Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Lingkungan

Hama itu lolos dari karantina

Sekitar 4.500 hektare tanaman cokelat di buol, tolitoli, digerogoti hama penggerek conomorpha, yang diduga masuk dari sabah, malaysia. kerugian petani ditaksir mencapai rp 45 miliar.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

KEBUN cokelat di Sulawesi Tengah telah diobrak-abrik hama penggerek. Tak tanggung-tanggung pula. Sekitar 4.500 hektare tanaman cokelat di Kabupaten Buol Tolitoli habis dirontokkan hama conomorpha, yang masuk ke sana dari Tawao, Sabah, Malaysia. Untuk mencegah penularan yang lebih luas, beberapa waktu lalu buah cokelat yang terserang hama ''diijon''. Sampai pekan lalu sudah berton-ton buah cokelat mentah ''dirampas'' (dipetik sebelum cukup umur) lalu dimusnahkan. Hama conomorpha, yang selama ini selalu menyerang perkebunan cokelat di Tawao, sejak dulu ditakuti para petani. Hama penggerek tersebut menyerang buah cokelat sedemikian ganasnya hingga mampu memerosotkan produksi cokelat dalam jumlah yang cukup besar. Hama penggerek buah cokelat (PBC) ini mampu menurunkan produksi cokelat menjadi hanya 130 kilogram per hektare. Padahal, produksi normal bisa mencapai 5 hingga 6 ton biji kering per hektare. Penggerek jenis conomorpha cramerella mudah menyebar. Diduga, hama itu masuk ke Buol bersama-sama dengan bibit cokelat yang dibawa manusia. Sebenarnya, sejak tahun 1895 PBC sudah berbiak di Jawa Tengah. Hama ini semula hanya menyerang rambutan dan pohon namnam. Namun, pada tahun 1980, perkebunan cokelat di Tawao, Sabah, juga terserang PBC. Baru pada pertengahan tahun 1991 PBC masuk ke Sulawesi, dan daerah jelajahnya sementara ini masih sebatas di Kecamatan Dondo, Kabupaten Buol Tolitoli. Kecamatan Dondo sebenarnya terletak jauh dari Tawao. Laut Sulawesi, yang membentang ratusan kilometer, tidak memungkinkan PBC menyebar secara leluasa ke sana. ''Bibit cokelat yang dibawa para perantau itulah yang diduga berisi telur-telur PBC,'' kata Bachtiar, Kepala Sub-Direktorat Produksi Dinas Perkebunan Sulawesi Tengah, menjelaskan duduk perkara. Yang dimaksudkannya adalah orang-orang asal Dondo yang pulang kampung sesudah merantau ke Sabah. Alkisah, ketika pekebunan cokelat di Tawao diserang PBC yang ganas 12 tahun silam, banyak perantau yang kembali ke Dondo dengan membawa oleh-oleh biji cokelat jenis unggul. Maklum, setelah dihantam tata niaga cengkeh, cokelat disebut-sebut sebagai tanaman masa depan. Tanpa ragu-ragu, sejumlah petani di Buol Tolitoli menebang tanaman cengkehnya dan menggantinya dengan tanaman cokelat. Sayangnya, Karantina Tumbuh-tumbuhan tak berhasil memantau bibit cokelat impor yang tercemar hama penggerek. Padahal, tugas pokok Karantina Tumbuh-tumbuhan adalah mencegah masuknya hama atau penyakit impor. Dalam kasus bibit cokelat yang dibawa dari Sabah, mungkin sekali hal itu disebabkan oleh terbatasnya jumlah petugas Karantina di Sulawesi Tengah. Menurut Bachtiar, Sulawesi Tengah hanya memiliki tiga petugas karantina. Ketiga petugas itu masing-masing ditempatkan di Pelabuhan Pantaloan (250 km dari Tolitoli), Pelabuhan Donggala (300 km dari Tolitoli), dan di Bandara Mutiara, Palu. Padahal, di sepanjang pesisir barat Buol Tolitoli, paling tidak ada sebelas pelabuhan kecil. ''Saya hanya bertugas di pelabuhan udara. Jadi, saya tak tahu masalah itu,'' kata John, petugas karantina di Bandara Mutiara. Gejala hama PBC pertama kali ditemukan di Desa Tinabogan, Dondo, pertengahan tahun 1991. Ketika itu 14 hektare tanaman cokelat sudah terserang PBC. Tapi dalam waktu singkat serangan hama penggerek ini telah menyebar ke tiga kecamatan lainnya. Bahkan, dalam catatan Dinas Pertanian Palu, hingga Juli 1993, tanaman cokelat yang terserang mencapai 4.600 hektare. Berarti, dalam dua tahun, PBC telah merusak hampir 95% dari 5.000 hektare tanaman cokelat di Buol Tolitoli. Menurut staf ahli tanaman cokelat Institut Pertanian Bogor, Wardjojo, kerugian yang ditimbulkan oleh penggerek cukup tinggi. ''Malah yang parah bisa mencapai tingkat kehilangan 100%,'' ujarnya melanjutkan. Untuk menemukan buah cokelat yang terserang hama memang tidak sulit. Buah cokelat itu tumbuh tak normal. Bijinya berwarna kehitam-hitaman, dan satu sama lain lengket sehingga bentuknya mirip kotoran kambing. BPC memang ganas. Siklus hidupnya rata-rata 45 hari. Yang lebih mengerikan, dalam satu tahun PBC diperkirakan mampu membiakkan delapan generasi. Kemampuan yang cukup besar ini tak mengherankan karena, kalau menemukan tempat yang cocok, kupu- kupu conomorpha betina bisa menghasilkan telur hingga 20 butir. Telur kupu-kupu itu berbentuk oval sepanjang 0,5 sentimeter dan diletakkan pada alur-alur kulit buah cokelat. Telur yang menetas hanya membutuhkan waktu sekitar dua minggu untuk kemudian menjadi conomorpha dewasa. Mungkin karena ganas, hama PBC ini sulit dikendalikan. Beberapa upaya pencegahan, seperti membungkus buah cokelat dengan kantong plastik, tak membawa hasil. Begitupun obat Basudin tak mempan membunuh PBC. Menurut H. Pungguh, petani cokelat di Buol, hama PBC hanya bisa diberantas oleh obat Rifcord 505. ''Obat ini sangat mujarab. Cukup dua penyemprotan saja sudah mati,'' kata Pungguh. Sayangnya, obat ini hanya diperjualbelikan di Malaysia. Namun, untuk mencegah penyebaran yang lebih luas, kini Kantor Dinas Buol Tolitoli sedang mengintensifkan sistem pemangkasan eradikasi (SPE). Caranya gampang saja. Cabang yang terserang PBC dipangkas, dan hal ini dilakukan hingga radius 100 meter dari pohon yang terserang hama. Cabang dan buah yang telah dipangkas lalu dikubur sedalam 30 cm. Penyelamatan dengan SPE ini dimaksudkan untuk memutuskan siklus conomorpha serta memperlambat pembentukan buah. Dalam upaya membendung penyebaran PBC, September lalu sempat diterjunkan satu peleton pasukan ABRI. Hasilnya, 79 hektare cokelat yang terserang PBC habis dipangkas. Pemusnahan terpaksa dilakukan, agaknya, untuk sama sekali melenyapkan sang conomorpha. Soalnya, ada kekhawatiran, conomorpha bisa menyeberang ke Sulawesi Selatan dan Tenggara. Di kedua provinsi itu, terdapat 165.000 hektare cokelat yang seluruhnya memasok 60% cokelat Indonesia. ''Tapi saat ini PBC belum menyebar ke sana,'' kata Oskari Atmawinata, Direktur Pusat Penelitian Kopi dan Kakao Jember, kepada Joewarno dari TEMPO. Untuk memusnahkan PBC diperlukan biaya dan tenaga yang lumayan besar. Dalam makalahnya, E. Sulistyowati dari Pusat Penelitian Kopi dan Kakao menyatakan, untuk membersihkan 3.000 hektare cokelat, sedikitnya diperlukan biaya Rp 1,5 miliar. Kalau benar, paling tidak diperlukan Rp 2 miliar lebih untuk mengenyahkan PBC dari Buol Tolitoli. Sekalipun demikian, pemberantasan dengan cara SPE kurang efektif. Sebaliknya, kebun cokelat yang terserang bisa lebih luas. Namun, bukan metode pangkas itu benar yang menghambat petani untuk menahan perluasan hama PBC. Ada faktor lain, yaitu harga cokelat yang relatif sama untuk semua jenis kualitas. Akibatnya, petani tidak termotivasi untuk mengamankan jenis tanaman cokelat yang paling bermutu sekalipun. Tapi, seberapa besar kerugian yang diderita petani gara-gara serangan PBC? Diperkirakan, selama dua tahun terakhir ini, petani cokelat di Buol Tolitoli menderita rugi sampai Rp 55 miliar. Kerugian itu dihitung dari harga biji cokelat kering yang rata-rata Rp 1.500 per kilogram. Kini, apa yang harus dilakukan? Pemangkasan tidak sepenuhnya efektif, pengamanan lewat karantina ternyata tidak pula bisa diandalkan. Mengingat berbagai upaya sudah dilakukan tapi hama PBC tak secara tuntas bisa dimusnahkan, lalu mengapa kita tidak membina kerja sama dengan Malaysia? Negeri jiran itu memiliki obat pamungkas Rifcord 505. Selanjutnya, tinggal selangkah lagi untuk memesan Rifcord dalam partai besar. Bambang Aji dan Waspada Santing

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus