sebaris keling. Padahal, seharusnya dua baris. "Kekeliruan yang dilakukan pekerja Boeing ini sungguh sulit dibayangkan," kata Hiroaki Kono. Komisi juga melapor-kan, foto-foto mikroskop elektron memperlihatkan parut-parut mikro yang mengisyaratkan kejenuhan logam. JAL mengaku tidak melakukan pengecekan ulang setelah reparasi 1978 itu. Rekomendasi mengenai hasil perbaikan dikeluarkan oleh kantor penerbangan federal AS (FAA), yang juga memberikan sertifikat kelayakan terbang, atas permohonan Boeing. "Mestinya, beberapa cacat yang kami temukan sekarang sudah dilihat para pekerja bengkel pada 1978 itu," kata Shiro Oshima direktur rekayasa penerbangan Unyusho. Memang, pada beberapa puing bagian ekor pesawat nahas itu, komisi penyelidik Unyusho menemukan lima lekukan abnormal. Dua di antaranya pada bagian bawah sekat yang dulu diperbaiki Boeing. Tiga lainnya di bagian atas, masing-masing sedalam 2 mm, dengan garis tengah sekitar 20 cm. Pada tempat bekas diperbaiki paling tidak ditemukan 17% bagian yang tidak dipasang secara tepat. Secara langsung, Unyusho memang belum menuding kesalahan reparasi ini sebagai penyebab tunggal kecelakaan. Namun, Boeing juga bukannya tidak merasa bersalah. Kepada seluruh langganan B-747, maskapai raksasa itu sudah mengimbau agar dilakukan pemeriksaan ulang khusus pada bagian ekor semua B-747 yang pernah direparasi Boeing. Di Jepang sendiri, setelah kecelakaan penerbangan terbesar di dunia itu, Unyusho menemukan luka ekor pada 26 dari 69 pesawat B-747 yang beroperasi di negeri itu. Pada enam B-747, ditemukan 31 sekrup yang longgar. Kebetulan, keenam pesawat itu milik JAL. Di sembilan pesawat B-747 lainnya, 15 sekrup ditemukan patah. Setelah kecelakaan 12 Agustus itu, JAL mencatat 15 kasus penerbangan abnormal. Terakhir 11 September lalu, ketika sebuah B-747 terperangkap kantung udara di sekitar Hawaii, AS. Meski tak berakibat buruk seperti tragedi Osutaka, 37 awak dan penumpang menderita luka.
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
- Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
- Akses penuh seluruh artikel Tempo+
- Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
- Fitur baca cepat di edisi Mingguan
- Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo