Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Pendapat

Golkar dan kekuasaan

Hasil munas golkar 1993 menghasilkan "demiliterisasi". namun untuk jabatan DPD, militer tetap menguasai. yang menarik, dewan pembina memiliki kekuasaan penuh.

13 November 1993 | 00.00 WIB

Image of Tempo
Perbesar

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

ADA yang berpendapat bahwa Munas Golkar belum lama ini membuka lembaran baru. Untuk pertama kalinya, ketua umum Golkar dipegang oleh seorang sipil. Golkar telah mengalami ''demiliterisasi''. Ada baiknya jika kita menoleh ke sejarah Golkar. Yang perlu dicatat, masyarakat Indonesia setelah hancurnya PKI dan jatuhnya Soekarno mengalami proses ''penghijauan''. Militer mulai meresap ke dalam semua bidang dari pusat sampai ke daerah. Ini dianggap oleh banyak pemimpin militer waktu itu sebagai implementasi kongkret dari dwifungsi. Jadi, ketika pemilu diadakan pada tahun 1971, dan Golkar ditampilkan sebagai partai pemerintah dan mendapat dukungan penuh dari militer dan pegawai negeri, Golkar menang telak, meraih 62,8% suara. Kalau kita meneliti struktur Golkar pada waktu itu, cukuplah jelas bahwa DPP Golkar di pusat dikuasai oleh militer. Posisi- posisi kunci ada di tangan militer dan merekalah yang membuat keputusan. Yang lebih menarik, pembina utama dipegang oleh Presiden Soeharto sendiri. Pembina utama dikatakan sebagai penasihat, tapi kenyataannya merupakan jabatan terpenting. Perlu dicatat bahwa pemimpin Golkar terdiri dari tiga jalur: militer, pegawai negeri, dan orang sipil. Tapi kentara sekali bahwa militer merupakan yang terkuat di antara ketiganya. Keadaan ini juga terjadi dalam pimpinan Golkar di tingkat daerah atau DPD. Dewan Penasihat dikuasai militer, dan memainkan peranan yang menentukan. Salah seorang ilmuwan politik Indonesia pernah menyifatkan Golkar itu sebagai ''lengan politik'' ABRI. Tapi setelah Munas tahun 1978, peranan militer dalam Golkar kelihatannya menurun: mereka yang ingin menjadi pemimpin Golkar diharuskan pensiun dari ABRI. Golkar mulai memiliki citra bahwa ia adalah partai purnawirawan. Namun, pengaruh militer terhadap Golkar tidak berkurang. Kekuasaan pembina utama yang tadinya tidak tertulis, sejak Munas 1978, menjadi resmi. Dalam anggaran dasar Golkar yang disempurnakan, pembina utama diberi wewenang untuk membekukan DPP. Di bawah pimpinan Pak Harto, Golkar menjadi satu ''parpol'' besar yang berhasil mendapat perolehan suara terbanyak di setiap pemilu. Namun, perubahan struktur di Golkar rupanya sangat sedikit ketimbang perubahan masyarakat yang terjadi. Kelas menengah yang mulai muncul berkeinginan berpartisipasi dalam politik, sedangkan citra Golkar yang lama tetap terlekat dalam tubuhnya. Rupanya, Pak Harto menyadari perubahan ini dan ia merasa proses ''demiliterisasi'' perlu dilakukan. Terjadilah perbedaan pendapat bukan saja mengenai Golkar tapi juga tentang pengelolaan masyarakat dan kebijaksanaan luar negeri. Kelompok Islam yang tadinya diabaikan mulai dirangkul, dan peraturan yang memberikan angin kepada kelompok Islam mulai mencuat. Rupanya, kaum militer kurang setuju dengan kebijaksanaan ini. Di Golkar terjadi perdebatan yang hebat tentang Undang-Undang Peradilan Agama pada tahun 1988. Perpecahan berdasarkan garis militer dan sipil rupanya cukup kentara. Kebijaksanaan yang digariskan Pak Harto menang. Kelompok Islam menjadi lebih aktif. Puncaknya adalah terbentuknya ICMI yang terdiri dari kaum intelektuil muslim yang diketuai oleh Prof. Dr. Habibie, pendukung Pak Harto yang setia. Dalam pemilihan presiden tahun ini, meskipun kalangan militer berhasil mencalonkan Jenderal Try Sutrisno sebagai wakil presiden dan menggagalkan ide seorang sipil seperti Habibie bisa menjadi wakil presiden, Habibie tidak lenyap dari gelanggang politik. Ia bahkan ditunjuk kembali sebagai menteri dan ''orang-orangnya'' juga menduduki kedudukan yang strategis dalam kabinet baru. Yang perlu dicatat, ia sebagai ketua harian Dewan Pembina diberi tugas menyusun pengurus Golkar yang baru. Tim Habibie berhasil menyusun daftar DPP yang berbeda dari yang diajukan oleh Wahono, ketua Golkar masa bakti 1988-1993. Akhirnya hampir semua calon Wahono tidak berhasil masuk DPP. Yang masuk adalah ''orang-orang'' Habibie yang bisa diterima oleh Dewan Pembina yang diketuai oleh Pak Harto sendiri. Purnawirawan di DPP-baru hanya tinggal tiga orang: Ary Mardjono yang menjadi sekjen Golkar, Mochtar dan Abdul Gafur yang menjadi ketua. Ketiga purnawirawan ini di kalangan militer sering dianggap sebagai orang periferi. Banyak orang bahkan tidak ingat lagi bahwa Gafur itu bekas militer. Erosi pengaruh jalur ABRI di Golkar rupanya menimbulkan ketidakpuasan di kalangan militer. Tapi dalam ABRI sendiri rupanya terjadi perbedaan pendapat. Ada yang menentang DPP Golkar baru dan ada juga yang menyokong. Kritik yang paling keras dilontarkan oleh anggota DPR Fraksi ABRI Mayjen R.K. Sembiring Meliala, bekas Pangdam Cenderawasih. Dia juga disokong oleh beberapa purnawirawan, termasuk Rudini, bekas menteri dalam negeri. Namun, Fraksi ABRI dalam parlemen mencoba menjauhkan diri dari Sembiring. Banyak pengamat mengatakan, kini di Golkar telah terjadi ''demiliterisasi'', terbukti dari susunan DPP Golkar baru ini. Namun, ada juga pengamat yang tidak setuju dengan pendapat itu karena 80% DPD Golkar masih di tangan kalangan militer. Dengan kata lain, ''demiliterisasi'' ini hanya terjadi di pusat bukan di daerah. Demiliterisasi memang suatu proses yang panjang. Dan banyak hal yang sebetulnya masih menghambat demiliterisasi karena doktrin dwifungsi masih saja merupakan dasar politik Indonesia. Juga, yang perlu diperhatikan adalah hubungan antara DPP dan DPD Golkar dalam masa yang akan datang. Apakah pusat dan daerah ini bisa bekerja sama demi stabilitas dan perkembangan ekonomi. Selain dikotomi pusat dan daerah, yang menarik juga adalah peranan Pak Harto dalam Golkar yang begitu menentukan. Munas kali ini memberikan kesan bahwa kekuasaan pembina utama sangat besar dan dialah yang menentukan kebijaksanaan. Jadi, di samping adanya ''demiliterisasi'' yang terbatas di satu sisi, di sisi lain terjadi konsentrasi kekuasaan.

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
Image of Tempo
Berlangganan Tempo+ untuk membaca cerita lengkapnyaSudah Berlangganan? Masuk di sini
  • Akses edisi mingguan dari Tahun 1971
  • Akses penuh seluruh artikel Tempo+
  • Baca dengan lebih sedikit gangguan iklan
  • Fitur baca cepat di edisi Mingguan
  • Anda Mendukung Independensi Jurnalisme Tempo
Lihat Benefit Lainnya

Image of Tempo

Baca berita dengan sedikit iklan, klik di sini

Image of Tempo
>
Logo Tempo
Unduh aplikasi Tempo
download tempo from appstoredownload tempo from playstore
Ikuti Media Sosial Kami
© 2024 Tempo - Hak Cipta Dilindungi Hukum
Beranda Harian Mingguan Tempo Plus